photo BANNERLPKSM_zps120bacdb.jpg
Home » » Pemikiran Tentang Masalah Per-air minum-an di Indonesia

Pemikiran Tentang Masalah Per-air minum-an di Indonesia

Written By CELEBES on Kamis, 21 Maret 2013 | 08.20



Air minum di Indonesia, atau bisa juga disebut sebagai air bersih, karena saat ini kita belum dapat memenuhi kualitas air langsung minum. Berikut tulisan yang disampaikan oleh Poedjastanto dalam hal pengembangan air minum di Indonesia.

A. Usulan Pemikiran Program Pengembangan Air minum sampai tahun 2014 

1.  Pengembangan kelembagaan secara Ad-Hoc, untuk lebih mengoperasionalisasikan sinkronisasi  
     tugas Interdep.

Mencermati budaya administrasi yang ada di Indonesia, nampaknya efektifitas dari suatu pola administrasi lebih dimungkinkan dengan pembentukkan unit tugas yang spesifik (Ad-Hoc), dan fungsi koordinasi merupakan suatu sasaran tersendiri (bukan merupakan suatu proses yang terjadi dengan sendirinya sebagai suatu konsekuensi pelaksanaan tupoksi dari suatu unit kerja). 

Fakta inilah yang seringkali tidak disadari sehingga dibentuk suatu unit kerja dengan tugas spesifik (task force). Seperti misalnya pembentukkan BPPSPAM yang seharusnya tugas tersebut sudah melekat secara implisit didalam unit struktural yang ada. Itupun dengan terbentuknya BPPSPAM yang keanggotaannya mencakup berbagai stake holder ternyata masih memerlukan unit Ad-Hoc lainnya agar anggota yang ada pada BPPSPAM mampu memberikan fungsi sebagaimana fungsi yang diembannya.

a.    Anggota yang mewakili pemerintah (semua instansi pemerintah yang berkaitan dengan perair- minuman, jadi bukan hanya mewakili Kementerian PU saja). Dalam hal ini kami mengusulkan suatu  komite/tim koordinasi kebijakan air minum yang beranggotakan para pejabat eselon I dari berbagai Departemen yang terkait dengan perair-minuman. Kepala tim koordinasi kami usulkan dijabat oleh Dirjen Cipta Karya. Dengan demikian anggota yang mewakili pemerintah di BPPSPAM mendapatkan arahan yang sudah terpadu dari kepala tim koordinasi kebijakan air minum. c.q. Dirjen Cipta Karya.

b.    Pembentukkan tim koordinasi kebijakan air minum ini menurut hemat kami sangat penting karena merupakan keterpaduan kebijakan secara nasional yang :

-    Data untuk kebijakan disiapkan oleh BPPSPAM,
-    Data dari lapangan tersebut diperlukan untuk perumusan kebijakan nasional yang lebih terpadu dalam bidang perair-minuman,
-    Kebijakan yang telah terpadu berdasar data lapangan maupun masukan dari berbagai Departemen dapat dilapokan secara utuh kapada Menteri PU.

c.    Departemen yang terkait dengan perair-minuman dan mewakilkan pejabanya di tim koordinasi kebijakan air minum adalah Departemen Kesehatan, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pariwisata dan Budaya, Departemen Sosial, Departemen Perindustrian, dan Departemen Pertahanan.

d.    Jadi unit Ad-Hoc adalah solusi ala Indonesia untuk menutup kelemahan budaya proses koordinasi dari para administratur pemerintahan.


2.   Perkuatan Dinas PU Cipta Karya di tingkat provinsi, kabupaten/kota dengan membentuk Sub Dinas
      Air Minum.

Dengan adanya pembatasan jumlah dinas di Pemerintah Daerah, sementara kebutuhan adanya dinas air minum sebagai aparat kepala daerah (sebagai regulator dan bukan operator) merupakan salah satu alasan untuk disusunya Undang-undang Air Minum. 

Mengingat pentingnya pembangunan sistem air minum bagi masyarakat diperkotaan maupun diperdesaan maka perlu di pertimbangkan peningkatan eselon (di dinas PU) untuk urusan air minum dari eselon IV menjadi eselon III.

Dengan adannya posisi struktural yang cukup ditingkat Pemda untuk urusan air minum, diharapkan dapat menghentikan tata kerja pemerintah yang kurang tepat saat ini yaitu menyerahkan perencanaan dan pembangunan air minum kepada PDAM yang seharusnya berfungsi hanya sebagai operator dan bukan sebagai regulator,


3.  Program kaderisasi Tenaga Ahli/pengembangan SDM Air Minum pada tingkat kabupaten/kota,
     provinsi, maupun pusat.

Ketiadaan Tenaga Ahli dan terampil/SDM bidang air minum ditingkat Pemerintah Daerah, harus segera diantisipasi dalam waktu secepatnya, yang salah satu kami usulkan adalah program kaderisasi tenaga ahli dan terampil/SDM dalam bidang air minum dalam skala nasional yaitu dengan bea siswa dan ikatan dinas melalui Departemen PU di Akademi/Sekolah Tinggi Teknik Sapta Taruna dengan calon mahasiswa yang diperoleh melalui jalur PMDK dari SMU unggulan yang ada didaerah. Lulusannya segera ditempatkan di Departemen PU atau Dinas PU untuk mendapatkan pengalaman kerja yang cukup sebagai pelatihan/praktek.

4.  Penyusunan Undang-undang Air Minum yang lebih komprehensif dan filosofis

Keterbatasan filosofi tentang air minum sebagai kebutuhan dasar dan hak asasi manusia dalam Undang-undang Sumber Daya Air membawa dampak bahwa PP 16 tahun 2005 kurang mendorong para pemangku kepentingan untuk tercapainya pelayanan air minum yang sesuai dengan kebutuhan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat baik diperkotaan dan perdesaan.
 
5.  Pembentukan BUMN Air Minum yang lebih menjamin keterjangkauan air minum bagi masyarakat

a. Rendahnya nilai ekonomi air minum bagi sebagian besar masyarakat Indonesia telah membawa dampak buruknya manajemen teknik maupun manajemen keuangan di BUMD/PDAM, terbatasnya wilayah pelayanan dan kapasitas ekonomi masyarakat berakibat beratnya proses subsidi,

b. Rendahnya kepedulian Pemerintah Daerah untuk memberikan subsidi bagi pengembangan dan pelayanan air minum kepada masyarakat didaerah (kabupaten/kota),

c. Kepedulian Pemerinta (pusat) tentang pengembangan sistem air minum dalam bentuk APBN tidak diikuti oleh operator/pengelola sistem pelayanan air minum (melainkan diserah-terimakan kepada BUMD/PDAM melalui Pemda, yang notabane kepedulian terhadap air minum sangat terbatas/rendah),

d. Dengan pembentukan BUMN yang mempunyai wilayah operasi secara nasional ditambah dengan kepedulian pemerintah yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Air Minum (yang harus disusun dan disetujui DPRRI), maka akan lebih memudahkan proses subsidi yang dilakukan pemerintah sehingga keterjangkauan dan aksesibilitas air minum bagi masyarakat menjadi lebih baik dan mudah

6.  Penegasan kembali fungsi Departemen PU sebagai lembaga Pemerintah (Departemen) yang menjadi pusat rujukan masalah teknik teknologis bidang ke-PU-an (yang dalam hal ini teknik
     teknologi Air Minum).

a.  Pendekatan pembangunan terutama bidang ke-PU-an mulai Pelita I sampai dengan Pelita VI (mulai bidang perencanaan, perancangan dan konstruksi) yang dikerjakan oleh pihak swasta selain membuka lapangan kerja, industri/jasa konstruksi, dan perputaran ekonomi tetapi juga membawa dampak kurang terlatihnya SDM di Departemen PU dalam bidang teknik teknologis khususnya air minum.


Kondisi ini kurang terantisipasi oleh manajemen dan diperberat dengan tidak adanya penerimaan PNS di Departemen PU selama lebih dari 10 tahun sehingga praktis naluri, keahlian dan keterampilan khususnya dalam bidang teknik teknologis khususnya air minum menjadi sangat terbatas,

b. Tentu saja tidak seharusnya kita mengulangi/kembali pada cara-cara pembinaan kemampuan substansial ke-PU-an pada para karyawan Departemen PU, karena :

-    Diperlukan investasi yang sangat tinggi/penyediaan prasarana dan sarana
-    Perlu waktu yang panjang (minimal 20 tahun)
-    Selama lebih dari 25 tahun kita/Departemen PU telah membina dan mengembangakan industri/jasa konstruksi bidang ke-PU-an (konsultan, pabrikan, pemasok, kontraktor)
-    Kemajuan/perkembangan bidang teknik teknologis khususnya perair-minuman bukan monopoli Departemen PU, tetapi juga dilakukan oleh kalangan swasta/dunia usaha

Oleh karena itu kami mengusulkan pengembangan konsep EPC (Engineering Procurement Contractor), yang mana pekerjaan perencanaan dan/atau perancangan maupun konstruksi dilakukan oleh satu badan usaha (BUMN, BUMD, dan BUS), bentuk ini juga disebut sebagai out put bast contract atau turn-key.

Untuk dapat terjadinya pembinaan konsep EPC tersebut, Kementerian PU perlu menyiapkan :

1. Tenaga fungsional ahli maupun terampil 
2. Tenaga fungsional ahli maupun terampil diberi atau dibebani tugas-tugas manajerial substansial (detil pekerjaan substansial dilakukan oleh pihak kedua atau swasta/konsultan, pabrikan, dan kontraktor)
3. Upaya untuk memberikan pelatihan/pengalaman kerja bagi para karyawan/pejabat fungsional ahli pertama sampai dengan madya sebaiknya dimagangkan pada para stake holder di dunia usaha (konsultan atau kontraktor), yang jika dimungkinkan dari perusahaan asing yang diharapkan terjadi transfer of teknologi dan knowledge dan knewhow
 
4. Kementerian PU perlu melengkapi dokumen tender untuk EPC dan dokumen tatacara mengevaluasi tender EPC
5. Memperkaya dan meningkatkan standar yang sesuai dengan kaidah-kaidah teknik serta memperhitungkan kemampuan pembiayaannya oleh pemerintah dan cocok dengan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.

c. Secara bertahap dilakukan pemetaan daerah wilayah yang mempunyai kondisi rawan air minum/KRAM (untuk daerah yang sudah mempunyai sistem pelayanan air minum), dan Potensi Rawan Air Minum/PRAM (untuk daerah atau wilayah yang belum mempunyai sistem pelayanan air minum) dan perlunya menyusun peta daerah/wilayah tentang kondisi rawan air minum secara nasional.


Peta ini sangat penting dalam pemrograman pembangunan / penanganan air minum secara nasional pula.

Jadi pembangunan air minum tidak didasarkan semata-mata pada target jumlah kota ataupun prosentase cakupan penduduk yang harus mendapatkan pelayanan air minum, karena pendekatan kebijakan yang terdahulu didasarkan pada azas pemerataan dan mengarah pada supply-driven, hal mana tidak mengikuti filosofi bahwa air minum adalah kebutuhan pokok manusia yang seharusnya berbentuk demand-driven yang indikatornya adalah kerawanan akan air minum. 
Diharapkan dalam 5 tahun ke muka (sampai dengan 2014) daerah/wilayah yang termasuk KRAM sudah terselesaikan secara menyeluruh dan baik, sehingga dengan sendirinya :
• Cakupan penduduk yang dapat pelayanan air minum prosentasenya akan meningkat dan didasarkan pada kebutuhan akan air minum yang merupakan kebutuhan pokok (dan bukan didasarkan pada peningkatan cakupan pelayanan semata tanpa memperhatikan daerah/wilayah mana yang benar-benar membutuhkan ketersediaan air minum secara baik.

• Diharapkan tidak terjadi lagi kasus dan penanganan yang sporadis serta tergesa-gesa tentang kerawanan air minum/kekeringan (apalagi pengertian kekeringan seringkali kurang disadari bahwa yang dimaksud dengan kekeringan adalah terminologi Ditjen SDA yang secara historis tradisional lebih mendukung ketersediaan air untuk pengairan / persawahan dan bukan untuk kebutuhan air minum).
Perihal terminologi KRAM ini akan kami laporkan secara khusus sebagai tulisan kami yang telah kami mulai sejak tahun 2005 (masih menjabat sebagai Direktur Pengembangan Air Minum), tetapi nampaknya sampai saat ini hal tersebut belum dilanjutkan/dituntaskan oleh Direktorat Pengembangan Air Minum.


7. Memperkaya/memperbanyak standar dan pedoman teknik (dalam hal ini air minum, misalnya 
     tentang standar harga air minum untuk setiap jenis sistem penyediaan air minum dengan variasi
     besaran kapasitas dan kualitas air minum yang dihasilkan.

Perlu dipikirkan untuk membuat standar kualitas air minum yang mempunyai peringkat, mengingat bahwa kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di setiap wilayah berbeda-beda (Perdesaan, IKK, Kota Kecil, Kota sedang, Kota Besar dan Metro); standar ini dikeluarkan oleh menteri kesehatan atas usulan dan pemikiran Kementerian PU yang telah mempertimbangkan keterjangkauan kemampuan teknik teknologis yang tersedia di Indonesia.

Hal ini menurut hemat kami perlu segera disusun adalah standar harga air minum nasional (harga air minum yang dihitung berdasarkan besaran investasi dan biaya operasi pemeliharaan tahunan nya, berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi teknik; belum memperhitungkan besaran profit untuk operator/BUMD, BUMN, BUS).

Harga air minum nasional ini sebaiknya segera ditetapkan oleh Menteri PU sebagai Menteri yang mempunyai tugas dan kompetensi dalam pengembangan sistem air minum nasional dan untuk mencegah terjadinya negosiasi antara Pemerintah Daerah dengan calon operator/investor secara irasional (operator mengusulkan harga yang terlalu tinggi sedangkan Pemda mengusulkan harga yang terlalu rendah karena ketiadaan standar harga air minum yang dapat dipedomani).

Harga air minum nasional ini harus dapat diformulasikan berdasarkan kualitas sumber air, jarak sumber air dan unit produksi air ke daerah pelayanan serta besaran kapasitas.


8.  Mengusulkan kepada Menteri yang mengurusi bidang kesehatan masyarakat (Menteri Kesehatan)
     tentang standar kualitas air minum yang lebih terjangkau dari sisi teknik teknologis dan sosial
     ekonomi budaya masyarakat.

Khusus mengenai standar kualitas air minum Indonesia menurut hemat kami sangat penting untuk segera ditindak lanjuti oleh Menteri yang mengurusi kesehatan masyarakat (Menteri Kesehatan) atas usulan Menteri PU, hal ini untuk mencegah terjadinya over invesment karena teknologi yang diterapkan terlalu canggih untuk menghasilkan suatu kualitas air minum yang tidak dibutuhkan oleh masyarakat penggunannya (tidak sepadan dengan kondisi sosekbud masyarakat).

Juga untuk mencegah pengertian yang berlebihan dari para investor swasta untuk air minum (karena dalam standar kualitas air minum Indonesia saat ini yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan sangat kurang mempertimbangkan keterjangkauan teknik teknologis Indonesia dan sangat mirip dengan standar kualitas air minum di negara-negara maju/Eropa dan Amerika yang kondisi sosekbud-nya sangat jauh berbeda dengan masyarakat di Indonesia).

9. Sebaiknya Kementerian PU mulai mempelopori aplikasi teknologi membran untuk pengolahan air payau, air asin, dan air laut.

a.  Pembangunan sistem pelayanan air minum di Indonesia yang sudah dilakukan sejak 35 tahun terakhir ini berakibat sudah terpakainya sumber-sumber air baku yang layak dan terjangkau secara ekonomi teknik bagi masyarakat, hal ini berakibat sumber-sumber air baku yang layak secara teknoekonomis sudah semakin langka (harus memanfaatkan sumber air baku yang sangat jauh dari daerah pelayanan sehingga membutuhkan investasi pipa transmisi yang sangat tinggi),

b. Lamban dan rumitnya mekanisme sumber-sumber air baku yang juga mengakibatkan menurunnya debit air baku yang dapat diambil untuk penyediaan air minum,

c. Panjangnya garis pantai di Indonesia dan kesulitan baik geografis maupun sosekbud masyarakat pesisir dan masyarakat di pulau terluar mendorong kita/Departemen PU untuk segera mengembangkan teknologi pengolahan air payau (di muara sungai), air asin, dan air laut (ada banyak teknologi proses yang sudah dikembangkan diluar Departemen dan tidak atau belum dikembangkan oleh Kementerian PU, salah satu misal adalah teknologi membran), sebenarnya dengan konsep EPC sebagaimana telah kami sampaikan pada butir 6 diatas perlu segera dikembangkan program penyediaan air minum di 10.000 desa pesisir/nelayan dan 17.000 pulau kecil/pulau terluar.

Program ini akan menjadi program yang sangat strategis dari Kementerian PU bukan saja ditinjau dari aspek peningkatan kesejahteraan rakyat tetapi juga aspek perekonomian baik mikro maupun makro dan dari aspek ketahanan nasional.

10. Intensifikasi pengembangan sistem air minum di daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar.

Butir ini adalah sasaran jangka menengah sampai dengan 2014 sebagai kelanjutan implementasi program yang kami usulkan pada butir 9 diatas, karena apabila butir 9 diatas dapat di implementasikan maka kita segera mempunyai laboratorium lapangan yang realistik dan dapat dilakukan penelitian oleh Balitbang Kementerian PU yang bekerja sama dengan berbagai pakar/peneliti yang ada di banyak perguruan tinggi di Indonesia.

B.    Usulan Pemikiran Program 100 hari Bidang Air Minum bagi Presiden SBY :
  1. Program penyediaan air minum desa pesisir seluruh indonesia (kurang lebih 10.000 desa pesisir) dengan aplikasi teknologi membran energi rendah dan sumber energi alternatif (sinar matahari dan angin),
  2. Peningkatan Kapasitas Produksi  dengan cara Up – Rating  dan/atau  ekstensifikasi Kapasitas Produksi Sistem Penyediaan Air Minum Kota Metro/Besar,
  3. Peningkatan Efisiensi Sistem Air Minum Kota Metro/Besar dengan cara menekan angka kebocoran menjadi maksimal 40 % melalui KPS dengan konsep Profit Sharing,
  4. Program Air Minum Kawasan Perbatasan dan Pulau Terluar,
  5. Penyusunan RUU Air Minum dengan penyiapan kajian akademik dan materi rancangan itu sendiri,
Sumber ; PEJABAT FUNGSIONAL TPL (Teknik Penyehatan & Lingkungan) UTAMA
Ir. (cES) Poedjastanto, DEA.
Mantan Direktur Pengembangan Air Minum Departemen PU 2005-2007
Tahun 2007 karena alasan kesehatan dialih tugaskan menjadi Pejabat Fungsional TPL Madya
Tahun 2008 diangkat oleh Presiden RI menjadi Pejabat Fungsional TPL Utama
Sekjen IATPI 2001-2004
Ketua Umum IATPI periode 2004-2009
Pemegang Award Adicipta Konstruksi Indonesia 2004 untuk disain Instalasi Pengolah Air (IPA) Kedasih

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Lembaga Perlindungan Konsumen CELEBES - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger