Kemudahan mempailitkan perusahaan telah menggerus kepentingan konsumen. Perlu sinkronisasi dengan UU Perlindungan Konsumen.
Berhati-hatilah berutang jika tak ingin perusahaan Anda dimohonkan pailit. Sebab, pailit telah menjadi salah satu upaya hukum yang sering dipakai untuk memaksa pembayaran utang. Data dari Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat menunjukkan lebih dari seratus permohonan pailit sejak awal Januari 2012.
Memang, tidak semua permohonan itu dikabulkan. Tetapi hasilnya sulit
diprediksi. Total nilai aset yang berkali-kali lipat dari jumlah utang
bukan jaminan bagi perusahaan untuk lolos. Sepanjang ada utang yang
jatuh tempo dan dapat ditagih, dan ada kreditor lain, perusahaan Anda
bisa dipailitkan. Tak peduli apakah perusahaan Anda bersinggungan dengan
jutaan konsumen, atau hanya perusahaan jasa. UU No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
memungkinkan perusahaan dipailitkan sepanjang memenuhi syarat utang dan
kreditur.
Tengok saja apa yang pernah dialami PT Telekomunikasi Selular Tbk (Telkomsel).
Punya aset senilai Rp52,723 triliun tak membuat perusahaan ini lolos
dari pailit di Pengadilan Niaga lantaran punya utang sekitar Rp5,3
miliar. Utang itu berawal dari purchasing order (PO) voucher
isi ulang pulsa. Hubungan bisnis keduanya tak berlanjut. PT Prima Jaya
Informatika (PJI) menuding Telkomsel tak membayar utang, dan memohonkan
pailit perusahaan plat merah itu.
Kepailitan Telkomsel akhirnya dibatalkan Mahkamah Agung
(MA) pada 21 November tahun lalu. Majelis kasasi menyebut pembuktian
utang Telkomsel, seperti amanat Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan, tidaklah
sederhana. Tetapi kasus ini menimbulkan pertanyaan bagaimana nasib
jutaan konsumen Telkomsel.
Nasib konsumen kembali menjadi teka-teki ketika memasuki tahun 2013,
Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat kembali mempailitkan PT Metro
Batavia, perusahaan pengelola maskapai penerbangan Batavia Air. Majelis mengabulkan permohonan perusahaan asal Amerika Serikat, International Lease Finance Corporation (ILFC), karena debitor tak mampu membayar sewa pesawat, biaya cadangan mesin, dan bunga. Total utangnya mencapai AS$4,6 juta.
Di persidangan, Batavia mengakui utang tersebut. Merujuk Pasal 164 HIR,
pengakuan adalah bukti sempurna. Itu pula sebabnya, majelis tak ragu
mengetok palu pailit terhadap Batavia Air.
Nasib Konsumen
Kasus Telkomsel dan Batavia adalah dua contoh kepailitan yang
bersinggungan dengan kepentingan ribuan, bahkan jutaan konsumen. Calon
penumpang pesawat Batavia Air yang sudah membeli tiket hanya bisa gigit
jari karena pengurusan perusahaan beralih ke kurator begitu majelis
hakim mengetok palu pailit. Mau refund tiket, kantor-kantor
Batavia Air justru sudah tutup. Karyawan perusahaan juga tak bisa
berbuat banyak. Pelanggan Telkomsel tak kalah bingungnya, membayangkan
implikasi hukum terhadap konsumen jika perusahaan benar-benar bankrut.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
Sudaryatmo menyatakan posisi konsumen nyaris tak menguntungkan dalam
kasus kepailitan. Nasib konsumen nyaris tak diperhatikan meskipun
jumlahnya banyak. Bukan hanya nasib layanan segera yang harus mereka
terima, tetapi juga dalam pembagian budel pailit. “Konsumen selalu
mendapat ‘sampah’,” ujarnya, Jumat (01/2).
Sinyalemen Sudaryatmo diamini Alba Sukmahadi. Kurator PT Metro Batavia
ini, di sela rapat kreditor pertama 15 Februari lalu, mengatakan
penumpang Batavia Air diposisikan sebagai kreditor konkuren, bahkan
menjadi bagian terakhir dari pembagian budel pailit.
David ML Tobing punya pendapat berbeda. Ketua Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) ADAMSCO ini mengatakan konsumen
dalam hal ini penumpang Batavia Air tidak dapat disamakan dengan
kreditor. Apalagi ditempatkan pada posisi terakhir yang kemungkinan
besar tidak mendapatkan apapun.
Menurutnya, penumpang tidak memiliki tagihan berupa uang, melainkan
tagihan jasa. Kontraprestasi atas uang yang dibayar konsumen adalah
jasa. Pelaku usaha harus memberikan jasa tersebut, semisal mengalihkan
jadwal penerbangan ke maskapai lain. Jika tidak, konsumen berhak
mendapatkan ganti rugi dari pelaku usaha, sesuai UU No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.
Ke depan, sinkronisasi regulasi kepailitan dan konsumen perlu
dilakukan. Dalam konteks ini, David berharap hakim-hakim pengawas di
Pengadilan Niaga memiliki terobosan yang dapat melindungi kedudukan
konsumen.
Kurator juga punya peran. Misalnya, mendahulukan penggantian atau
pengalihan tiket penumpang dan agen perjalanan yang telah memberikan
uang jaminan ke perusahaan maskapai. Merujuk pada UU No. 1 Tahun 2009
tentang Penerbangan dan Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011
tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, kata David, konsumen
juga mendapatkan asuransi senilai Rp300 ribu akibat penerbangan yang
tertunda lebih dari tiga jam. Kurator dan hakim pengawas kasus Batavia
Air perlu memahami regulasi di bidang penerbangan tersebut
Ancaman Kebankrutan
UU Kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditor
dari debitor yang nakal. Kreditor diberi jalan cepat untuk menyelesaikan
utang yang tidak dibayar. Tetapi debitor juga dilindungi melalui
mekanisme PKPU.
Tujuan baik itu tidak seindah praktiknya. Pailit seringkali dipakai
tanpa melihat sederhana tidaknya pembuktian utang. Yang dilihat hanya
syarat minimal utang dan kreditor yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1)
dan Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan. Dampak kepailitan terhadap pihak
ketiga, seperti karyawan dan konsumen, seolah dilupakan. Bahkan
permohonan pailit bisa mengarah pada praktik persaingan usaha tidak
sehat.
Pengajar Hukum Kepailitan Universitas Indonesia Teddy Anggoro
berpendapat majelis hakim kasus kepailitan perlu mempertimbangkan UU
Perlindungan Konsumen saat menangani dan memutus kepailitan perusahaan
yang bergerak di bidang pelayanan publik. Sebagai perbaikan dari
regulasi awal, yakni Perppu No. 1 Tahun 1999, UU Kepailitan dan PKPU
dinilai Teddy belum komprehensif dan sempurna, terutama dari sisi perlindungan konsumen. Kasus Batavia dan Telkomsel bisa menjadi perbandingan.
Teddy mengingatkan prinsip costumer sovereignity aliaskedaulatan
konsumen. Konsumen memiliki kekuatan dalam sebuah industri khususnya
perusahaan yang sifatnya pelayanan publik. Meskipun negara mengakui
kedaulatan costumer soveregnity, nasib konsumen tak berdaultan
saat menghadapi kepailitan. “Hukum kepailitan kita ini seolah-olah
menderogasi kepentingan konsumen yang sudah diakui negara melalui UU
Perlindungan Konsumen,” ujar Teddy ketika dihubungi hukumonline, Sabtu (02/2).
Sebaliknya, praktisi Hukum Kepailitan yang juga kurator, Andrey
Sitanggang, berpendapat pailit perusahaan yang menyangkut publik tidak
perlu mempertimbangkan UU Perlindungan Konsumen. Sebab, UU Kepailitan
dan PKPU adalah sebuah aturan yang bersifat khusus (lex specialis). Apalagi, UU Kepailitan mengenal sistem pembuktian sederhana.
Andrey justru melihat faktor kondisi keuangan perusahaan yang perlu
diperhatikan majelis hakim. Tujuannya adalah untuk menghindari niat
jahat oknum lain yang ingin merusak perusahaan, katakanlah, karena ada
persaingan bisnis.
Peluang persaingan itu, kata M. Nawir Messi, selalu ada. Namun Ketua
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ini melihat belum ada tindakan
yang mengarah pada persaingan bisnis tak sehat dalam kasus Batavia Air.
Sepanjang, pemerintah membuka pemain baru untuk masuk di industri ini,
Nawir tidak mengkhawatirkan munculnya praktik monopoli karena pemainnya
banyak. “Jika pemerintah menutup keran pemain baru, mungkin akan muncul
proses monopolisasi,” tuturnya kepada hukumonline, Rabu (13/2).
Nawir berpendapat hakim juga perlu mempertimbangkan aspek persaingan
usaha dalam putusan. Selain itu, sebelum diputus pailit, ada koordinasi
antara pengadilan niaga dengan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan
konsumen. Pengadilan seharusnya mewajibkan pemerintah (lembaga terkait)
menyelesaikan persoalan yang berkaitan dengan konsumen.
Revisi aturan?
Melihat mudahnya mempailitkan suatu perusahaan, Sudaryatmo memandang perlu revisi UU Kepailitan.
Menurutnya, perlu ada pendekatan berbeda dalam menangani perkara
kepailitan terhadap perusahaan yang langsung melayani konsumen.
Pendekatan tersebut mencontoh sektor perbankan sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 2 ayat (3), (4), dan (5) UU Kepailitan dan PKPU.
Berlandaskan pada pasal-pasal tersebut, Sudaryatmo menilai perlu
persetujuan Kementerian Perhubungan atau Kementerian terkait jika hendak
mempailitkan suatu perusahaan yang menyangkut konsumen atau hajat hidup
orang banyak.
David menambahkan badan usaha baik swasta maupun pemerintah yang
menyangkut kepentingan publik harus menjamin keberlangsungan pelayanan
publiknya. Maka, jika suatu perusahaan dimohonkan pailit, regulator
harus memanggil pelaku usaha dan meminta jaminan agar pelaku usaha dapat
mengganti hak para konsumen.
Teddy juga sepakat merevisi UU Kepailitan, khususnya yang menyangkut
kepentingan publik. Namun ia mengkhawatirkan jika permohonan pailit
harus persetujuan menteri seperti usulan Sudaryatmo. Yang harus
dipastikan adalah keharusan direksi perusahaan memenuhi kewajiban segera
kepada konsumen sebelum kurator mengambil alih pengurusan perseroan.
Andrey Sitanggang belum melihat urgensi revisi UU Kepailitan. Yang
mendesak adalah komitmen bersama untuk menafsirkan rumusan UU secara
jujur dan objektif. Sebagus apapun suatu aturan, tetap ada ada celah di
mata orang yang ingin menyiasatinya. Jadi, tergantung bagaimana kita
memandang rumusan peraturan.
“Kalau saya, sebagus apapun undang-undang, kalau tidak memiliki
komitmen menafsirkan dengan jujur, tetap ada celah. Namanya juga produk
manusia. Sekarang tergantung kita, mau lihat kelemahannya atau tujuan
dari pasal-pasal tersebut,” tandasnya.
Sumber : Hukum Online
Posting Komentar