photo BANNERLPKSM_zps120bacdb.jpg
Home » » Acara Pemeriksaan Biasa Singkat dan Cepat

Acara Pemeriksaan Biasa Singkat dan Cepat

Written By CELEBES on Sabtu, 22 Agustus 2015 | 12.09

Pendahuluan
Satu bulan belakangan ini, di sela menjalankan rutinitas persidangan perkara pidana tercatat ada beberapa perkara pidana yang menarik. Menarik bukan dalam arti peristiwa pidananya ataupun proses penerapan hukumnya. Proses persidangan yang terjadi tidak berbeda dengan apa yang dtentukan dalam hukum acara yang telah ditentukan. 
Hanya saja dirasakan rutinitas persidangan, dalam arti tahapan-tahapan yang harus dijalani berikut penundaan-penundaan sidang yang harus dijalani, dirasakan sebagai formalitas yang sebenarnya bisa diringkas sesuai dengan prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan sebagaimana yang sering didengungkan.
Acara Pemeriksaan Biasa, Singkat dan Cepat
Dalam hukum acara pidana, proses pemeriksaan di persidangan dibagi menjadi tiga, yaitu acara pemeriksaan biasa, singkat dan cepat (tindak pidana ringan dan perkara lalu lintas). Pembeda diantara ketiganya adalah untuk acara cepat hanya perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan. 
Diluar hal yang disebutkan dalam Pasal 205 KUHAP tersebut maka tidak dapat diperiksa secara cepat. Pilihannya adalah acara pemeriksaan biasa atau singkat. Penentuan apakah dengan acara biasa atau singkat ada di tangan penuntut umum, dengan melihat pada pembuktian dan penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana. Penjelasan Pasal 203 KUHAP tersebut tidak memberikan ukuran mudah pembuktian dan penerapan hukum yang sederhana.
Dalam penerapannya acara pemeriksaan biasa dan singkat mempunyai perbedaan yang signifikan, salah satunya apabila dilihat dari rangkaian proses persidangan yang harus dilakukan. Dalam praktek, untuk persidangan perkara pidana yang dilakukan dengan acara pemeriksaan biasa maka untuk pembacaan dakwaan (tanpa ada eksepsi), pembuktian, tuntutan dan putusan, setidaknya akan memerlukan empat kali persidangan, jika setiap penundaan persidangan selama satu minggu maka memerlukan waktu satu bulan untuk menyelesaikannya. Sedangkan apabila diajukan secara singkat maka dalam satu kali persidangan dapat diselesaikan sampai dengan putusan.
Pembuktian Mudah dan Penerapan Hukum Sederhana
Meski dalam KUHAP tidak dijelaskan pembuktian mudah dan penerapan hukum sederhana, dalam praktek dapat dirasakan sebagian besar perkara pidana yang disidangkan di pengadilan negeri masuk dalam kategori tersebut. Setidaknya itu yang saya rasakan, hanya karena memenuhi formalitas pengajuan perkara dengan acara biasa, maka harus melalui tahapan dan penundaan sidang sebagaimana di atas.

Beberapa hal di bawah ini dapat menunjukkan bahwa pembuktian mudah dan penerapan hukum sederhana. Pertama, adalah keterangan terdakwa yang membenarkan dakwaan sepenuhnya. Meski keterangan terdakwa hanya sebagai salah satu alat bukti dan bukan pengakuan terdakwa menurut HIR yang dahulu selalu dikejar untuk membuktikan perkara pidana, bahkan seringkali dengan cara melawan hukum, tetapi jelas memudahkan pembuktian. 
Kedua, adalah dalam perkara tersebut telah terjadi perdamaian dengan korban, bahkan dalam beberapa hal korban sendiri menyatakan sudah memaafkan dan mencabut laporannya serta meminta agar terdakwa tidak dihukum penjara. Ketiga, pasal-pasal yang didakwakan adalah bersifat umum, perbuatan-perbuatan yang diatur dalam KUHP dan banyak terjadi, semisal pencurian, penganiayaan.
Setidaknya jika melihat ketiga hal di atas, maka perkara pidana tersebut dapat dikategorikan pembuktian mudah dan penerapan hukum sederhana. Selanjutnya karena pasal tindak pidana yang didakwakan tidak termasuk dalam tindak pidana ringan, seharusnya dapat diajukan dengan acara pemeriksaan singkat dan tidak perlu diajukan dengan acara pemeriksaan biasa.
Plea Bargaining dan Jalur Khusus menurut Rancangan KUHAP
Dalam sistem hukum anglo saxon atau common law dikenal lembaga hukum Plea Bargaining System. Secara singkat muncul pada pertengahan Abad 19 sebagai bentuk perlakuan khusus kepada terdakwa yang telah berbuat baik kepada korban, dengan menawarkan keringanan hukuman apabila terdakwa mengakui kesalahannya. Pernyataan bersalah (Plea Guilty) yang dibuat terdakwa dan penuntut umum dituangkan dalam bentuk Plea Agreement yang kemudian dibawa ke hakim, yang setelah diperiksa oleh hakim selanjutnya akan diputuskan oleh hakim.
Dalam rancangan KUHAP ada pengaturan yang mirip dengan prinsip plea bargaining yaitu jalur khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 199 yang secara singkat menyebutkan bahwa setelah dakwaan dibacakan dan terdakwa mengakuinya maka dapat dilimpahkan dengan acara singkat. Pengakuan terdakwa tersebut dituangkan dalam berita acara sidang dan ditandatangani keduanya, selanjutnya diperiksa oleh hakim apakah akan menerima atau menolak pengakuan tersebut dan kemudian menjatuhkan putusan atas perkara tersebut.
Mengoptimalkan Acara Pemeriksaan Singkat
Jika melihat konsep plea bargaining yang berlaku pada sistem hukum common law dan melihat konsep jalur khusus dalam rancangan hukum acara pidana dikaitkan dengan praktek persidangan dengan acara pemeriksaan biasa yang banyak memenuhi tiga hal berupa ‘pengakuan’ terdakwa, adanya perdamaian dengan korban dan pasal yang didakwakan, seharusnya perkara pidana tersebut termasuk dalam mudah pembuktiannya dan sederhana penerapan hukumnya. Sehingga apabila suatu perkara pidana yang dalam tahap penyidikan maupun penuntutan memenuhi kriteria tersebut selanjutnya perkara pidana tersebut dapat dilakukan dengan acara pemeriksaan singkat di persidangan.
Pasal 203 KUHAP menyebutkan bahwa penentuan apakah perkara pidana tersebut pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana berada di tangan Penuntut Umum. Pengadilan ketika menerima pelimpahan perkara pidana dari penuntut umum dalam menentukan apakah dengan acara pemeriksaan biasa, singkat adalah tergantung kepada penuntut umum. Hal ini tentu akan menyulitkan pengadilan, semisal menerima pelimpahan berkas perkara pidana, yang didalamnya memenuhi tiga kriteria yang dapat dijadikan patokan bahwa pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana yang seharusnya diperiksa dengan acara pemeriksaan singkat, akan tetapi dilimpahkan dengan acara pemeriksaan biasa.
Percepatan proses persidangan, jika diajukan dengan acara biasa, tentu tidak serta merta bisa dilakukan karena tahapan tergantung kepada penuntut umum. Berbeda jika dari awal adanya kesepahaman dari penuntut umum mengenai kandungan tiga kriteria sehingga ‘wajib’ hukumnya penuntut umum untuk mengajukan perkara pidana tersebut secara singkat. Karena apabila pengajuan perkara secara singkat tentu penuntut umum yang akan menentukan hari sidang, penyiapkan pembuktian secara lengkap di hari sidang dimaksud dan juga sudah menyiapkan surat tuntutannya pada saat selesai pembuktian juga pada hari sidang yang dimaksud, sehingga diharapkan Pengadlan juga akan memutus perkara pada hari sidang yang sama. Singkatnya dalam satu kali persidangan telah dapat ditentukan status hukum atas sebuah peristiwa pidana.
Modifikasi Diversi
Meringkas proses persidangan pekara pidana dapat ditemui dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, yaitu tidak setiap hasil penyidikan dan penuntutan (dalam perkara anak) harus selalu berujung pada proses persidangan di pengadilan. Meski setiap penyidikan dan penuntutan tetap harus ditetapkan oleh pengadilan, akan tetapi formalitas tahapan persidangan dipangkas hanya berupa penetapan dari Ketua Pengadilan, dalam hal proses diversi berhasil, baik dalam tahap penyidikan maupun penuntutan, bahkan dalam tahap persidangan itu sendiri.
Jika dalam perkara yang terdakwa anak, tentu bukan hal yang berlebihan apabila hal tersebut juga dapat diterapkan terhadap perkara yang bukan anak (dewasa). Hal ini sejalan dengan perkembangan konsep keadilan restoratif dalam proses peradilan pidana semakin mendapatkan tempat, karena secara internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa berkaitan dengan manajemen peradilan pidana telah merekomendasikan kepada negara anggota agar mempertimbangkan privatizing some law enforcement and justice function dan alternative dispute resolution. 
Hal tersebut kemudian memunculkan apa yang dinamakan dengan proses mediasi penal (semacam proses mediasi, yang kemudian telah diadopsi dan dimasukkan sebagai salah satu tahapan dalam proses peradilan perkara perdata). Mediasi penal (pidana) merupakan alternatif penyelesaian konflik antara pelaku dan korban tindak pidana (dalam hal tertentu melibatkan masyarakat) yang diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan kepentingan terutama korban yang telah dirugikan akibat perbuatan pelaku tindak pidana.
Pergeseran tujuan dari proses peradilan pidana (khususnya perkara anak) bukan saja sebagai bentuk balas dendam lagi akan tetapi penjatuhan pidana bahkan proses peradilan pidana itu sendiri benar-benar merupakan ultimum remedium, yang baru digunakan apabila alternatif penyelesaian lainnnya tidak tercapai. Selain itu konsep keadilan restoratif, bagi bangsa ini sebenarnya bukan merupakan hal yang baru, masyarakat telah menerapkannya sejak lama, hal ini dapat dilihat dari berbagai hukum adat yang dianut di banyak tempat. 
Meskipun ada berbagai variasi dalam pelaksanaanya akan tetapi salah satu tujuan utama dari proses peradilan adat adalah untuk mengembalikan keseimbangan yang terguncang akibat adanya perbuatan yang melanggar hukum, mengembalikan keseimbangan kosmis melalui proses mendudukan pelaku dan korban tindak pidana untuk menyelesaikan permasalahannya dengan pemangku adat sebagai otoritas pengambil keputusan. 
Dalam konteks sistem peradilan pidana, tentu bukan pemangku adat sebagai otoritas pengambil keputusan melainkan hakim pada pengadilan.
Apabila dapat dicapai kesepahaman antara penuntut umum, selaku perwujudan negara yang diberi kewenangan penuntuan, terhadap hal di atas, tentu dengan melihat perkara-perkara yang disidangkan di pengadilan negeri yang memenuhi kriteria di atas, dapat diajukan dengan acara pemeriksaan singkat. Pilihan mengajukan dengan acara pemeriksaan singkat tentu lebih realistis karena memang telah jelas diatur dalam KUHAP dibandingkan dengan modifikasi diversi yang dapat dilakukan dalam perkara anak, yang belum ada ketentuan hukum acaranya.
Penutup
Tahapan proses persidangan dengan acara pemeriksaan biasa, seringkali dirasakan tidak optimal terhadap perkara-perkara yang seharusnya dapat lebih disederhanakan. Ketentuan dalam hukum acara pidana sudah menyediakan sarana untuk itu, hanya saja dalam praktek penggunaannya belum optimal. Kesepahaman Penuntut Umum dan Pengadilan akan hal tersebut diharapkan dapat mengatasinya. Penentuan kriteria, yaitu berupa ‘pengakuan’ terdakwa, adanya perdamaian dengan korban dan pasal yang didakwakan adalah beberapa hal yang dapat menjelaskan kriteria pembuktian mudah dan penerapan hukum sederhana sehingga lebih mengikat kepada Penuntut Umum dalam menentukan sebuah perkara pidana diajukan dengan acara pemeriksaan singkat.
Apabila hal tersebut dapat dilakukan, tentu banyak manfaat yang dapat diambil didalamnya. Tidak saja bagi Penuntut Umum tetapi juga Hakim (Pengadilan) dari rutinitas persidangan yang dapat diringkas dan terutamanya tentu bagi terdakwa bahkan saksi (termasuk korban) akan lebih cepat memperoleh status hukum atas peristiwa pidana. Selain itu tentu, asas proses persidangan yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan akan terwujud dalam kenyataan dan tidak berhenti pada slogan yang terpasang pada dinding Pengadilan semata. Semoga.

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Lembaga Perlindungan Konsumen CELEBES - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger