Setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menyatakan pembatasan PK hanya boleh satu kali tidak lagi berkekuatan hukum, perdebatan mengenai hal ini langsung menyeruak ke publik. Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi sendiri sebenarnya cukup sederhana. Setelah membedakan antara upaya hukum biasa (Peradilan Tingkat I, Banding, dan Kasasi) dan luar biasa (PK), Mahkamah Konstitusi menegaskan:
“Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi bahwa upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali) hanya dapat diajukan satu kali, karena mungkin saja setelah diajukannya PK dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial baru ditemukan yang pada saat PK sebelumnya belum ditemukan.”
(Putusan No. 34/PUU-XI/2013, Poin 3.16.1, hlm. 86)
Putusan tersebut sontak memicu kontroversi di media. Dalam beberapa hari terakhir ini publik disuguhi beragam pendapat dari tokoh-tokoh terkemuka yang mempertanyakan putusan tersebut, terutama pihak yang tidak sependapat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi terkait. Sayangnya, pendapat-pendapat tersebut seringkali tidak disertai dengan argumen yang berdasar, alih-alih merujuk pada pertimbangan Mahkamah Konstitusi sendiri.
Di bawah ini dapat kita lihat beberapa pendapat yang bertebaran di media:
Pendapat yang diutarakan salah seorang (yang mungkin menjadi) tokoh kunci dalam pembahasan RUU KUHAP ini merupakan mitos semata. Salah satu contohnya, Belanda tidak mengenal pembatasan hanya satu kali. Peninjauan kembali berulang untuk satu kasus pernah terjadi dalam Kasus Pembunuhan Deventer. Terlebih lagi, dasar adanya PK bukan pada satu atau beberapa kalinya, tetapi pada ada tidaknya novum (bukti baru) yang jika sebelumnya telah diketahui oleh majelis yang memutus, sangat mungkin akan mengubah isi putusan yang telah diambil.
Pihak yang mengutarakan pendapat tersebut, seringkali tidak merujuk kepada data perkara, sehingga ini juga merupakan mitos. Dalam beberapa kesempatan, seorang peneliti hukum dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil, pernah mengatakan bahwa dari data perkara lima tahun terakhir, rata-rata perkara PK (pidana) hanya sekitar 3% dari total beban perkara MA (sekitar 400 perkara masuk per/tahun, dari sekitar 6000-an perkara kasasi).
Mitos. Pendapat ini tidak memperhatikan sama sekali pertimbangan MK yang telah membedakan antara upaya hukum biasa dan luar biasa. Pada upaya hukum pada tingkat kasasi, sengketanya terkait suatu pendapat hukum atau bagaimana hukum diterapkan. Ini perlunya fungsi MA untuk menjaga kesatuan hukum. Perlu ada suatu kepastian untuk pendapat ini. Di sisi lain, putusan hakim juga memuat fakta atau keadaan yang pada kondisi biasa semestinya telah diperiksa dengan seksama oleh hakim pada tingkat-tingkat sebelumnya, namun pada kenyataannya belum selalu tentu seperti itu. Ini yang menjadi dasar adanya instrumen upaya hukum luar biasa.
Mitos ini tidak mempertimbangkan bahwa permohonan PK sejatinya tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan dari putusan (Pasal 268 ayat (1) KUHAP).
Ekses yang diutarakan di sini bersifat spekulatif. Mitos. Mungkin itu memang alasan yang mendasari pengajuan PK seorang terpidana mati, termasuk kebijakan kejaksaan yang juga seringkali menunggu upaya PK digunakan sebelum melakukan eksekusi, tetapi ini sebenarnya tidak berhubungan dengan ada atau tidaknya pengaturan PK hanya boleh sekali. Dengan adanya peraturan itupun, meski UU juga menegaskan bahwa upaya PK tidak menunda eksekusi, toh kejaksaan mengambil kebijakan tersebut.
Pernyataan ini tidak memperhatikan bunyi undang-undang. Undang-undang telah memberikan aturan untuk itu, yaitu dalam hal (1) terdapat novum yang menimbulkan dugaan kuat, kalau diketahui sebelumnya, maka putusannya akan berbeda; (2) adanya pertentangan antara bukti dalam beberapa putusan; (3) terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. Di antara 3 kriteria ini, sebenarnya hanya kriteria terakhir saja yang masih dapat mengundang pertanyaan, serta dalam kenyataannya memang banyak digunakan oleh para pihak. Namun, dengan menghubungkannya dengan dua kriteria lainnya, serta melihat pertimbangan Mahkamah Konstitusi, sebenarnya cukup jelas bahwa seharusnya hanya dapat diterima selama kekhilafan atau kekeliruan itu berkaitan dengan suatu bukti atau keadaan (fakta) yang baru diketahui kemudian. Dengan demikian, ini juga merupakan sebuah mitos belaka. Aturannya sudah ada, meski penerapannya masih dapat dipertanyakan.
Mengapa hanya boleh dua kali? Sekali lagi, seperti pertimbangan Mahkamah Konstitusi, pada akhirnya hanya kekuatan penemuan dan penetapan bukti dalam proses peradilan itu sendiri yang dapat menyelesaikan sengketa dengan sempurna.
Posting Komentar