lpksmCELEBES._Konsumen penerbangan
di Indonesia belum mendapat perlindungan yang memadai. MeskipunUU No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen
telah memberikan pijakan yang kuat, pemahaman pelaku usaha dan konsumen belum
memadai. Bahkan, sikap konsumen juga kurang mendukung iklim perlindungan.
Demikian rangkuman pendapat yang
mengemuka dalam seminar ‘Peningkatan Pelayanan Penerbangan di Indonesia, Menuju
Konsumen Indonesia yang Lebih Bermartabat’ di Jakarta, Selasa (16/4).
Acara ini digelar sebagai respon atas kasus gagal mendaratnya pesawat Lion Air
di Bandara Ngurah Rai, dan kepailitan perusahaan pengelola Batavia Air.
Ketua Pengurus Harian
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatm0, berpendapat pemahaman
yang kurang bukan hanya di kalangan konsumen, tetapi juga pelaku usaha. Dalam
kasus kepailitan Batavia Air, misalnya, karyawan maskapai itu masih harus
berjuang mendapatkan hak-haknya.
Terlebih penumpang
yang sudah terlanjur membeli tiket. "Banyak pihak yang belum benar-benar
memahami perlindungan konsumen," kata Sudaryatmo.
Ketidakpahaman itu
membuat konsumen acapkali enggan melaporkan kerugian yang diderita. Selain
enggan, konsumen juga takut mengadukan masalah yang menimpa mereka lantaran
khawatir dituduh mencemarkan nama baik, seperti yang pernah dialami Prita Mulyasari. Sudaryatmo menilai budaya
mengadu konsumen, termasuk konsumen penerbangan, di Indonesia masih
rendah.
Catatan pengaduan yang masuk ke YLKI
bisa menjadi contoh. Pada 2012, YLKI menerima 620 pengaduan. Sebagian besar
menyangkut jasa perbankan, telekomunikasi, transportasi, dan asuransi.
Pengaduan bidang perbankan paling banyak masuk (115).
Jumlah pengaduan konsumen itu jauh
lebih kecil dibanding pengaduan konsumen di negara lain setiap tahun. Cuma,
kekurangpahaman bukan hanya ada di konsumen, tetapi juga pelaku usaha dan
aparat penegak hukum. Kasus Prita Mulyasari membuktikan sinyalemen Sudaryatmo.
Khusus di bidang jasa
penerbangan, yang sering terjadi adalah keluhan atas penundaan (delay)
keberangkatan pesawat. Selama bertahun-tahun, penundaan seperti sudah menjadi
sesuatu yang biasa tanpa tanggung jawab terhadap konsumen.
Hingga akhirnya advokat David ML Tobing melayangkan gugatan terhadap maskapai penerbangan.
Gugatan itu sedikit banyak menginspirasi lahirnya ketentuan tentang tanggung jawab perusahaan maskapai
penerbangan.
Namun tak semua
konsumen seperti David, mau mempersoalkan ketidaknyamanan pelayanan yang mereka
terima. Menurut Cheppy Hakim, mantan Kepala Staf Angkatan Udara, masih banyak
konsumen yang memiliki sikap ‘nrimo’ jika mengalami kerugian akibat ulah
pelaku usaha.
Sikap semacam ini
kurang sejalan dengan upaya memperjuangkan hak-hak konsumen. Menurut Cheppy,
sikap konsumen penting untuk dibentuk agar sejalan dengan semangat perlindungan
konsumen. "Attitude konsumen, ini yang harus
dibentuk," kata Marsekal purnawirawan itu.
Pembentukan attitude konsumen
dinilai penting agar konsumen kritis terhadap perilaku perusahaan barang dan
jasa. Sayangnya, kata Cheppy, perusahaan-perusahaan di Indonesia tak suka
menerima kritikan terhadap pelayanan jasa yang telah diberikan kepada konsumen.
Padahal, harusnya kritikan tersebut dijadikan pelajaran dan masukan untuk
memperbaiki pelayanan.
"Mereka (perusahaan) sering
tidak mau menerima kritikan dan masukan. Di luar negeri, semakin banyak masukan
semakin baik untuk kualitas mereka. Di Indonesia tidak," pungkasnya.
Posting Komentar