lpksmcelebes.com/ - Realitas bahwa sebagian rakyat kita memakan sisa-sisa makanan
entah dari restoran, rumah makan, atau potongan-potongan makanan yang terbuang
sebenarnya bukanlah hal baru. Itu pun sudah menjadi pengetahuan umum rakyat
(miskin) perkotaan apalagi bagi aktivis pengorganisasian dan pendampingan
rakyat miskin perkotaan.
Jauh
sebelum Soeharto jatuh, di tahun 1990-an, menu dari sisa-sisa makanan yang
terbuang dan dikumpulkan atau dicampuradukkan menjadi satu itu di sebagian
kalangan anak jalanan, yang juga disebut Tikyan, sangat populer dinamakan Oyen.
Tanpa
peduli pada ancaman penyakit yang ada dalam Oyen, Oyen mau tak mau menjadi menu
makan (ter) favorit bagi anak jalanan, dan para kere lainnya yang setiap hari
harus bergulat dengan rasa lapar tanpa jaminan yang pasti darimana makanan
pengganjal perut bisa diperoleh.
Soal
seluk-beluk Oyen dan kehidupan anak jalanan bisa dibaca di bulletin anak
jalanan, Jejal, JErit JAlanan, dari Yogyakarta, yang diterbitkan komunitas
Girli atau Riwayat Hidup dan perjuangan Heri Bongkok: Perjuangan dan
Penindasan, yang diterbitkan oleh YLPS Humana, Yogyakarta tahun 1995.
Tidak
diragukan memang, sebagian masyarakat sendiri sudah memberi stigma pada
anak-anak jalanan dan para kere itu sebagai gelandangan tak berguna dan sampah
masyarakat yang tak bisa punya kehidupan dan tak bisa dididik menjadi warga
negara yang baik.
Dengan
demikian, turut melanggengkan anak-anak jalanan dan para kere itu terus-menerus
menjadi orang-orang terbuang, jauh dari standar normal kehidupan warganegara
dan kemanusiaan umumnya.
Tentu
ini adalah problem sosial yang tak bisa didiamkan. Negara harus
bertanggung-jawab pada pemenuhan kemanusiaan para gelandangan, kere dan
anak-anak jalanan lainnya sebagaimana amanat UUD Dasar 1945: fakir miskin dan
anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Dari
kehidupan anak jalanan, para kere dan rakyat miskin perkotaan itu bisa dipahami
betapa susah mereka menghadapi hidup dari hari ke hari bahkan dalam soal
kebutuhan yang sangat primer: makan. Sementara itu kehidupan lain yang sangat
foya-foya dengan makanan dapat ditemukan dengan mudah. Di balik gedung-gedung
megah, atau di belakang restoran mewah, rakyat yang lapar antre menadah limbah
dan sisa-sisa makanan yang terbuang. Sebagian lagi mengais-ngais di tong
sampah, jalanan dan gerbong-gerbong kereta api.
Namun,
sisa-sisa makanan, termasuk daging yang tak lagi muat di perut kekenyangan
alias Oyen yang dulu cukup menjadi lingkaran para tikyan atau para gelandangan
dan kere itu akhirnya menembus lingkaran yang lebih luas: masyarakat perkotaan
yang semakin dimiskinkan dan membutuhkan berbagai jenis kebutuhan yang bisa
dimurahkan karena gaji dari kerja tak cukup mengikuti perkembangan harga-harga
pasar. Inilah peluang bisnis baru, tak peduli kesehatan perut konsumen yang
rata-rata juga termasuk golongan orang susah.
Media
cetak dan elektronik yang gencar memberitakan penjualan olahan daging sisa
(yang kadang sudah membusuk) di pasaran semakin membuat rakyat kecil dengan
gaji pas-pasan semakin mual, muak dan bingung: makanan apa yang sehat, bersih
dan layak untuk dikonsumsi? Mau tak mau pikiran pun melayang-layang pada
gerai-gerai bersih tapi mahal semacam Carrefour dan sejenisnya tapi tentu saja
kantong tak cukup, sementara di warung jalanan yang sering memberikan harga
murah, sudah terbayang tentang pemberitaan daging tikus sebagai campuran bakso
atau daging sisa restoran busuk yang sudah diolah kembali dengan menggunakan
zat-zat yang bisa berbahaya bagi kesehatan tubuh. Begitu mengerikan dan
menjijikkan.
Situasi
seperti ini tentu tak baik bagi perkembangan usaha makanan dari para pengusaha
kecil yang sedang merintis dan kadang memang penuh kejujuran dalam proses
produksinya. Di pihak lain, jelas bahwa selama ini perlindungan konsumen, hanya
diperuntukkan bagi kelas menengah ke atas.
Apa
yang dimakan rakyat kecil, tak diurus dengan baik kecuali ada temuan-temuan
yang itu pun justru menimbulkan banyak kecurigaan karena masalah yang muncul
seringkali tak diusut dengan tuntas. Di sisi lain adalah mematikan usaha-usaha
kecil yang jujur atau setidak-tidaknya membikin rakyat was-was terhadap makanan
murah yang beredar di masyarakat yang pada kenyataannya memang membutuhkan
harga murah dan mengarahkan pola konsumsi rakyat pada gerai-gerai “bersih” yang
dijamin “kesehatan” nya.
Bisa
jadi rakyat pun lantas mengambil kesimpulan: Yang mahal pasti bersih dan sehat
sedangkan yang murah? Hmmm…pasti ada apa-apanya dan tak bermutu; sebagaimana
juga di bidang-bidang lain: kesehatan, pendidikan, transportasi.
Sementara
yang kita butuhkan dalam soal pelik ini adalah pengawasan yang professional
sekaligus berdedikasi terhadap rakyat dan publik yang membutuhkan. Tanpa itu,
profesionalitas akan kehilangan arah dan jauh dari cita-cita bangsa yang hendak
menyejahterakan, memakmurkan dan melayani rakyat sebagaimana cita-cita
Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia 63 tahun yang lalu.
Bukankah
gerai-gerai asing, termasuk dalam hal kesehatan dan pendidikan, (untuk
sementara ini) dijamin akan lebih bermutu dan lebih professional dalam melayani
publik dengan berbagai sertifikasi yang sudah diperoleh? Tapi apakah semua
gerai-gerai asing itu dapat dijangkau rakyat? Atau, malah justru akan semakin
memiskinkan rakyat karena rakyat terjebak dalam pola konsumsi neoliberal?
#bE smart consumert
Posting Komentar