Ketika beberapa minggu lalu (Mei 2013) menghadiri rapat OKPO Pokja
Otoritas Kompeten Pangan Organik (OKPO), dan mendiskusikan progres
pertanian organik di Indonesia, salah seorang anggota Pokja mengeluhkan
betapa Menteri Pertanian sangat sulit diajak audiensi mengenai masalah
sistem pertanian organik.
Jadi, walaupun Pokja (kelompok kerja, yang terdiri dari beberapa
stakeholder, saya termasuk anggotanya) ini dibawah Kementan, tetapi
ibaratnya seperti anak tiri, tidak dipedulikan.
Jangankan peduli pada
sistem pertanian organik, kecendrungannya malah semakin pro kepada
penggunaan pestisida yang berlebihan.
Padahal, untuk permasalahan pestisida ini, Emil Salim, pakar lingkungan
telah memberi peringatan kepada Menteri Pertanian, Suswano, bahwa
Indonesia jadi ’sampah’ penjualan pestisida dunia.
Jadi jika di dunia telah dilarang, disini masih digunakan. Seperti
pestisida jenis organoclorin, DDT, dan organoposfat masih banyak
digunakan secara illegal di berbagai daerah.
Dan dampak pemakaian pestisida bagi lingkungan mulai terlihat sekarang.
Keseimbangan ekosistem terganggu. Hama-hama mulai resisten. Studi dari FAO dan UGM menyebutkan
bahwa pestisida berspektrum luas telah mematikan juga predator (musuh
alami) hama. Selain itu, hama padi seperti wereng coklat, akan semakin
resisten terhadap pestisida, sehingga membunuhnya harus dengan dosis
pestisida yang semakin besar.
Dan hukum lingkaran setan pestisida pun berlaku. Seperti ketika terjadi
serangan hama di seantero Jawa pada tahun 2010, Kementan membagikan
pestisida ratusan ton ke petani. Sudahlah benihnya jelek sekali (benih
hibrida impor dari China), menyebabkan puso, datang pula serangan hama
yang sangat besar.
Penjualan pestisida di Indonesia memang menggiurkan. Angka resminya
mencapai Rp 6-7 Trilyun. Tetapi yang tidak resminya bisa mencapai 2 kali
lipat. Dan yang parahnya, Kementan banyak meloloskan merk-merk baru
pestisida. Sehingga mencapai ribuan merk pestisida dan herbisida. Ada
apa ini? Makanya tidak heran Emil Salim memberi peringatan seperti itu.
Dampak pestisida dan herbisida bagi manusia dan lingkungan
Beberapa merk terkenal pestisida dan herbisida, walaupun telah
dinyatakan ‘aman’oleh kementan, ternyata memiliki dampak yang cukup
signifikan bagi kesehatan manusia. Sebenarnya tidak ada ‘batas aman’
untuk kategori pestisida apapun, karena dampaknya yang bahaya dan
sifatnya yang persisten di alam dan manusia.
Riset terbaru
adalah dampak Round Up Ready (RR), herbisida produksi Monsanto, sebuah
perusahaan MultinasionalCompany berbasis di AS dan memonopoli penjualan
herbisida dunia.
Riset ini menyebutkan bahwa glifosat (kandungan utama
RR) yang telah disemprotkan dijutaan ton ha pertanian menjadi penyebab
tingginya resiko penyakit parkinson, kanker, dan gangguan organ tubuh
lainnya. Walaupun disemprot ke tanaman, ternyata glifosat tetap
‘bersarang’ (residu) di pangan yang dikonsumsi manusia.
Di Indonesia, herbisida RR sangat luas digunakan untuk membasmi gulma.
Apalagi tampaknya jika Kementan setuju terhadap penggunaan sistem
pertanian rekayasa genetika, dimana tanaman yang digunakan adalah benih
RR, maka lonjakan pemakaian herbisida RR ini bisa berlipat-lipat.
Disini Monsanto akan menguasai penjualan mulai dari benih
transgeniknya, hingga herbisida RR, karena benih transgenik RR hanya
tahan terhadap herbisida RR (monopoli benih dan sarana produksi
pertanian oleh Monsanto).
Jadi, jika di AS sendiri EPA (Enviromental Protection Agency) membatasi
secara ketat herbisida RR, maka bisa jadi penjualannya akan masuk ke
Indonesia, untuk tetap meningkatkan keuntungan penjualan pestisida
mereka secara global.
Sumber : Kompasiana
Posting Komentar