Menurut
Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia, kebebasan berkontrak dapat disimpulkan
dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa
semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
Sumber
dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan
titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan
individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak .
Berlakunya
asas konsensualisme menurut hukum perjianjian Indonesia memantapkan adanya asas
kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat
perjanjian, Tanpa sepakat maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Orang
tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan
paksa adalah Contradictio interminis.
Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya
sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan
kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud,
atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi yang
diinginkan tidak terlaksana (take it or leave it) .
Menurut
hukum perjanjian Indonesia seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan
pihak manapun yang dikehendakinya. Undang-undang hanya
mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian,
pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas
untuk memilih pihak yang ia inginkan untuk membuat perianjian, asalkan
pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap.
Bahkan lebih lanjut dalam pasal
1331, ditentukan bahwa andaikatapun seseorang membuat perjianjian dengan pihak
yang dianggap tidak cakap menurut pasal 1330 KUH Perdata tersebut, maka
perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang
tidak cakap.
Larangan
kepada seseorang untuk membuat perjanjian dalam bentuk tertentu yang
dikehendakinya juga tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Indonesia maupun ketentuan perundang-undangan lainnya. Ketentuan yang ada
adalah bahwa untuk perjanjian tertentu harus dibuat dalam bentuk tertentu
misalnya perjanjian kuasa memasang hipotik harus dibuat dengan akta notaris
atau perjanjian jual beli tanah harus dibuat dengan PPAT.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa sepanjang ketentuan perundang-undangan tidak menentukan bahwa
suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertentu, maka para pihak bebas
untuk memilih bentuk perjanjian yang dikehendaki, yaitu apakah perjanjian akan
dibuat secara lisan atau tertulis atau perjanjian dibuat dengan akta di bawah
tangan atau akta autentik.
Apakah
asas kebebasan berkontrak dapat diartikan sebagai bebas mutlak? apabila kita
mempelajari KUH Perdata, ternyata asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas
mutlak. Ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUH Perdata
terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas tidak tak terbatas.
Pasal
1320 ayat (1) menentukan bahwa perjanjian atau, kontrak tidak sah apabila
dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya.
Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk
menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan berkontrak
dibatasi oleh kesepakatan para pihak.
Dalam
pasal 1320 ayat (2) dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat
perjanjian dibatasi oleh kecakapannya. untuk membuat perjanjian. Bagi seseorang
yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian sama
sekali tidak mempunyai kebebasan, untuk membuat perjanjian. Menurut pasal 1330,
orang yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah pengampuan tidak
mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian. Pasal 108 dan 110 menentukan
bahwa istri (wanita yang telah bersuami) tidak terwenang untuk melakukan
perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Namun berdasarkan fatwa
Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5
September 1963, dinyatakan bahwa pasal 108 dan 110 tersebut pada saat ini sudah
tidak berlaku.
Pasal
1320 (3) menentukan bahwa obyek perjanjian haruslah dapat ditentukan. Suatu hal
tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang harus dipenuhi
dalam suatu perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya
dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas ditentukan jenisnya,
jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan.
Syarat
bahwa prestasi harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk
menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam
pelaksanaan perjanjian. jika prestasi kabur atau dirasakan kurang jelas, yang
menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada
obyek perjanjian dan akibat hukum perjanjian itu batal demi hukum .
Pasal
1320 ayat jo.1337 menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat
perjanjian yang menyangkut causa yang dilarang oleh undang-undang .
Menurut
undang-undang causa atau sebab itu halal apabila tidak dilarang oleh
undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
Akibat hukum perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal ialah bahwa
perjanjian itu batal demi hukum.
Mengenai
obyek perjanjian diatur lebih lanjut dalam pasal 1332 yang menyebutkan bahwa
hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok
suatu perjanjian. Dengan demikian maka menurut pasal tersebut hanya
barang-barang yang mempunyai nilai ekonomi saja yang dapat dijadikan obyek
perjanjian.
Kemudian
pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui
pasal 1338 ayat (3) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan
dengan itikad baik.
Oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan
sekehendak hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus
didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada
itikad buruk misalnya penipuan mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat
dibatalkan.
Sehubungan
dengan pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak Prof. Asikin Kusuma
Atmadja, dalam makalahnya menyatakan bahwa
Hakim berwenang untuk memasuki/meneliti isi suatu kontrak apabila diperlukan
karena isi dan pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam
masyarakat. Dengan demikian asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam pasal
1338 tidak lagi bersifat absolut, yang berarti dalam keadaan tertentu hakim
berwenang melalui tafsiran hukum untuk meneliti dan menilai serta menyatakan
bahwa kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam keadaan yang
tidak seimbang sedemikian rupa, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas
untuk menyatakan kehendaknya.
Lebih
lanjut Prof. Asikin mengatakan bahwa kebebasan berkontrak yang murni/mutlak
karena para pihak kedudukannya seimbang sepenuhnya praktis tidak ada, selalu
ada pihak yang lebih lemah dari pihak yang lain. Beliau mengilustrasikan dengan
suatu cerita lama yang mengandung moral yang ada kaitannya dengan tafsiran
perjanjian. Ada seorang gadis yang orang tuanya miskin dan mempunyai hutang
yang besar karena meminjam uang untuk menyekolahkan anak gadis tersebut.
Kalau
hutangnya tidak segera dibayar maka satu-satunya harta berupa rumah dan
pekarangannya akan dilelang. Sang penolong yang mempunyai kekuasaan ekonomis
datang dan mengadakan perjanjian dengan orang tua gadis tersebut bahwa hutang
akan dilunasi asal gadis tersebut dikawinkan dengan anak lelaki sang penolong,
sedangkan anak gadis tersebut telah mempunyai tunangan. Kemudian terjadilah
perjanjian antara sang penolong dengan orang tua yang miskin tersebut. Apakah
aneh kalau orang tua miskin tersebut kemudian mengingkari janjinya. Moral
disini janganlah mencari kesempatan dalam kesempitan atau jangan
menyalahgunakan kesempatan .
Dalam
ilmu hukum moral tersebut di atas disebut misbruik van omstandigheden (penyalahgunaan kesempatan atau penyalahgunaan
keadaan). Penyalahgunaan kesempatan dapat digunakan dalam kategori cacat dalam
menentukan kehendaknya untuk memberikan persetujuan. Hal ini merupakan alasan
untuk menyatakan batal atau membatalkan suatu perjanjian yang tidak diatur
dalam Undang-undang melainkan merupakan suatu konstruksi yang dapat
dikembangkan melalui Yurisprudensi.
Sesuai
dengan hukum, kebutuhan konstruksi penyalahgunaan kesempatan/keadaan merupakan
atau dianggap sebagai faktor yang membatasi atau yang mengganggu adanya
kehendak yang bebas untuk menentukan persetujuan antara kedua belah pihak.
Salah satu keadaan yang dapat disalahgunakan ialah adanya kekuasaan ekonomi
(economish overwicht) pada salah satu pihak, Yang menggangu keseimbangan antara
kedua belah pihak sehingga adanya kehendak yang bebas untuk memberikan persetujuan
yang merupakan salah satu syarat bagi sahnya suatu persetujuan tidak ada
(kehendak yang cacat), menurut Prof. Z. Asikin yang penting ialah menciptakan
beberapa titik taut yang merupakan dasar bagi hakim untuk menilai secara adil
apakah suatu keadaan dapat ditafsirkan sebagai kekuasaan ekonomi yang
disalahgunakan sehingga mengganggu keseimbangan antara pihak dan membatasi
kebebasan kehendak pihak yang bersangkutan untuk memberikan persetujuan. Disini
terletak wewenang hakim untuk menggunakan interpretasi sebagai sarana hukum
untuk melumpuhkan perjanjian yang tidak seimbang .
Banyak faktor yang dapat memberikan indikasi tentang adanya
penyalahgunaan kekuasaan ekonomi untuk dipertimbangkan oleh hakim. Kalau
umpamanya ternyata ada syarat-syarat yang diperjanjikan yang sebenarnya tidak
masuk akal atau yang tidak patut atau bertentangan dengan perikemanusiaan (on
redelijkecontractsvoorwaarden atau un faircontractterms), maka hakim wajib
memeriksa dan meneliti inconcreto faktor-faktor apa yang bersifat tidak masuk
akal, tidak patut, atau tidak berperikemanusiaan tersebut.
Begitupula kalau
nampak atau ternyata pihak debitur berada dalam keadaan tertekan (dwang
positie), maka hakim wajib meneliti apakah inconcreto terjadi penyalahgunaan
ekonomis. selanjutnya juga kalau terdapat keadaan dimana bagi debitur tidak ada
pilihan lain kecuali mengadakan perjanjian dengan syarat-syarat yang
memberatkan, terakhir dapat disebut keadaan dimana nilai dan hasil perjanjian
tersebut sangat tidak seimbang kalau dibandingkan dengan prestasi timbal balik
dari para pihak. Juga dalam hal ini hakim wajib meneliti apakah in
concreto terjadi penyalahgunaan kekuasaan ekonomis.
Dengan
demikian maka jelas bahwa asas kebebasan berkontrak tidak mempunyai arti yang
tidak terbatas, akan tetapi terbatas oleh tanggungjawab para pihak, dan
dibatasi oleh kewenangan hakim untuk menilai isi dari setiap kontrak.
(dari
berbagai sumber + Ajaran Ibu Rosa Agustina T. Pangaribuan , SH. , MH.)
Posting Komentar