lpksmcelebes.com/_Akses pelayanan kesehatan merupakan hal yang dibutuhkan bagi
masyarakat pada umumnya, baik upaya kesehatan promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitasi. Pasal 1 ayat (14) UU No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan mengatur
bahwa “Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan
kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat”.
Terkait dengan hal
tersebut, upaya pemenuhan kesehatan pasien tidak bisa lepas hubungannya dengan
dokter selaku pihak yang meyembuhkan kesehatan pasien, hubungan tersebut
dinamakan dengan “hubungan terapeutik”.
Hubungan antara pasien dan dokter dalam pelayanan kesehatan oleh
beberapa akademisi dan praktisi hukum juga berpendapat sama, bahwa pasien dapat
digolongkan sebagai konsumen sedangkan dokter dan rumah sakit digolongkan
sebagai pelaku usaha dalam bidang kesehatan.
Hal ini membawa dampak bahwa aturan-aturan
yang ada dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
juga berlaku dalam hubungan transaksi terapeutik dokter dan pasien tersebut.
Pengertian perlindungan konsumen terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa “Perlindungan Konsumen adalah
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada konsumen”.
Menurut penulis, perlu ada pembagian ketika UU perlindungan
konsumen akan dikaitkan dengan pelayanan kesehatan, dalam hal ini hubungan
transaksi terapeutik antara dokter dan pasien:
Pertama; apabila
bentuk rumah sakitnya non profit atau rumah sakit pemerintah yang tujuannya
bukan untuk mencari keuntungan ekonomi, maka segala tindakan medis yang
dilakukan oleh pelayanan kesehatan atau dokter khususnya dan pasien yang
menerima pelayanan kesehatan, tidak bisa dianggap sebagai pelaku usaha
sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan UU Perlindungan Konsumen, dan ketika
terjadi sengketa medis yang muncul disebabkan kelalaian medis oleh dokter maka
pihak rumah dan dokter juga memilki tanggung jawab secara ekonomi dan hukum,
namun kedudukan mempertanggung jawabkan sengketa medis tersebut, bukan sebagai
pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UU
Perlindungan Konsumen.
Kedua; berdasarkan Pasal 21 UU No.44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
mengatur bahwa “Rumah Sakit privat sebagaimana diatur dalam 20 ayat (1)
dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit dengan berbentuk perseroan
terbatas atau persero”.
Ketika berbicara perseroan terbatas berarti
berbicara terkait perkumpulan modal yang tujuannya mencari keuntungan ekonomi,
Pasal 21 UU Rumah Sakit tersebut, menandakan bahwa Rumah Sakit privat dalam
kedudukanya dianggap sebagai pelaku usaha yang memberikan jasa pelayanan
kesehatan terhadap pasien dalam hal ini konsumen, maka dari itu rumah sakit
privat dapat dimintai pertanggung jawaban oleh pasien yang mengalami kerugian
diakibatkan kurang profesionalnya jasa pelayanan kesehatan rumah sakit privat
khsusnya dokter dalam tindakan medisnya baik secara hukum maupun ekonomi
melalui UU Perlindungan Konsumen.
Apabila dikaitkan dengan dunia usaha maka hubungan dokter dan
pasien merupakan hubungan antara pelaku usaha(produsen) dan konsumen, mengingat
ciri khas dari hubungan terapeutik yakni bergerak pada pemberian jasa pelayanan
kesehatan yang belum pasti hasilnya, dengan demikian pasien sebagai konsumen
yang menerima jasa pelayanan kesehatan berhak menuntut segala kerugian materill
maupun inmaterill yang diakibatkan oleh buruknya penyedia pelayanan kesehatan
khsususnya dokter berdasarkan UU Perlindungan Konsumen.
Dalam Pasal 19 ayat (2) UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen telah mengatur bahwa “ganti rugi sebagaimana yang dimaksud ayat (1)
dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
Mencermati pasal tersebut dapatlah diketahui bahwa tanggung jawab
pelaku usaha meliputi :
(1) tanggung jawab ganti kerugian atas rusaknya suatu
produk barang/jasa,
(2)tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran,
(3)
tanggung jawab ganti rugi atas kerugian konsumen disebabkan tidak baiknya
produk jasa dan barang yang dihasilkan. Namun yang perlu dicermati juga terkait
substansi Pasal 19 ayat (2) tersebut, dimana pasien hanya mendapatkan ganti
rugi atas pengembalian uang atau penggantian barang dan jasa saja, padahal
pasien sebagai konsumen telah menderita kerugian bukan hanya kerugian atas
barang dan jasa namun juga kerugian yang diakibatkan dari biaya perawatan.
Pasien secara yuridis tidak dapat diidentikkan dengan konsumen,
hal ini karena hubungan yang terjadi di antara mereka bukan merupakan hubungan
jual-beli yang diatur dalam KUHPerdata dan KUHD, melainkan hubungan antara dokter
dengan pasien hanya merupakan bentuk perikatan medik, yaitu perjanjian “usaha”
(inspanning verbintenis) tepatnya perjanjian usaha kesembuhan
(teraupetik), bukan perikatan medik “hasil” (resultaat verbintenis).
Selain pada tatanan yang lain profesi dokter dalam etika kedokteran masih
berpegang pada prinsip “pengabdian dan kemanusiaan”, serta para akademisi
hukum, akademisi kedokteran, praktisi hukum, sampai kepada penegak hukum belum
memiliki kesamaan pendapat, apakah pelayanan kesehatan rumah sakit yang
dilakukan oleh dokter sebagai tenaga kesehatan dalam hal terjadi sengketa medis
dapat dimintai pertanggung jawaban hukum melalui UU Perlindungan Konsumen,
dengan alasan bahwa pelayanan kesehatan rumah sakit yang dilakukan oleh dokter,
adalah upaya kesehatan yang bermuatan nilai-nilai kemanusiaan.
Sumber : Hasrul
Buamona,SH (Staf Pembela Umum LBH Yogyakarta )
Posting Komentar