Multifinance Lalai, Debt
Collector yang Didakwa.....................
Pembelajaran bagi
perusahaan pembiayaan.
Andaikan
perusahaan pembiayaan tak lalai dan pemerintah bertindak tegas sejak dulu,
mungkin warga Magelang ini tak perlu menjadi terdakwa. Beruntung saja,
penilaian majelis pengadilan tingkat pertama dan majelis kasasi berbeda dengan
penuntut umum.
Nasib
pria bernama Andhi Saputra Istiarga itu tertuang dalam putusan kasasi No.140
KIPid/2012. Pria yang bermukim di Asrama Merpati Magelang, Jawa Tengah ini
bekerja sebagai debt collector PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk
cabang Magelang.
Lalu,
pada satu hari, tepatnya 11 Februari 2011, seperti biasa dia berkeliling kota
Magelang untuk menunaikan tugas dari perusahaan dia bekerja. Tugasnya mudah,
mencari unit-unit kendaraan yang anggsurannya terlambat disetor pada Adira.
Maka
sampailah Andhi dan rekannya, Wahyu Adi Saputro di LPK NI Magelang sekira 11.00
WIB. Didapati oleh keduanya sepeda motor nomor polisi AA-2521-YK. Kendaraan
dengan nomor polisi itu tercatat dalam daftar Adira yang terlambat mengangsur.
Langsung
saja, motor yang ditumpangi keduanya berbelok ke tempat dimana motor ‘buruan’
mereka parkir. Kemudian Andhi menelpon Suryadi AS, dan mengatakan menemukan
motor yang ada dalam daftar penunggak cicilan di tempat dia bekerja.
Motor
itu tercatat atas nama Puji Sumarah. Sudah 98 hari terlambat membayar angsuran.
Karena itu tak ada perintah lain dari Suryadi pada Andhi selain menyuruh
keduanya menarik motor itu. Suryadi pun memerintahkan Andhi mengambil surat
kuasa penarikan (SKP) di Adira. Kemudian surat itu diambil Wahyu dari Adira
setempat.
Wahyu
kembali ke LPK NI sekira 12.30 WIB tiba di tempat tujuan. Bersama Andhi, mereka
menemui Lisyaningsih dan menanyakan kepemilikan motor dan dijawab kepunyaan
Puji Sumarah yang dititipkan di LPK NI.
Terjadi
perdebatan. Intinya karena Puji terlambat mengangsur, berbekal SKP motor harus
ditarik. Lisyaningsih menanyakan sertifikat fidusia. Andhi, setelah mendapat
penjelasan dari Suryadi via telepon menyatakan sertifikat fidusia ada di
kantor. Kedua debt collector ini merasa punya alas hak, dan tanpa seizin
Lisyaningsih maupun Puji Sumarah, motor dituntun ke Adira.
Tentu
saja tindakan ini membuat berang Puji Sumarah dan Lisyaningsih. Kemudian
melaporkan tindakan Andhi dan Wahyu serta Suryadi ke polisi. Mereka menyatakan
perbuatan dua debt collector itu melawan hukum.
Yaitu,
tanpa sertifikat fidusia, motor yang ditarik ke Adira belum menjadi objek
jaminan fidusia. Terlebih lagi, penarikan motor dilakukan Andhi dan Wahyu tanpa
seizin pemiliknya maupun Lisyaningsih sebagai orang yang dititipi motor oleh
Puji sehingga menderita kerugian Rp10 juta.
Oleh
penuntut umum, saat perkara ini mulai disidangkan, perbuatan Wahyu dan Andhi
didakwa melanggar aturan Pasal 363 ayat
(1) keempat KUHP.
Namun,
majelis Pengadilan Negeri Mungkid melepaskan kedua terdakwa. Putusan diucapkan
majelis hakim pada 11 November 2011 menyatakan Andhi dan Wahyu sebagai terdakwa
terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan. “Namun, itu bukan merupakan
tindak pidana,” demikian majelis hakim dalam putusan itu.
Penuntut
umum langsung mengajukan kasasi. Tapi majelis kasasi menolak permohonan kasasi
penunut umum, pada 20 Maret 2012.
Majelis
menilai, memang benar antara Puji Sumarah dengan Adira melakukan perjanjian
pembiayaan sepeda motor dengan pola penyerahan hak milik secara fidusia.
Perjanjian pembiayaan terjadi 15 April 2010. Perjanjian pembiayaan sebesar
Rp11,196 juta dengan bunga 28,15 persen. Total angsuran Puji pada Adira menjadi
Rp464 ribu selama 36 bulan.
Sebagai
jaminan kewajiban angsuran, Puji menyerahkan hak milik secara fidusia pada
Adira. Serta memberikan kuasa pada Adira untuk pengurusan jaminan secara
fidusia. Namun, Adira tak segera mengurus, sehingga akta fidusia baru dibuat 10
Maret 2011 dan fidusia baru didaftarkan 1 April 2011.
Menurut
majelis kasasi yang dipimpin Zaharuddin Utama, majelis hakim tingkat pertama
menerapkan hukum tidak sebagaimana semestinya. Yaitu, Andhi dan Wahyu telah
nyata mencuri motor Puji. Karena, saat diambil, objek pencuria belum terikat
jaminan fidusia.
Motor
dibawa Andhi dan Wahyu atas persetujuan Suryadi pada 11 Februari 2011. Sedangkan
jaminan fidusia baru didaftarkan setelah Puji melaporkan ke Polisi lalu
dilanjutkan penyidikan, yaitu 1 April 2011.
Berdasarkan
Pasal 11, 12, dan 13 UU No.42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia, majelis menyatakan saat terdakwa melakukan
perbuatannya, belum ada perikatan fidusia. Sehingga motor milik Puji bukan
objek jaminan fidusia. Alias tidak ada jaminan fidusia.
Bila
majelis hakim tingkat pertama menerapkan ketentuan UU Jaminan Fidusia, majelis
kasasi yakin terdakwa melakukan perbuatan pidana seperti didakwakan. Tapi, yang
didakwakan adalah pencurian.
UU
Jaminan Fidusia mengatur eksekusi objek jaminan, yaitu Pasal 29. Tanpa
mempertimbangkan pasal ini, majelis kasasi menilai majelis pengadilan tingkat
pertama salah menerapkan hukum. Yaitu membenarkan kedua terdakwa mengambil
sepeda motor karena hanya berpatokan pada Pasal 15 ayat (3) UU Jaminan Fidusia.
Menurut
majelis kasasi, bila debitor cedera janji, penerima fidusia (Adira) berhak
menjual objek jaminan fidusia. Karena itu majelis PN Mungkid dinilai abaikan
ketentuan Pasal 30 dalam UU Jaminan Fidusia. Yaitu pemberi fidusia saat
eksekusi wajib menyerahkan objek jaminan fidusia. Tapi, kedua terdakwa saat
eksekusi tak menemui Puji selaku pemberi fidusia. Bahkan, jaminan fidusia belum
ada.
Namun,
karena ada keterlambatan angsuran, majelis kasasi menilai itu adalah hubungan
keperdataan berdasarkan perjanjian antara Puji dengan Adira. Sehingga tidak ada
sifat melawan hukum yang dilakukan debt collector yang melaksanakan
perintah Suryadi. Karena itu, persoalan kedua pihak adalah kewenangan hakim
perdata untuk memeriksa dan mengadili.
Sumber : #
Posting Komentar