Beberapa hari lalu ke jogja dan naik transjogja. Pengen liat gimana sih kualitas angkutan umum di jogja ini. Dari bandara ada akses langsung ke halte. Tetapi sayang, informasi adanya halte atau akses transjogja ini tidak nongol langsung dari pintu bandara. Jadi saya harus nanya 5 kali dimana ada halte transjogja ini.
Ini masalah akses dan informasi.
Gimana dengan kualitas angkutan umumnya? Harga tiket transjogja Rp 3000. Pas naik, diiringi lagu ‘Cinta satu Malam.’ Lumayan, hehee. Tetapi kok ya kenceng banget, sehingga suara petugas menyebutkan halte sudah sampe mana tidak begitu kedengaran. Nah yang bikin miris, kualitas angkutan umum ini sudah hampir sama dengan bis biasa. Coel-coel, terus AC dah tidak begitu dingin, dan kurang terjaga kebersihannya.
Sayang memang. Ini adalah sedikit potret angkutan umum yang masih mending dibandingkan daerah lain yang belum punya trans seperti ini. Kalau dari laporan Dinas Perhubungan Jogja, mereka memang megap-megap menjaga agar transjogja bisa survive. Maklum, defisit yang harus ditanggung per bulan sangat besar. Data tahun 2010, rata-rata perbulan defisit antara cost dan revenue mencapai Rp 750 juta hingga Rp 1,5 M (sumber: Dishub Jogja).
Dan apakah ada subsidi dari pusat? Boro-boro. Kebijakan pemerintah sama sekali tidak berpihak kepada angkutan umum. Apakah karena ada kendali industri mobil? Beberapa indikasi berikut menunjukkan hal tersebut, diantaranya:
1. Tidak ada master plan yang sungguh-sungguh dijalankan untuk memperbaiki kualitas angkutan umum di Indonesia. Sehingga dari data kemenhub, pengguna angkutan umum yang mencapai sekitar 40% di tahun 2010, menurun drastis hingga sekitar 15% di tahun 2012.
Begitu juga moda yang terintegrasi antar wilayah, misalnya BODETABEK ketika memasuki Jakarta, masih belum memadai.
2. Pemerintah lebih mengutamakan pembangunan jalan tol demi akses mobil pribadi, dibandingkan infrastruktur untuk angkutan umum. Padahal dari segi biaya 11-12 saja, karena banyak banget jalan tol yang dibangun.
3. Dari diskusi round table yang diadakan kemenhub, para pengelola angkutan umum mengelukan skema kredit yang sangat diskriminatif antara mobil pribadi dan bis angkutan umum. Untuk bis angkutan umum, bunga kredit berlipat dibandingkan mobil pribadi. Apalagi dibandingkan dengan kemudahan kredit motor.
4. Yang paling aneh bin ajaib adalah kebijakan Kemenperin (Kementrian Perindustrian), yang hendak memberi subsidi mobil pribadi yang disebut dengan LCGC atau Low Cost Green Car. Kata-kata ‘hijau’ disini jelas-jelas kamuflase, karena adanya mobil pribadi seperti ini akan membuat Jakarta semakin tidak bergerak, penuh dengan mobil pribadi. Dan mobil pribadi adalah penyumbang terbesar polusi udara di Jakarta. (sumber: Kemenhub).
Makanya tidak heran, pertumbuhan mobil pribadi di Indonesia mencapai 13% per tahun, sementara roda dua atau motor, mencapai 18-20% per tahun. Dan setiap tahun, industri mobil meningkatkan target penjualannya, dengan pangsa terbesar di jakarta, sekitar 30-40%.
Sumber : Kompasiana
Posting Komentar