Undang-undang
Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 10 Nopember 1998.
Dalam kerangka perbaikan dan pengukuhan perekonomian nasional, walaupun
Undang-undang No. 10 Tahun 1998 (untuk selanjutnya disingkat ‘UUP/1998′) hanya
merupakan revisi, bukan mengganti keseluruhan pasal-pasal Undang-undang
Perbankan lama, namun dilihat dari pokok-pokok ketentuannya, perubahannya
mencakup penyehatan secara menyeluruh sistem Perbankan, tidak hanya penyehatan
bank secara individual.
Oleh
karenanya issue-issue yang ditanggapinya pun cukup luas, yang dapat
mempengaruhi secara mendasar arah perkembangan perbankan nasional.
Di antara issue-issue yang berusaha ditanggapi dalam ketentuan UUP/1998 tersebut adalah kemandirian Bank Indonesia dalam pembinaan dan pengawasan perbankan, lingkungan hidup, aspirasi dan kebutuhan masyarakat akan penyelenggaraan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Peningkatan
fungsi social control terhadap institusi perbankan, perlindungan nasabah,
pembukaan akses pasar dan perlakuan non diskriminatif terhadap pihak asing,
liberalisasi serta issue-issue lain sebagai akibat adanya perubahan beberapa
ketentuan dalam perundang-undangan baru bidang ekonomi dan bisnis.
Responsi terhadap issue-issue tersebut, telah dikonkritkan dalam UUP/1998 dengan pembentukan pengertian, jenis kegiatan usaha, syarat dan prosedur, serta institusi-institusi baru sebagai penunjang kegiatan usaha perbankan. Sebagai contoh, diantaranya adalah pengertian baru rahasia bank, kegiatan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pengalihan tugas dan wewenang dari Menteri Keuangan kepada Pimpinan Bank Indonesia, serta pembentukan lembaga jaminan simpanan, lembaga penyehatan perbankan.
Ketentuan Baru Rahasia Bank
Sebagaimana telah disinggung di bagian pendahuluan, salah satu perubahan yang terdapat dalam UUP/1998, adalah ketentuan mengenai rahasia bank. Dilihat dari paragraf ke-8 Penjelasan Umum, perubahan ketentuan mengenai rahasia bank dihubungkan dengan upaya peningkatan fungsi kontrol sosial terhadap lembaga perbankan. Inti perubahan rahasia bank menurut UUP/1998, bila dibandingkan dengan ketentuan yang lama adalah perlunya peninjauan ulang atas sifat ketentuan rahasia bank yang selama ini sangat kaku dan tertutup.
Jadi
walaupun rahasia bank merupakan salah satu unsur yang harus dimiliki oleh
setiap bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat yang mengelola dana
masyarakat, namun UUP/1998 menetapkan untuk tidak merahasiakan seluruh aspek
yang ditatausahakan oleh bank.
Berangkat dari dasar pemikiran tersebut, bilamana dibandingkan dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 (UUP/1992), perubahan ketentuan rahasia bank meliputi pengertian dan obyek rahasia bank, perluasan mengenai pihak dan kepentingan yang dapat mengecualikan ketentuan rahasia bank, pengalihan instansi yang berwenang memberi perintah atau izin pengecualian, dan ketentuan pidana berkenaan dengan rahasia bank.
Berangkat dari dasar pemikiran tersebut, bilamana dibandingkan dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 (UUP/1992), perubahan ketentuan rahasia bank meliputi pengertian dan obyek rahasia bank, perluasan mengenai pihak dan kepentingan yang dapat mengecualikan ketentuan rahasia bank, pengalihan instansi yang berwenang memberi perintah atau izin pengecualian, dan ketentuan pidana berkenaan dengan rahasia bank.
Pembahasan
berikut ini mencoba menjelaskan satu persatu dari perubahan-perubahan tersebut.
Pertama, UUP/1992 memberi pengertian atas rahasia bank sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan. Berkenaan dengan pengertian tersebut, UUP/1992 menjelaskan bahwa yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan adalah seluruh data dan informasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari orang dan badan yang diketahui oleh bank karena kegiatan usahanya.
Dengan
demikian pengertian rahasia bank sebagaimana ditetapkan UUP/1992 sangat luas,
baik menyangkut obyek maupun kedudukan nasabahnya. Hal ini berbeda dengan
pengertian yang dianut UUP/1998, yang mengartikan rahasia bank sebagai segala
sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan
Simpanannya.
Pengertian
segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan
dan Simpanannya memang tidak ada penjelasannya secara rinci, namun pengertian
rahasia bank sebagaimana ditetapkan UUP/1998 secara tegas membatasi kedudukan
nasabah yang wajib dirahasiakan keterangannya, yakni hanya Nasabah Penyimpan.
Dalam
penjelasan Pasal 40 ditegaskan, bilamana nasabah bank adalah Nasabah Penyimpan
yang sekaligus juga sebagai Nasabah Debitur, bank wajib tetap merahasiakan
keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpan.
Keterangan mengenai nasabah selain sebagai Nasabah Penyimpan, bukan merupakan
keterangan yang wajib dirahasiakan.
Kedua, sebagaimana menjadi ketetapan dalam UUP/1992, UUP/1998 juga memberi pengecualian kepada pihak-pihak serta untuk kepentingan tertentu mendapatkan keterangan yang wajib dirahasiakan mengenai nasabah bank. Bahkan UUP/1998 memperluas pihak dan kepentingan tersebut, sehingga secara keseluruhan adalah sebagai berikut:
- bagi pejabat pajak untuk kepentingan perpajakan;
- bagi pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara (BUPLN/PUPN) untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada BUPLN/PUPN;
- bagi polisi, jaksa atau hakim untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana;
- bagi pengadilan dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya;
- bagi bank lain dalam rangka tukar menukar informasi antar bank;
- bagi pihak lain yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan atas permintaan, persetujuan atau kuasa Nasabah Penyimpan;
- bagi ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan dalam hal Nasabah Penyimpan telah meninggal dunia.
Disamping
tujuh pihak tersebut di atas, masih terdapat pihak-pihak lain yang dapat
dikecualikan dari ketentuan rahasia bank, yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
Akuntan Publik, dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam).
Namun
karena adanya kondisi khusus pengaturan bagi pengecualian terhadap pihak-pihak
tersebut, terutama berkenaan dengan BPK dan Bapepam, maka akan dibahas
tersendiri dalam bagian ‘Pengecualian Bagi BPK dan Bapepam’.
Ketiga, bagi pengecualian sebagaimana disebutkan di atas perlu dipenuhi syarat-syarat dan prosedur tertentu bilamana pihak-pihak ingin mendapatkan keterangan yang wajib dirahasiakan. UUP/1992 menetapkan bahwa perintah atau izin tertulis bagi pengecualian ada pada Menteri Keuangan, sedangkan UUP/1998 yang mempunyai semangat kemandirian
Bank
Indonesia, telah menetapkan bahwa perintah tertulis atau izin pengecualian
tersebut ada pada Pimpinan Bank Indonesia. Menurut Pasal 1 butir 21 jo butir 20
UUP/1998, yang dimaksud Pimpinan Bank Indonesia adalah pimpinan Bank Sentral
Republik Indonesia.
Sedangkan
dalam perkara perdata yang terjadi antara bank dengan nasabahnya, serta dalam
rangka tukar menukar informasi antar bank, tidak ada perbedaan antara UUP/1992
dengan UUP/1998, dimana keduanya mengizinkan direksi bank untuk
menginformasikan keterangan mengenai nasabahnya.
Keempat, disamping memperberat ancaman pidana perbuatan yang telah dikenal dalam UUP/1992, yakni perbuatan yang dengan sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan tanpa membawa perintah tertulis atau izin; dan perbuatan yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan,
UUP/1998
menambah satu jenis perbuatan pidana baru yang tidak dikenal dalam UUP/1992.
Yakni perbuatan pidana yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang
wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A.
Dengan
adanya ketentuan ini berarti bank dan pihak terafiliasi bukan saja bertanggung
jawab untuk tidak mengungkapkan rahasia bank kepada pihak-pihak yang tidak
berwenang, melainkan juga bertanggung jawab untuk memberikan keterangan
mengenai rahasia bank bilamana telah dipenuhi syarat-syarat dan prosedur
pengecualian sebagaimana diatur UUP/1998.
Pengecualian Bagi BPK dan Bapepam
Pengecualian Bagi BPK dan Bapepam
Selain
bagi tujuh pihak dan kepentingan sebagaimana telah diterangkan di atas, UUP/1998
juga menyiratkan pengecualian rahasia bank bagi Badan Pemeriksa Keuangan
berkenaan dengan keuangan negara yang dikelola oleh suatu bank, Akuntan Publik
dalam melaksanakan pemeriksaan terhadap bank untuk dan atas nama Bank
Indonesia, serta kepentingan di bidang pasar modal bagi bank yang melakukan
kegiatan sebagai lembaga penunjang pasar modal.
Selain bagi Akuntan Publik, pengaturan pengecualian terhadap ketentuan mengenai rahasia bank tersebut hanya terdapat dalam bagian Penjelasan UUP/1998, sedangkan bunyi pasalnya sendiri tidak menyinggung sama sekali mengenai pengecualian tersebut. Pengaturan tersebut dapat kita lihat dalam Penjelasan Pasal 31 Paragraf kedua dan
Penjelasan
Pasal 40 Paragraf ketiga dari UUP/1998, dan oleh karena itu dapat menjadi
permasalahan, apakah pengecualian bagi kedua pihak dan kepentingan tersebut,
yang timbul dari memori penjelasan berlaku dan mengikat? Hal ini penting untuk
didiskusikan berkenaan dengan adanya pendapat bahwa Memori Penjelasan suatu
undang-undang tidak boleh bertentangan dengan dan tidak boleh memberikan
ketentuan tambahan di luar (pasal-pasal dari) undang-undang yang
dijelaskannya.
Pendapat seperti ini dianut oleh Sutan Remy Sjahdeini, Pakar Hukum Perbankan, yang juga menambahkan bahwa hal-hal yang dikemukakan di dalam Memori Penjelasan suatu Undang-undang tidak mengikat secara hukum, karena suatu undang-undang tetap berlaku dan mengikat sekalipun seandainya dikeluarkan tanpa diikuti Memori Penjelasan. Sebaliknya, suatu Memori penjelasan dari suatu undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum tanpa adanya Undang-undang (yang dijelaskan oleh Memori Penjelasan tersebut).
Ketidaktegasan mengenai pengecualian bagi BPK dan Bapepam ini, dapat menjadi faktor yang mempengaruhi kesempurnaan UUP/1998, karena ternyata UUP/1998 tidak berusaha sepenuhnya memasukkan kemungkinan yang diberikan perundang-undangan yang ada berkaitan dengan pengecualian pengungkapan rahasia bank. Padahal Pasal 101 Undang-undang Pasar Modal memberi kemungkinan bahwa dalam rangka pelaksanaan penyidikan,
Bapepam
dengan permohonan izin dari Menteri Keuangan dapat memperoleh keterangan dari
bank tentang keadaan keuangan tersangka pada bank sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di bidang perbankan. Sedangkan menurut Pasal 4 Undang-undang
No. 5 tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, sehubungan dengan penunaian
tugasnya, BPK berwenang meminta keterangan yang wajib diberikan oleh setiap
orang, badan/instansi pemerintah atau badan swasta, sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-undang.
Ketidaktegasan tersebut juga dapat dilihat dari tidak adanya ketentuan yang mewajibkan bank untuk memberikan keterangan mengenai nasabah kepada BPK dan Bapepam, sebagaimana diwajibkan bagi kepentingan perpajakan, BUPLN/PUPN, peradilan perkara pidana (Pasal 42A) dan pihak yang ditunjuk Nasabah Penyimpan (Pasal 44A). Sehingga atas kesengajaan tidak memberikan keterangan mengenai nasabah kepada BPK dan Bapepam tidak ada sanksi yang dapat diancamkan.
Ketidaktegasan tersebut juga dapat dilihat dari tidak adanya ketentuan yang mewajibkan bank untuk memberikan keterangan mengenai nasabah kepada BPK dan Bapepam, sebagaimana diwajibkan bagi kepentingan perpajakan, BUPLN/PUPN, peradilan perkara pidana (Pasal 42A) dan pihak yang ditunjuk Nasabah Penyimpan (Pasal 44A). Sehingga atas kesengajaan tidak memberikan keterangan mengenai nasabah kepada BPK dan Bapepam tidak ada sanksi yang dapat diancamkan.
Hal
ini berbeda bila dibandingkan dengan ketentuan Pasal 47A UUP/1998, yang
menetapkan bahwa kesengajaan tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi
sebagaimana dimaksud Pasal 42A dan Pasal 44A merupakan perbuatan pidana yang
diancam dengan pidana penjara serta denda.
Status Kerahasiaan Nasabah Debitur
Permasalahan
lain yang perlu dibahas lebih lanjut berkenaan dengan ketentuan rahasia bank
menurut UUP/1998 adalah bagaimana status kerahasian keterangan mengenai Nasabah
Debitur. Apakah secara a contrario dapat ditafsirkan bahwa karena Pasal 40
UUP/1998 hanya mewajibkan Bank dan Pihak Terafiliasi menjaga kerahasiaan
Nasabah Penyimpan dan Simpanannya, dan ditegaskan dalam Penjelasannya bahwa
keterangan mengenai Nasabah selain dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpan
bukan keterangan yang wajib dirahasiakan, menyebabkan keterangan mengenai
Nasabah Debitur menjadi terbuka bagi siapa saja dan untuk kepentingan apapun?
Bila diperhatikan pengaturan mengenai rahasia bank di berbagai negara, maka terdapat penggolongan pengaturan sebagai berikut:
- Yang memasukkan rahasia bank sebagai ketentuan pidana, dalam arti rahasia bank sebagai kewajiban publik, sebagaimana banyak dianut oleh negara yang menggunakan sistem hukum kodifikasi.
- Yang memasukkan rahasia bank sebagai ketentuan perdata, dalam arti rahasia bank sebagai kewajiban yang timbul dari hubungan kontraktual, sebagaimana banyak dianut oleh sebagian besar negara yang menggunakan sistem Common Law.
- Yang memasukkan sebagian pengaturan rahasia bank sebagai ketentuan pidana, namun di sebagian lain sebagai ketentuan perdata (kombinasi/campuran), sebagaimana dianut oleh negara Amerika Serikat.
Menurut
penggolongan tersebut, UUP/1992 dapat digolongkan yang memasukkan rahasia bank
sebagai ketentuan pidana. Hal ini dapat dilihat dalam keterangan Sutan Remy
Sjahdeini sebagai berikut:
“… ketentuan atau kewajiban rahasia bank…, di Indonesia ditentukan sebagai ketentuan pidana oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.”
Dibandingkan dengan ketentuan UUP/1992, dalam UUP/1998 sebagaimana dapat dilihat dari ketentuan Pasal 40 ayat (1) jo. Pasal 47 UUP/1998, hanya memasukkan kewajiban menjaga keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya sebagai rahasia bank yang bersifat publik.
Sedangkan keterangan mengenai Nasabah Debitur,
secara letterlijk dikecualikan sebagai rahasia bank yang bersifat publik.
Hal
ini bisa dilihat dari penjelasan Pasal 40 ayat (1) paragraf ke-2 UUP/1998 yang
berbunyi sebagai berikut:
“Keterangan mengenai Nasabah selain sebagai Nasabah Penyimpan, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan Bank.”
Ketentuan ini berbeda dengan obyek rahasia bank sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UUP/1992 yang tidak membedakan apakah nasabah tersebut sebagai Nasabah Penyimpan atau Nasabah Debitur. Segala keterangan yang tercatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah merupakan rahasia bank.
Meskipun keterangan mengenai Nasabah Debitur tidak diatur secara tegas dalam UUP/1998 sebagai rahasia bank, sebagaimana ketentuan rahasia bank menurut UUP/1992, namun perubahan ini hanya merupakan satu bentuk apa yang dikenal dalam ilmu hukum pidana sebagai depenalisasi.
Depenalisasi di sini mempunyai pengertian
bahwa perbuatan yang semula diancam dengan pidana, ancaman pidananya
dihilangkan, akan tetapi masih dimungkinkan adanya tuntutan dengan cara lain,
misalnya dengan melalui hukum perdata atau hukum administrasi.
Artinya
bahwa pengungkapan keterangan mengenai Nasabah Debitur yang dalam UUP/1992
ditentukan sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, dengan UUP/1998 ini
dihilangkan ancaman pidananya, akan tetapi tidak menghilangkan sama sekali
kemungkinan untuk dituntut secara perdata maupun administratif.
Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa tidak masuknya lagi keterangan mengenai Nasabah Debitur menjadi keterangan yang wajib dirahasiakan oleh Bank dan Pihak Terafiliasi sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 40 UUP/1998, bukan menghilangkan sifat wajib dirahasiakannya keterangan tersebut, namun hanya mengalihkan kewajiban tersebut yang tadinya merupakan kewajiban yang bersifat pidana (termasuk ketentuan yang bersifat publik) menjadi kewajiban yang bersifat perdata.
Alasan penulis mengenai hal tersebut adalah bahwa kewajiban merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Debitur merupakan kewajiban yang bersifat perdata, serta pengungkapan keterangan mengenai Nasabah Debitur dapat dituntut secara perdata adalah:
Pertama, hubungan antara
bank dengan nasabah debitur merupakan fiduciary relation dan confidential
relation, sehingga kepercayaan serta kerahasiaan hubungan keduanya merupakan
moral obligation (kepatutan). Sejalan dengan hal tersebut dapat dikutip pernyataan
M. Sholehuddin dalam bukunya yang berjudul ‘Tindak Pidana Perbankan’ sebagai
berikut:
“Keharusan bagi bank untuk memegang teguh rahasia bank adalah implementasi dari hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya yang dilandasi oleh asas kerahasiaan (konfidensialitas). Oleh karenanya, maka hubungan antara bank dengan nasabah, baik nasabah penyimpan dana maupun nasabah debitur adalah hubungan kerahasiaan (confidential relation).”
Khususnya di bidang kredit, dapat ditambahkan pula di sini pendapat Sutan Remy Sjahdeini yang menyatakan bahwa:
“Bank hanya bersedia memberikan kredit kepada nasabah debitur atas dasar kepercayaan bahwa nasabah debitur mampu dan mau membayar kembali kredit tersebut, maka juga hubungan antara bank dan nasabah debitur, yaitu hubungan perjanjian kredit, bukanlah sekedar hubungan kontraktual biasa antara kreditur dan debitur tetapi juga hubungan kepercayaan (fiduciary relation).”
Kedua, hubungan hukum antara Bank dengan Nasabah Debitur adalah berdasarkan perjanjian yang diadakan antara Bank dengan Nasabah Debitur. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 butir 18 UUP/1998 sebagai berikut:
“Nasabah Debitur adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian Bank dengan Nasabah yang bersangkutan.”
Berdasarkan prinsip hubungan kerahasiaan, hubungan kontraktual antara Bank dengan Nasabah Debitur mengandung syarat yang tersirat (implied term) bahwa Bank dianggap mempunyai kewajiban untuk merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Debitur.
Dalam
hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata yang menyebutkan
bahwa:
“persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”
“persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”
Ketiga, adanya kemungkinan Bank digugat melakukan perbuatan melanggar hukum oleh Nasabah Debitur, bilamana dengan pengungkapan keterangan mengenai Nasabah Debitur dipandang oleh Nasabah Debitur merugikan dirinya. Hal ini dimungkinkan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, yang secara tegas mengatur:
“tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Di samping dapat digugat melakukan perbuatan melanggar hukum, Bank juga dimungkinkan diancam pidana dengan menggunakan delik lain, yakni pengungkapan keterangan mengenai nasabah Debitur dapat dipersangkakan sebagai kejahatan rahasia jabatan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 322 KUHP, yang lengkapnya berbunyi:
- Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah.
- Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu.
Dari
dasar-dasar dan alasan sebagaimana dibahas di muka, maka keterangan mengenai
Nasabah Debitur juga merupakan keterangan yang harus dirahasiakan, dimana
kewajibannya timbul dari hubungan kontraktual antara Bank dengan Nasabah
Debitur.
Dengan
demikian karena sifat kerahasiaan keterangan mengenai Nasabah Debitur lahir
dari perjanjian (implied term, Pasal 1339 KUHPerdata), pengungkapannya haruslah
memenuhi kualifikasi-kualifikasi tertentu pula yang disepakati antara Nasabah
Debitur dan bank.
Sedangkan alasan lain yang memperkuat bahwa keterangan mengenai Nasabah Debitur merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan adalah tidak adanya ketentuan UUP/1998 yang secara tegas mewajibkan Bank untuk memberikan keterangan mengenai Nasabah Debitur kepada siapapun dan untuk kepentingan apapun.
Sedangkan alasan lain yang memperkuat bahwa keterangan mengenai Nasabah Debitur merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan adalah tidak adanya ketentuan UUP/1998 yang secara tegas mewajibkan Bank untuk memberikan keterangan mengenai Nasabah Debitur kepada siapapun dan untuk kepentingan apapun.
Dengan
demikian keterangan mengenai Nasabah Debitur bukanlah keterangan yang terbuka
bagi siapa saja dan untuk kepentingan apapun, sehingga terdapat syarat dan
kondisi yang membatasi bank untuk memberikan keterangan mengenai Nasabah
Debitur dan Pinjamannya. Persoalannya kini adalah syarat dan kondisi apa yang
membolehkan pengungkapan tersebut?
Untuk membahas pertanyaan tersebut, karena sejalan dengan pemikiran sistem hukum Common Law, di mana kewajiban merahasiakan timbul sebagai implied term dari perjanjian (kewajiban yang bersifat perdata), maka tidak ada salahnya untuk mempertimbangkan penggunaan kerangka berpikir sistem hukum Common Law dalam hal pengungkapan keterangan mengenai Nasabah Debitur ini.
Dalam yurisprudensi Inggris, terdapat satu kasus klasik yang dipakai sebagai standar kualifikasi bagi pengungkapan keterangan mengenai nasabah, bahkan yurisprudensi ini pun pada akhirnya menjadi standar pula bagi hampir semua Negara Persemakmuran (Commonwealth), yakni putusan perkara Tournier v. National Provincial and Union Bank of England, 1924 (yang dikenal juga dengan sebutan Tournier’s Case).
Dari
putusan Tournier’s Case dapat diklasifikasikan bahwa Bank berhak untuk
mengungkapkan keterangan mengenai nasabahnya bilamana memenuhi salah satu dari
empat syarat/kondisi sebagai berikut:
- Where disclosure is under compulsion by law.
- Where there is a duty to the public to disclose.
- Where the interest of the bank require disclosure.
- Where the disclosure is made with the express or implied consent of the customer.
Penjelasan
dari keempat syarat/kondisi tersebut, beserta contohnya adalah:
Pertama, bilamana pengungkapan tersebut diharuskan oleh hukum, misalnya dalam hal Bank dimintai bukti dalam pemeriksaan pengadilan, atau untuk kepentingan penyidikan. Dalam hal penyidikan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP, Bank dapat mengungkapkan keterangan mengenai Nasabah Debitur kepada penyidik sebagai berikut:
Pertama, bilamana pengungkapan tersebut diharuskan oleh hukum, misalnya dalam hal Bank dimintai bukti dalam pemeriksaan pengadilan, atau untuk kepentingan penyidikan. Dalam hal penyidikan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP, Bank dapat mengungkapkan keterangan mengenai Nasabah Debitur kepada penyidik sebagai berikut:
- Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia;
- Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, yakni di antaranya: (i) Pejabat PNS tertentu di lingkungan Direktorat jenderal Pajak untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan (Pasal 44 (1) UU No. 9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan); (ii)n Pejabat PNS tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Kepabeanan (Pasal 112 (1) UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan); (iii) Pejabat PNS tertentu di lingkungan Bapepam untuk melakukan penyidikan tidak pidana di bidang Pasar Modal (Pasal 101 ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal).
Kedua, bilamana bank berkewajiban untuk melakukan pengungkapan kepada masyarakat/publik, misalnya dalam hal dengar pendapat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di mana Bank mengungkapkan keterangan mengenai Nasabah Debitur tertentu dan pinjamannya untuk menjelaskan kepada masyarakat mengenai adanya dugaan terjadinya penyelewengan kredit oleh Bank terhadap Nasabah Debitur tertentu.
Ketiga, bilamana pengungkapan dikehendaki demi kepentingan Bank (Where the interest of the bank require disclosure), misalnya Bank demi kepentingan sendiri dapat mengungkapkan kepada pengadilan dalam pemeriksaan sengketa antara bank dengan seorang penjamin (guarantor) Nasabah Debitur.
Keempat, bilamana nasabah memberikan persetujuannya (Where the disclosure is made with the express or implied consent of the customer), misalnya dalam hal Nasabah memberikan referensi-referensi bank kepada pihak lain, atau Nasabah memberikan kewenangan kepada bank untuk mengungkapkan urusan-urusannya dalam rangka membantu akuntannya.
Simpulan
Sebagai perwujudan gagasan untuk meningkatkan fungsi kontrol sosial terhadap institusi perbankan, pembentuk undang-undang telah melakukan pembaruan dalam UUP/1998 terhadap ketentuan mengenai rahasia bank. Pembaruan tersebut meliputi pengertian dan obyek rahasia bank, perluasan mengenai pihak dan kepentingan yang mengecualikan ketentuan rahasia bank, pengalihan wewenang pemberian perintah dan izin pengecualian, serta memperberat ancaman pidana dan penambahan delik rahasia bank.
Khusus dalam pengaturan pengecualian ketentuan mengenai rahasia bank menurut UUP/1998, bagi BPK dan Bapepam, dikarenakan terdapat kondisi khusus, maka status pengecualiannya menjadi tidak jelas. Kondisi khusus tersebut adalah bahwa secara redaksional pengecualian bagi BPK dan Bapepam tidak disebutkan dalam pasal-pasal UUP/1998, hanya disebutkan dalam bagian penjelasan.
Disamping
itu tidak ada ketentuan dalam UUP/1998 yang mewajibkan bank untuk memberikan
keterangan kepada BPK dan Bapepam, sedangkan di sisi lain terdapat peraturan
perundangan yang memberikan wewenang bagi kedua pihak tersebut untuk
mendapatkan keterangan mengenai nasabah bank.
Berkenaan dengan keterangan mengenai Nasabah Debitur, walaupun UUP/1998 tidak memasukkannya sebagai rahasia bank, namun pihak bank maupun pihak terafiliasi tetap mempunyai kewajiban untuk menjaga dan merahasiakannya. Kewajiban tersebut timbul dari sifat kontraktual antara bank dan nasabah debitur.
Oleh
karena itu menurut pendapat penulis, setiap pengungkapan keterangan mengenai
Nasabah Debitur pun tidak dapat dilakukan tanpa memenuhi
kualifikasi-kualifikasi tertentu.
Sumber Oleh : Peri
Umar Farouk
Posting Komentar