Wanprestasi atau perbuatan cidera/ingkar
janji (breach of contract) berasal dari bahasa Belanda yang artinya “prestasi”
yang buruk dari seorang debitur (atau orang yang berhutang) dalam melaksanakan
suatu perjanjian.
Menurut pendapat Subekti dalam bukunya
Hukum Perjanjian, penerbit PT Intermasa, halaman 45, Wanprestasi
(kelalaian/kealpaan) seorang debitur dapat berupa:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi
akan dilakukannya.
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Lebih lanjut, masih menurut pendapat
Subekti, hukuman bagi debitur yang lalai (wanprestasi) adalah:
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi.
2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian.
3. Peralihan resiko.
4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi.
2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian.
3. Peralihan resiko.
4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
Menjawab pertanyaan yang menanyakan
bagaimana menentukan bunga dan denda dalam wanprestasi, jika tidak disepakati
sebelumnya dalam suatu perjanjian tersebut, maka sebelumnya kita perlu menyimak
ketentuan Pasal 1239 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yang
telah memberikan pengaturan sebagai berikut:
“Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.”
“Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.”
Berangkat dari ketentuan Pasal 1338 KUH
Perdata, para pihak dalam suatu perjanjian diberikan suatu kebebasan berkontrak
untuk menentukan hal-hal atau klausul apa yang hendak diperjanjikan dalam
perjanjian tersebut, termasuk untuk menentukan bunga atau denda dalam suatu
perjanjian. Namun demikian, perjanjian tersebut tetap harus dibuat dan
dilaksanakan dengan itikad baik serta mengindahkan kepatutan, kebiasaan dan
Undang-Undang (Vide: Pasal 1338 ayat 3 dan 1339 KUH Perdata)
Mengenai bunga, dalam hal besarnya bunga
tidak diatur dalam suatu perjanjian, maka undang-undang yang dimuat Lembaran
Negara No. 22 Tahun 1948 telah menetapkan bunga dari suatu kelalaian/kealpaan
(bunga moratoir) yang dapat dituntut oleh kreditur dari debitur adalah sebesar
6 (enam) % per tahun. Jika kita mengacu pada ketentuan Pasal 1250 KUH Perdata,
bunga yang dituntut oleh kreditur tersebut tidak boleh melebihi batas maksimal
bunga sebesar 6 (enam) % per tahun, sebagaimana yang ditetapkan dalam
Undang-Undang tersebut.
Mengenai denda yang Anda tanyakan (dalam
praktik disebut penalti), maka sesuai dengan apa yang saya uraikan di bagian
awal, akibat hukum dari wanprestasi menurut Pasal 1239 KUH Perdata adalah biaya
(kosten), rugi (schaden) dan bunga (interesten). Permasalahannya adalah apakah
denda yang belum diatur sebelumnya dapat dikualifikasikan sebagai biaya atau
rugi.
Dalam hal ini Subekti berpendapat bahwa Biaya adalah segala pengeluaran atau ongkos yang secara nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak. Sedangkan Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Dari definisi biaya dan rugi menurut Subekti tersebut, jelas bahwa denda yang belum diperjanjikan sebelumnya tidak dapat dikualifisir sebagai biaya dan rugi. Namun demikian, sudah menjadi yurisprudensi tetap, bahwa pihak yang dikalahkan akan dihukum untuk membayar biaya perkara.
Dalam hal ini Subekti berpendapat bahwa Biaya adalah segala pengeluaran atau ongkos yang secara nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak. Sedangkan Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Dari definisi biaya dan rugi menurut Subekti tersebut, jelas bahwa denda yang belum diperjanjikan sebelumnya tidak dapat dikualifisir sebagai biaya dan rugi. Namun demikian, sudah menjadi yurisprudensi tetap, bahwa pihak yang dikalahkan akan dihukum untuk membayar biaya perkara.
Sebagai tambahan informasi, dalam
praktik, memang tidak mudah untuk membedakan kualifikasi serta akibat dari
Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum yang diatur dalam Pasal 1365 KUH
Perdata. Secara sederhana, dari segi kualifikasi saya berpendapat bahwa cakupan
wanprestasi yang biasanya timbul dari suatu perjanjian adalah lebih sempit dari
Perbuatan Melawan Hukum. Sedangkan dari segi akibatnya, suatu Perbuatan Melawan
Hukum dapat menerbitkan ganti kerugian secara luas, bukan hanya secara materill
namun juga immateriil.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. Lembaran Negara No. 22 Tahun 1948
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. Lembaran Negara No. 22 Tahun 1948
Referensi:
Subekti. Hukum Perjanjian. Penerbit PT Intermasa. Albert Aries, S.H., M.H.
Subekti. Hukum Perjanjian. Penerbit PT Intermasa. Albert Aries, S.H., M.H.
Situs : http://www.hukumonline.com dalam
rubrik klinik
Posting Komentar