Perlindungan Konsumen CELEBES./ Asas kebebasan berkontrak
setiap orang dapat menciptakan perjanjian perjanjian baru yang dikenal dalam
Perjanjian Tidak Bernama dan isinya menyimpang dari Perjanjian Bernama yang
diatur oleh undang-undang, yakni Buku III KUHPerdata.
Perjanjian standar
merupakan Perjanjian yang hampir seluruh klausulnya sudah dibakukan oleh salah
satu pihak dan pihak lainnya hampir tak memiliki peluang untuk merundingkan
atau meminta perubahan. Perjanjian standar salah satu dari wujud perjanjian
dengan asas kebebasan berkontrak.
Walaupun Dalam perkembangannya, ternyata
kebebasan berkontrak dapat menimbulkan ketidakadilan, karena untuk mencapai
asas kebebasan berkontrak harus didasarkan pada posisi tawar (bargaining
position) para pihak yang seimbang. Dalam kenyataannya hal tersebut sulit
(jika dikatakan tidak mungkin) dijumpai adanya kedudukan posisi tawar yang
betul-betul seimbang atau sejajar. Pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih
tinggi seringkali memaksakan kehendaknya. Dengan posisi yang demikian itu, ia
dapat mendikte pihak lainnya untuk mengikuti kehendaknya dalam perumusan isi
perjanjian.
Keberadaan undang-undang perlindungan konsumen salah satunya adalah
undang-undang di bidang hokum ekonomi untuk membatasi adanya kebebasan
berkontrak tersebut. Secara hokum, undang-undang perlindungan konsumen
memberikan ancaman kebatalan perjanjian di luar adanya paksaan, kesesatan, dan
penipuan demi untuk melindungi hak-hak kondumen yang dirugikan dengan semakin
maraknya model perjanjian den gan bentuk standar.
Disetiap pembuatan kontrak, baik dalam tahap pra kontrak, harus memuat
itikad baik dari kedua belah pihak. Unsur moral dan postulat masyarakat masuk
ke dalam konsep iktikad baik sebagai basis bagi suatu tindakan yang mensyaratkan
adanya penghormatan tujuan hokum . Itikad baik dari perjanjian dapat dilihat
dari isi kontrak tersebut antara hak dan kewajiban masing-masing pihak
harus berimbang. Kewajiban salah satu pihak tidaklah memberatkan pihak lainnya
untuk melaksanakan. Para pihak sebelum menandatangani kontrakpun harus mengukur
kemampuan dirinya didalam nantinya pada saat melaksanakan isi kontrak yang akan
dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan kontrak, Prinsip iktikad baik dalam
pelaksanaan kontrak didasarkan pada ide bahwa para pihak dalam suatu hubungan
hukum harus memiliki sikap yang dikaitkan dengan karakter reciprocal
trust danconsideration sesuai dengan tujuan norma hukum.
iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak adalah mengacu kepada isi perjanjian
yang harus rasional dan atau patut. Iktikad baik dalam konteks Pasal
1338 ayat (3) KUHPerdata harus didasarkan pada kerasionalan dan kepatutan.
Iktikad baik bermakna bahwa kedua belah pihak harus berlaku satu dengan lainnya
tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa mengganggu pihak lain, tidak hanya
melihat kepentingan diri sendiri saja, tetapi juga kepentingan pihak lainnya.
Doktrin ini bermakna bahwa tingkah laku para pihak dalam melaksanakan
perjanjian harus diuji atas dasar norma-norma objektif yang tidak tertulis.
Pasal 1374 ayat (3) BW (lama) Belanda (Pasal 1338 KUHPerdata Indonesia)
menyatakan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan iktikad baik (zij moten
te goeder trouw worden ten uitvoerverklaart). Kewajiban ini kemudian
dilanjutkan Pasal 1375 (Pasal 1339 KUHPerdata Indonesia) yang menyatakan bahwa
kontrak tidak hanya mengikat terhadap apa yang secara tegas dinyatakan di
dalamnya, tetapi juga kepada segala sesuatu yang menurut sifat kontrak,
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang. Berkaitan dengan kebiasaan,
Pasal 1383 BW (lama) Belanda (Pasal 1374 KUHPerdata Indonesia) menyatakan bahwa
hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara
diam-diam dimasukkan ke dalam kontrak meskipun tidak secara tegas
diperjanjikan. Dalam hal penyalahgunaan keadaan dapat dilihat pada saat
tahap pra kontrak tersebut dibuat.
Penyalahgunaan keadaan, bisa dalam bentuk memanfaatkan keadaan salah satu pihak yang pada saat itu dalam kondisi sulit secara ekonomi, yang mau tidak mau demi untuk mendapatkan sesuatu yang dia butuhkan pihak tersebut pada akhirnya menandatangani kontrak tersebut tanpa melihat resiko yang akan dia terima dikemudian hari. Dan bisa juga dalam bentuk bujuk rayu salah satu pihak, dimana pihak tersebut sebenarnya tidak memahami apa yang dia tanda tangani didalam kontrak tersebut. Berdasar Pasal 1337 KUHPerdata suatu kausa dapat menjadi terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, ketertiban umum, Dan kepatutan.
Penyalahgunaan keadaan, bisa dalam bentuk memanfaatkan keadaan salah satu pihak yang pada saat itu dalam kondisi sulit secara ekonomi, yang mau tidak mau demi untuk mendapatkan sesuatu yang dia butuhkan pihak tersebut pada akhirnya menandatangani kontrak tersebut tanpa melihat resiko yang akan dia terima dikemudian hari. Dan bisa juga dalam bentuk bujuk rayu salah satu pihak, dimana pihak tersebut sebenarnya tidak memahami apa yang dia tanda tangani didalam kontrak tersebut. Berdasar Pasal 1337 KUHPerdata suatu kausa dapat menjadi terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, ketertiban umum, Dan kepatutan.
Pasal 1374 ayat (3) BW (lama) di atas menunjuk kepada norma-norma hukum
tidak tertulis, karena petunjuk itu, ia menjadi norma-norma hukum tidak
tertulis. Norma-norma tersebut tidak hanya mengacu kepada anggapan para pihak
saja, tetapi harus mengacu kepada tingkah laku yang sesuai dengan pandangan
umum tentang iktikad baik tersebut.
Kesimpulannya didalam
menyelesaikan suatu kasus yang berkaitan dengan ketidak adilan yang ditimbulkan
didalam kontrak, hakim harus memuat pertimbangan-pertimbangan hokum sebagaimana
yang telah disebutkan diatas demi mewujudkan rasa keadilan yang ada didalam
masyarakat.
Literatur :
- Pokok-pokok Hukum Dagang di Indonesia oleh Prof.Ridwan Khairandy
- Hukum kontrak Indonesia dalam perspektif perbandingan oleh Prof.Ridwan
Khairandy
- KUHPerdata
#Berbagai sumber
Posting Komentar