Latar belakang masalah
Jaminan
fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat
dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap dalam penguasaan Pemberi Fidusia,
sebagai agunan bagi pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.[1]
Pemberi
fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka
pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Sebagaimana diatur dalam Pasal 30
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA (
Selanjutnya disebut UUJF). Yaitu :
“ Pemberi Fidusia wajib menyerahkan
Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi
Jaminan Fidusia.”
Apabila
pemberi fidusia tidak menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia pada
waktu eksekusi dilaksanakan, penerima fidusia berhak mengambil benda yang
menjadi objek jaminan fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak
yang berwenang. (diatur dalam Penjelasan Pasal 30 UUJF). Peraturan
mengenai jaminan fidusia tidak mengatur lebih lanjut dengan jelas siapa pihak
yang berwenang untuk dimintai bantuan dalam eksekusi jaminan fidusia.
Kepolisian Republik Indonesia adalah alat negara yang bertugas dan berperan
untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, adalah yang paling
berwenang didalam memberikan bantuan pengamanan pelaksanaan eksekusi jaminan
fidusia. Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan hukum mengikat yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Atas dasar itu
dibentuklah Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia. Lembaga kepolisian adalah organ
pemerintah yang ditetapkan sebagai suatu lembaga dan diberikan kewenangan
menjalankan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan ( Sadjijono,
2008: 52-53).
Selanjutnya
Pasal 5 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia menyebutkan bahwa:
“
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.”
Kewenangan
Kepolisian didalam mengamankan pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia adalah
bertujuan agar terselenggaranya pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia secara
aman, tertib, lancar dan dapat dipertanggung jawabkan serta terlindunginya
keselamatan dan keamananan Penerima Jaminan Fidusia , Pemberi Fidusia dan/ atau
masyarakat dari perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian harta benda dan
keselamatan. Artinya ruang lingkup Kepolisian dalam rangka pengamanan eksekusi
Jaminan Fidusia adalah dalam lingkup melindungi keselamatan dan keamanan para
Pihak (Pemberi dan Penerima Fidusia) serta masyarakat secara umum dari
tindakan, perbuatan dan hal-hal yang merugikan harta benda dan keselamatan.
Dalam
pasal 20 PERKAPOLRI No.8 Tahun 2011, menyebutkan :
“ Dalam hal termohon eksekusi merasa
telah membayar atau melunasi kewajibannya kepada
petugas lain yang ditunjuk oleh pemohon
eksekusi, yang mengakibatkan timbulnya perselisihan pada saat atau sedang dilaksanakan
eksekusi, maka personel Polri yang melaksanakan pengamanan melakukan tindakan
sebagai berikut:
a. mengadakan pendekatan persuasif antara pemohon dan termohon melalui
musyawarah;
b. menanyakan dengan sopan dan humanis kepada termohon, untuk menunjukan
dokumen
pendukung atau bukti pembayaran atau pelunasan;
c. mengamankan lingkungan sekitar eksekusi untuk mencegah meningkatnya
eskalasi
keamanan; dan
d. apabila termohon mempunyai bukti pembayaran atau pelunasan yang sah,
personel Polri:
1. menunda atau menghentikan pelaksanaan eksekusi;
2. membawa dan menyerahkan petugas yang ditugaskan
oleh pemohon kepada
penyidik Polri untuk
penanganan lebih lanjut; dan
3. membawa pihak termohon dan pemohon eksekusi ke
kantor kepolisian terdekat
untuk
penanganan lebih lanjut. “
sebagaimana dalam pasal yang disebutkan
diatas, maka Tugas dan kewenangan Kepolisian dalam rangka ikut mengamankan
pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia telah memasuki ruang lingkup yang tidak
lagi menjadi kewenangannya, yaitu memasuki ruang lingkup Hukum Perdata.
PERMASALAHAN
1.
Sejauh mana Kewenangan Kepolisian dalam melaksanakan Tindakannya
berdasarkan pasal 20 PERKAPOLRI No.8 Tahun 2011 didalam mengamankan pelaksanaan
eksekusi Jaminan Fidusia ?
2.
Apakah tindakan Kepolisian berdasarkan PERKAPOLRI No.8 Tahun 2011
bertentangan dengan UU No.42 Tahun 1999 tentang Fidusia ?
TINJAUAN
PUSTAKA
Hukum
adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh
pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk
mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi
pelanggarnya. Salah satu bidang hukum yang
mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek
hukum.
Hukum perdata Indonesia
Hukum perdata disebut pula hukum privat
atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur
hal-hal yang berkaitan dengan negaraserta kepentingan umum
(misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan
sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur
hubungan antara penduduk atauwarga negara sehari-hari, seperti misalnya
kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda,
kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.[2]
Perjanjian Utang Piutang adalah Hubungan
Keperdataan
Perjanjian
utang piutang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) tidak
diatur secara tegas dan terperinci, namun bersirat dalam Pasal 1754 KUH
Perdata, yang menyatakan dalam perjanjian pinjaman, pihak yang meminjam harus
mengembalikan dengan bentuk dan kualitas yang sama (selanjutnya untuk
kemudahan, maka istilah yang dipergunakan adalah “perjanjian utang piutang”).
Pasal 1754 KUH Perdata yang dkutip sebagai berikut:
“Pinjam meminjam ialah perjanjian dengan
mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu
barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang
belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan
yang sama pula.”
Kesepakatan
yang melahirkan hubungan keperdataan dalam hal ini utang piutang, tentu menjadi
undang-undang kepada para pihak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1338 KUH
Perdata yang berbunyi sebagai berikut:
“Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Sehingga,
kesepakatan mengenai hak dan kewajiban para pihak yang tertuang dalam
perjanjian utang piutang tersebut harus dengan iktikad baik dilaksanakan. Dalam
hal tidak ada atau bahkan kesepakatan rinci tidak dituangkan dalam suatu bentuk
tertulis, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1319 KUH Perdata ditegaskan bahwa
aturan umum dalam KUH Perdata akan berlaku dan menjadi aturan yang harus
dipatuhi oleh para pihak. Dengan berpatokan pada KUH Perdata, maka setiap
penafsiran, tindakan, maupun penyelesaian sengketa yang muncul harus dirujuk
pada perjanjian utang piutang dan KUH Perdata. Termasuk untuk menentukan suatu
pihak berada dalam keadaan wanprestasi, yang banyak ahli hukum perdata
mengkategorikan wanprestasi ke dalam 4 (empat) keadaan, yaitu:
1. Sama sekali tidak
memenuhi.
2. Tidak tunai memenuhi
prestasi.
3. Terlambat memenuhi
prestasi.
4. Keliru memenuhi
prestasi.
Sehingga,
pihak si berutang dapat dikatakan berada dalam keadaan wanprestasi apabila
telah menerima teguran (sommatie/ingebrekestelling) supaya memenuhi
kewajibannya untuk melunasi utangnya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1238 KUH
Perdata yang dikutip sebagai berikut:
“Si berutang adalah lalai, apabila
ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan
lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si
berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Muara
terakhir dari keadaan wanprestasi ini adalah pengajuan gugatan terhadap pihak
yang berutang. Dengan demikian, pengadilan terkait didasarkan pada bukti yang
kuat akan menyatakan si berutang berada dalam keadaan wanprestasi, dan
diwajibkan untuk memenuhinya, serta apabila diminta pengadilan akan meletakan
sita terhadap harta benda si berutang. Artinya, kekuatan eksekutorial dimiliki
oleh pihak yang mengutangkan, sehingga secara hukum dia berhak meminta bantuan
pengadilan untuk mengeksekusi barang si berutang tersebut.[3]
Merupakan
suatu keharusan, dalam suatu hubungan utang piutang, adanya pelunasan dari
pihak yang berutang atau debitur untuk melakukan pelunasan atas utangnya
tersebut, termasuk apabila ditentukan adanya bunga, provisi, maupun beban-beban
lainnya. Selain itu dapat pula dipersyaratkan, oleh pihak berpiutang atau
kreditur, mengenai adanya jaminan yang ditunjukkan untuk lebih menjamin kepastian
pelunasan utang tersebut, agar dapat terlaksana sesuai dengan yang
diperjanjikan.[4] Adanya
kepastian jaminan pelunasan utang kepada kreditur termaksud di atas, kemudian
diwujudkan dalam suatu hak jaminan (zekerheidsrechten), yaitu hak yang
memberikan kepada kreditur kedudukan yang lebih baik dari pada
kreditur-kreditur lainnya dalam suatu hubungan utang piutang. Kedudukan lebih
baik ini diperoleh kreditur dikarenakan dalam pemenuhan pelunasan piutangnya,
kreditur tersebut lebih terjamin dibandingkan kreditur lainnya yang tidak
mempunyai hak jaminan.
Jaminan Fidusia Adalah Perjanjian
Accessoir Dari Perjanjian Utang Piutang
Dalam
suatu hak jaminan khusus, pemberian jaminan pada dasarnya merupakan pemberian
hak kepada kreditur tertentu oleh debitur dalam bentuk penunjukan atau
penyerahan benda tertentu secara khusus, sebagai jaminan atau pelunasan
kewajiban atau utang. Oleh karenanya hak jaminan khusus ini hanya berlaku untuk
kreditur tertentu tersebut, baik secara kebendaan maupun secara
perorangan. [5] Penunjukan ini didasarkan dalam suatu perjanjian yang bersifat accessoir,
yaitu perjanjian yang mengikuti dan yang melekat pada perjanjian dasar atau
perjanjian pokok, dalam hal ini adalah perjanjian utang piutang.
Berdasarkan
Pasal 4 UUJF, Jaminan Fidusia adalah perjanjian ikutan dari suatu perjanjian
pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.
Perjanjian Pokoknya adalah Pinjam-meminjam Uang antara Debitor sebagai Pemberi
Fidusia dan Kreditor sebagai Pemegang Fidusia. Fidusia sebagai
lembaga jaminan sebenarnya bukanlah hal yang baru, tapi sudah lama digunakan
dalam dunia usaha, baik di Indonesia maupun di negara maju lainnya dengan
berbagai variasi. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Sri Soedewi Masjchun
Sofwan, jika ditelusuri sejarah sebenarnya lembaga fidusia dengan berbagai
variasinya telah dipraktekkan juga di beberapa negara maju lainnya selain
Belanda.[6] Kata
Fidusia pada awalnya berasal dari kata “Fides” yang mempunyai arti kepercayaan.
Sesuai dengan arti/makna dari kata tersebut, maka hubungan (hukum) antara
debitur (pemberi fidusia) dengan kreditur (penerima fidusia), merupakan
hubungan hukum yang didasarkan atas kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa
penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan,
setelah dilunasi utangnya. Sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi
fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam
kekuasaannya [7]. Menurut
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang dimaksud dengan
Jaminan fidusia adalah:
“ hak jaminan atas benda bergerak, baik
berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang
tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi
fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.”
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang dimaksud dengan pengertian
Fidusia adalah :
“pengalihan hak kepemilikan suatu benda
atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya
dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.”
Beberapa ciri yang tampak dalam
perumusan tersebut antara lain:
a. Pengalihan hak kepemilikan suatu
benda;
b. Atas dasar kepercayaan;
Pengalihan
hak kepemilikan atas benda yang menjadi obyek jaminan fidusia seperti tersebut
di atas dilakukan dengan cara constitutum possessorium (verklaring
van houderschap), artinya, pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda
dengan tetap menguasai secara fisik benda tersebut yang berakibat bahwa Pemberi
Fidusia seterusnya akan menguasai dan memakai benda dimaksud untuk kepentingan
penerima jaminan fidusia “(Penerima Fidusia”) [9].
Jaminan
Fidusia sebagai hak kebendaan yang sekarang ini diatur dalam Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut :
1. Jaminan Fidusia mempunyai sifat accessoir
Jaminan Fidusia
bersifat accessoir artinya jaminan fidusia bukan hak yang berdiri sendiri
tetapi lahirnya keberadaannya atau hapusnya tergantung perjanjian pokoknya.
Yang dimaksud perjanjian pokok adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban
bagi para pihak untuk memenuhi prestasi. Sifat accessoir dari jaminan fidusia
berdasarkan pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia mengatur bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dan suatu
perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi.
Sedangkan Pasal 25 juga menegaskan bahwa Jaminan Fidusia hapus karena hapusnya
utang yang dijamin dengan fidusia.
2. Jaminan Fidusia mempunyai sifat droit de suite (Pasal
20 UUJF).
Jaminan Fidusia tetap mengikuti benda
yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada,
kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
Ketentuan ini mengakui prinsip Droit de Suite yang telah merupakan bagian dari
Peraturan Perundang-undangan Indonesia dalam kaitannya dengan Hak Mutlak atas
kebendaan (in rem).[10]
Memberikan kedudukan yang mendahului
kepada Kreditor penerima Fidusia terhadap Kreditor lainnya. Penerima Fidusia
memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya. Hak yang didahulukan
dihitung sejak tanggal pendaftaran benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia
pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Hak didahulukan yang dimaksud adalah hak
Penerima Fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda
yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Hak yang didahulukan dari Penerima Fidusia
tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi Pemberi Fidusia.
Ketentuan dalam hal ini berhubungan dengan ketentuan bahwa Jaminan Fidusia
merupakan hak agunan atas kebendaan bagi pelunasan utang. Disamping itu,
ketentuan dalam Undang-undang tentang Kepailitan menentukan bahwa benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia diluar kepailitan dan atau likuidasi. Apabila
atas benda yang sama menjadi objek Jaminan fidusia lebih dari 1 satu)
perjanjian Jaminan Fidusia, maka hak yang didahulukan ini diberikan kepada
pihak yang lebih dulu mendaftarkannya pada kantor Pendaftaran Fidusia.
4. Jaminan Fidusia untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada.
Fungsi jaminan fidusia ialah untuk
menjamin pelunasan suatu utang yang besarnya telah diperjanjikan dalam
perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit atau perjanjian utang. Utang yang
dijamin pelunasannya dengan fidusia harus memenuhi syarat sesuai Pasal 7
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yaitu :[12]
a) Utang yang telah ada artinya besarnya utang yang ditentukan dalam
perjanjian kredit atau perjanjian lainnya. Besarnya utang yang ada dalam
perjanjian kredit merupakan jumlah utang maksimum atau disebut plafond kredit.
Sering terjadi jumlah plafond kredit yang tercantum dalam perjanjian kredit
tidak seluruhnya ditarik oleh debitur sehingga jumlah utang yang sebenarnya
tidak sama dengan jumlah plafond dalam perjanjian kredit. Oleh karena itu
besarnya utang telah ada, dapat menggunakan bukti tambahan berupa rekening
koran atau bukti lainnya yang dikeluarkan bank. Rekening koran yang diterbitkan
bank inilah merupakan bukti besarnya jumlah utang riil yang ada yang dijamin
pelunasannya dengan jaminan fidusia.
b) Utang yang akan timbul dikemudian hari yang telah diperjanjikan dalam
jumlah tertentu. Utang yang akan timbul di kemudian hari atau yang akan ada ini
misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang akan dilakukan oleh kreditur
untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan garansi bank. Utang ini
merupakan utang yang akan ada karena terjadinya di masa akan datang
tetapi jumlahnya utang sudah bisa ditentukan sesuai komitmen kreditur untuk
membayar bank garansi akibat debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada
penerima bank garansi (pihak yang dijamin).
c) Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan
perjanjian kredit yang menimbulkan kekayaan memenuhi suatu prestasi. Pada saat
eksekusi terhadap jaminan fidusia, kreditur akan menentukan jumlah utang riil
debitur berdasarkan perjanjian kredit atau rekening koran yang meliputi
penarikan hutang pokok, bunga, denda keterlambatan dan biaya-biaya lainnya yang
dikeluarkan kreditur. berdasarkan bukti-bukti tersebut jumlah utang dapat
ditentukan pada saat kreditur akan mengajukan eksekusi.
5. Jaminan Fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur bahwa jaminan fidusia dapat diberikan
kepada lebih dari satu penerima fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari
penerima fidusia tersebut. Dari ketentuan pasal ini, maka benda jaminan fidusia
dapat dijaminkan oleh debitur kepada kreditur hanya berlaku dalam rangka
pembiayaan kredit secara konsorsium atau sindikasi. Artinya seorang kreditur
secara bersama-sama dengan kreditur lain (secara konsorsium atau sindikasi)
memberikan kredit kepada seorang debitur dalam satu perjanjian kredit.
Jaminan
fidusia yang diberikan debitur digunakan untuk menjamin kepada semua kreditur
itu secara bersama. Antara kreditur satu dengan kreditur lainnya mempunyai
kedudukan yang sama atas jaminan fidusia, tidak ada kreditur yang memiliki
peringkat yang lebih tinggi dibanding debitur lain. Dari ketentuan Pasal 8
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ini tidak berlaku
ketentuan pemegang jaminan peringkat pertama, pemegang jaminan fidusia
peringkat kedua terhadap kreditur yang memberikan kredit secara bilateral
kepada seorang debitur. Tidak adanya peringkat jaminan fidusia dengan peringkat
utama, kedua dan seterusnya dapat mengacu pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur bahwa pemberi fidusia dilarang
melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang
sudah terdaftar. Hal ini berbeda dengan Hak Tanggungan yang mengenal peringkat
Hak Tanggungan pertama, kedua dan seterusnya yang berlaku bagi kreditur dalam
memberikan kredit kepada debitur baik dilakukan secara bersama-sama dengan
kreditur lain atau konsorsium atau sindikasi maupun secara bilateral atau
masing-masing kreditur.[13]
6. Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial ( Pasal 29 UUJF).
Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Dalam hal Debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, Pemberi Fidusia wajib
menyerahkan objek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi. Eksekusi
dapat dilaksanakan dengan cara pelaksanaan titel eksekutorial oleh Pemegang
Fidusia artinya langsung melaksanakan eksekusi melalui Lembaga Parate Eksekusi,
atau penjualan benda Objek Jaminan fidusia atas kekuasannya sendiri melalui
Pelelangan Umum serta mengambil pelunasan dari hasil penjualan. Dalam hal akan
dilakukan penjualan dibawah tangan, harus dilakukan berdasarkan kesepakatan
Pemberi dan Penerima Fidusia.[14] Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia yang artinya menegaskan Sertifikat Jaminan Fidusia yang
dicantumkan kata-kata ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dengan sifat eksekutorial ini jika debitur
cidera janji maka kreditur sebagai penerima fidusia dapat melakukan penjualan benda
jaminan secara langsung dengan bantuan Kantor Lelang atau tidak dengan bantuan
Kantor Lelang dan tidak perlu meminta fiat dari pengadilan. Hak kreditur untuk
menjual sendiri benda jaminan dinamakan Parate Eksekusi.[15]
7. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat pihak ketiga dan
memberikan Jaminan kepastian hokum kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
(Pasal 6 dan Pasal 11 UUJF).[16]
Sifat spesialitas adalah uraian yang
jelas dan rinci mengenai obyek jaminan fidusia. Benda yang menjadi obyek
jaminan fidusia harus diuraikan secara jelas dan rinci dengan cara
mengidentifikasi benda jaminan tersebut, dijelaskan mengenai surat bukti
kepemilikannya dalam Akta Jaminan Fidusia.
Sifat publisitas adalah berupa
pendaftaran Akta Jaminan Fidusia yang merupakan akta pembebanan benda yang
dibebani Jaminan Fidusia. Pendaftaran Akta Jaminan Fidusia dilakukan di Kantor
Pendaftaran Fidusia tempat dimana Pemberi Fidusia berkedudukan. Untuk
benda-benda yang dibebani Jaminan Fidusia tetapi berada di luar wilayah Negara
Republik Indonesia tetap didaftarkan di kantor Pendaftaran Fidusia di Indonesia
dimana pemberi fidusia berkedudukan.
Dengan dilaksanakan pendaftaran benda yang
dibebani jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia, maka masyarakat dapat
mengetahui bahwa suatu benda telah dibebani Jaminan Fidusia sehingga masyarakat
akan berhati hati untuk melakukan transaksi atas benda tersebut dan sekaligus
memberikan jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang
telah dibebani jaminan fidusia. Pendaftaran benda yang telah dibebani jaminan
fidusia ini untuk memenuhi asas publisitas seperti tercantum pada Pasal 11
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur bahwa
benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan.
8. Fidusia berisi hak untuk melunasi utang
Pada umumnya sifat ini ada dalam setiap
hak jaminan yang menjamin pelunasan utang, seperti Hak Tanggungan juga memiliki
sifat ini. Sifat ini sesuai fungsi setiap jaminan yang memberikan hak dan
kekuasaan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan
jaminan tersebut bila debitur cidera janji bukan untuk dimiliki kreditur.[17]
Hukum Pidana Indonesia
Hukum Pidana adalah keseluruhan dari
peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk
kedalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan
terhadap yang melakukannya. Menurut Prof. Moeljatno, S.H :
Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum
yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan
untuk:
1. Menentukan
perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa nestapa tertentu bagi barang siapa
yang melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan
kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang
telah diancamkan.
3. Menentukan
dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar larangan tersebut. [18]
Tugas dan fungsi Kepolisian
Kepolisian adalah alat Negara, yang
berdasarkan Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia (“UU Kepolisian”) yang mana fungsi Kepolisian adalah salah satu
fungsi pemerintahan di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat. Ditinjau
dari tujuan pembentukannya, maka Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan
untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan
dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya
ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (Pasal 4 UU Kepolisian).
Tugas pokok dari Kepolisian sebagaimana
termaktub dalam Pasal 13 UU Kepolisian, yang dikutip sebagai berikut:
“Tugas pokok Kepolisian Negara Republik
Indonesia adalah:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.”
Dalam menjalankan tugas pokok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 UU Kepolisian tersebut di atas, maka
Kepolisian Republik Indonesia bertugas:
a. Melaksanakan
pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai
kebutuhan;
b. Menyelenggarakan
segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas
di jalan;
c. Membina
masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum
masyarakat serta ketaatan warna masyarakat terhadap hukum dan peraturan
perundang-undangan;
d. Turut serta
dalam pembinaan hukum nasional;
e. Memelihara
ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. Melakukan
koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus,
penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g. Melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum
acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h. Menyelenggarakan
identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan
psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i. Melindungi
keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari
gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan
pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. Melayani
kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh
instansi dan/atau
pihak yang berwenang;
k. Memberikan
pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas
kepolisian; serta
l. Melaksanakan
tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Wewenang Polisi
Disamping
memiliki tugas-tugas tersebut di atas, polisi memiliki wewenang secara umum
yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Undang–Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia,yaitu sebagai berikut:
a. Menerima laporan dan/atau pengaduan;
b.
Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu
ketertiban
umum;
c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya
penyakit masyarakat;
d.
Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan
dan
kesatuan bangsa;
e.
Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif
kepolisian;
f.
Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam
rangka
pencegahan;
g. Melakukan tindakan pertama di
tempat kejadian;
h. Mengambil sidik jari dan
identitas lainnya serta memotret seseorang;
i. Mencari keterangan dan barang
bukti;
j. Menyelenggarakan Pusat
Informasi Kriminal Nasional;
k.
Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka
pelayanan
masyarakat;
l.
Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan,
kegiatan
instansi lain, serta kegiatan masyarakat;.Menerima dan menyimpan barang
temuan
untuk sementara waktu.
Dalam menjalankan tugas di atas, Kepolisian
harus tunduk pada aturan disiplin anggota kepolisian sebagaimana tertuang dalam
PP RI No 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia (“Peraturan Disiplin Kepolisian”). Dalam Pasal 5 Peraturan
Disiplin Kepolisian dikutip sebagaimana di bawah ini:
“Dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan
bermasyarakat, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang:
a. melakukan
hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah, atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. melakukan
kegiatan politik praktis;
c. mengikuti
aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan
bangsa;
d. bekerjasama
dengan orang lain di dalam atau di luar lingkungan kerja dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain yang secara langsung
atau tidak langsung merugikan kepentingan negara;
e. bertindak
selaku perantara bagi pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau
pesanan dari kantor/instansi Kepolisian Negara Republik Indonesia demi
kepentingan pribadi;
f. memiliki
saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup
kekuasaannya;
g. bertindak
sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi, dan tempat hiburan;
h. menjadi
penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya utang;
i. menjadi
perantara/makelar perkara;
j. menelantarkan
keluarga.”
Pengamanan Eksekusi Fidusia Oleh Kepolisian
Berdasarkan
Pasal 1 angka (11) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 2011 Tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia , Pengamanan Eksekusi
adalah :
“ Tindakan kepolisian dalam rangka
memberikan pengamanan dan perlindungan terhadap pelaksana eksekusi,
pemohon eksekusi, termohon eksekusi (tereksekusi) pada saat eksekusi
dilaksanakan.”
Tindakan
kepolisian terhadap pengamanan eksekusi jaminan fidusia pada dasarnya dilakukan
pada saat pengambilan benda objek jaminan fidusia dari pemberi fidusia yang
telah lalai dan tidak mau menyerahkan benda secara sukarela. Karena
permasalahan yang seringkali terjadi adalah adanya perlawanan pada saat
pengambilan benda objek jaminan dari pemberi fidusia. Oleh karena itu
Kepolisian sebagai alat Negara berperan didalam ikut mengamankan proses
eksekusi Jaminan fidusia tersebut.
Tindakan
Kepolisian terkait pengamanan tersebut masih dalam ruang lingkup kewenangan
kepolisian sebagai alat Negara. Akan tetapi kepolisian yang melakukan tindakan
sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 20 Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan
Fidusia maka Kepolisian sudah tidak lagi berhak secara tugas maupun
kewenangannya ikut campur dalam masalah keperdataan antara Pemberi dan Penerima
Fidusia,karena hal tersebut telah masuk dalam Ruang Lingkup Perdata.
Pasal 20 Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011:
“ Dalam hal termohon eksekusi merasa telah membayar atau
melunasi kewajibannya kepada petugas lain yang ditunjuk oleh pemohon eksekusi,
yang mengakibatkan timbulnya perselisihan pada saat atau sedang dilaksanakan
eksekusi, maka personel Polri yang melaksanakan Pengamanan melakukan tindakan
sebagai berikut:
a. mengadakan pendekatan persuasif antara pemohon dan termohon melalui
musyawarah;
b. menanyakan dengan sopan dan humanis kepada termohon, untuk menunjukan
dokumen
pendukung atau bukti pembayaran atau pelunasan;
c. mengamankan lingkungan sekitar eksekusi untuk mencegah meningkatnya
eskalasi
keamanan; dan
d. apabila termohon mempunyai bukti pembayaran atau pelunasan yang sah,
personel Polri:
1. menunda atau menghentikan pelaksanaan
eksekusi;
2. membawa dan menyerahkan petugas yang
ditugaskan oleh pemohon kepada
penyidik Polri untuk
penanganan lebih lanjut; dan
3. membawa pihak termohon dan pemohon
eksekusi ke kantor kepolisian terdekat
untuk
penanganan lebih lanjut. “
Analisa
peraturan tersebut diatas bahwa Kepolisian telah bertindak melampaui batas
kewenangannya sebagai alat negara yang bertugas memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat. Tindakan Kepolisian melampaui
kewenangannya adalah :
1. Tindakan tersebut masuk dalam ruang lingkup keperdataan yang sudah bukan
lagi merupakan kewenangan Kepolisian.
2 Tindakan Kepolisian tersebut sudah tidak lagi tindakan mengamankan
pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, akan tetapi Kepolisian sudah terlalu jauh
dalam mencampuri permasalahan yang terjadi, yang pada dasarnya sudah masuk
dalam ruang lingkup keperdataan, yaitu hubungan hokum antara para pihak dalam
hal utang-piutang dengan jaminan Fidusia yang telah dijamin kepastian hukumnya
oleh UUJF. Tindakan yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku adalah
ketika pada saat Pemegang Fidusia dapat menunjukkan Sertifikat Fidusia yang
memuat irah-irah “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” , apabila
Pemberi Fidusia merasa sudah membayar dan atau merasa sudah memenuhi seluruh
kewajibannya dengan dalih apapun, harus melalui jalur hukum yang sesuai dengan
ketentuan peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Yaitu jika
Pemberi Fidusia merasa telah membayar/ melunasi Kewajibannya , maka Pemberi
Fidusia diberi hak untuk menempuh Jalur hukum melalui Gugatan di Pengadilan.
Karena berdasarkan ,
Pasal
283 RBg/163 HIR menyatakan :
“ Barangsiapa mengatakan mempunyai suatu
hak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk
membantah hak orang lain, haruslah membuktikan adanya perbuatan itu.”
Dengan
Pemberi Fidusia membawa apa yang menjadi permasalahannya ke dalam sidang
pengadilan, maka pihak-pihak yang berperkara dapat mengemukakan
peristiwa-peristiwa yang dapat dijadikan dasar untuk meneguhkan hak perdatanya
ataupun untuk membantah hak perdata pihak lain. Peristiwa-peristiwa tersebut sudah tentu tidak cukup dikemukakan begitu
saja, baik secara tertulis maupun lisan. Akan tetapi, harus diiringi atau
disertai bukti-bukti yang sah menurut hukum agar dapat dipastikan kebenarannya.
Dengan kata lain, peristiwa-peristiwa itu harus disertai pembuktian secara
yuridis. Dengan demikian, yang dimaksud dengan pembuktian adalah penyajian
alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu
perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.[19]
Oleh
karena itu Kepolisian tidak dibenarkan melakukan tindakan-tindakan sebagaimana
dalam pasal 20 tersebut jika muncul suatu keadaan Termohon eksekusi merasa
sudah membayar/ menyelesaikan kewajibannya, apalagi memutuskan sah atau
tidaknya bukti pembayaran yang dikemukakan oleh Termohon Eksekusi, kemudian
kepolisian menghentikan pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Tindakan tersebut
jelas melanggar ketentuan pasal 29 UUJF.
Menurut
J. Satrio Undang-Undang Fidusia menganut prinsip pendaftaran jaminan fidusia.
Sekalipun dalam pasal 11 UUJF disebutkan ”benda yang dibebankan jaminan fidusia
wajib didaftarkan”, tetapi sebaliknya dibaca ”jaminan fidusia” harus
didaftarkan, karena dari ketentuan-ketentuan lebih lanjut dapat diketahui bahwa
demikian itulah yang dimaksud oleh pembuat Undang-Undang.[20]
Pendaftaran
jaminan fidusia dilakukan oleh kreditur atau kuasanya atau wakilnya. Dalam
prakteknya kreditur memberikan kuasa kepada Notaris yang membuat akta jaminan
fidusia untuk melakukan pendaftaran jaminan fidusia dimaksud. Adapun tujuan
pendaftaran jaminan fidusia adalah :
1. Untuk memberikan kepastian hukum
kepada para pihak yang berkepentingan.
2.
Memberikan hak yang didahulukan (preferent) kepada penerima
fidusia terhadap kreditur yang lain. Ini disebabkan jaminan fidusia memberikan
hak kepada penerima fidusia untuk tetap menguasai bendanya yang menjadi
obyek jaminan fidusia berdasarkan kepercayaan (Penjelasan Peraturan Pemerintah
Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya
Pembuatan Akta Jaminan Fidusia).[21]
Dalam
hal terjadi debitur wanprestasi atau cedera janji di dalam perjanjian jaminan
fidusia, maka dapat dilakukan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek
jaminan fidusia. Menurut Pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia, pengeksekusian
dapat dilakukan dengan cara antara lain:
1. Eksekusi Fidusia dengan
Titel Eksekutorial
Pelaksanaan
title eksekutorial dalam mengeksekusi objek jaminan Fidusia, yaitu didasarkan
adanya irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” pada
sertifikat jaminan fidusia. Adanya irah-irah tersebut berarti sertifikat
jaminan fidusia memiliki kekuatan eksekutorial, ini berarti memberikan
kedudukan yang kuat kepada kreditur penerima fidusia untuk melakukan eksekusi
benda jaminan fidusia yang dijadikan jaminan hutang oleh debitur pemberi
jaminan fidusia. Berdasarkan irah-irah itulah yang kemudian mensejajarkan
kekuatan akta tersebut dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap. Dengan demikian, akta tersebut tinggal dieksekusi (tanpa perlu lagi
suatu Putusan Pengadilan).[22]
Melihat
ketentuan yang menjadi dasar dilaksanakannya eksekusi Jaminan Fidusia adalah
dikarenakan Pemberi Fidusia ( Debitor) “Wanprestasi”. Sedangkan Pemegang
Fidusia (Kreditor) adalah sebagai Pihak yang berdasarkan UUJF berhak mengambil
barang yang dijadikan jaminan atas utang Debitor demi Pelunasan Utang Debitor.
Pemegang Jaminan Fidusia yang didaftarkan telah memenuhi prosedur peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sertifikat Fidusianya pun memiliki kekuatan
eksekutorial yang sama dengan Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan
Hukum Tetap. Sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UUJF.
Atas
dasar ketentuan tersebut maka Kewenangan Kepolisian sebagaimana
diatur dalam Pasal 20 Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011, adalah melampaui batas kewenangannya,
Kepolisian tidak berhak melakukan tindakan sebagaimana yang diatur dalam pasal
tersebut, dan tindakan Kepolisian yang diatur didalam Pasal tersebut
Bertentangan dengan UUJF.
Kesimpulan
Tindakan
kepolisian sebagaimana yang disebutkan dalam Perkapolri No.8 Tahun 2011 ,
menjadikan kewenangan kepolisian terlalu jauh didalam turut campur didalam
masalah perdata antara Pemberi fidusia dan pemegang fidusia. Sehingga tindakan
kepolisian berdasarkan Perkapolri No.8 Tahun 2011 telah melampaui
kewenangannya.
Tindakan
kepolisian sebagaimana tersebut didalam Perkapolri No.8 Tahun 2011 adalah
bertentangan dengan UU No.42 Tahun1999 tentang Jaminan Fidusia, dan
bertentangan dengan UU kepolisian itu sendiri yaitu UU no.2 Tahun 2002.
Oleh : ROBBY ANDRIAN, SH.,MH
+ komentar + 2 komentar
Saya Achmad Halima Saya ingin menyaksikan karya bagus ALLAH dalam hidup saya untuk orang-orang saya yang tinggal di sini di Indonesia, Asia dan di beberapa negara di seluruh dunia.
Saat ini saya tinggal di Indonesia. Saya seorang Janda dengan empat anak dan saya terjebak dalam situasi keuangan pada MARET 2017 dan saya perlu membiayai kembali dan membayar tagihan saya,
Saya adalah korban penipuan pemberi kredit 3-kredit, saya kehilangan begitu banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Saya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang yang saya berutang, saya dibebaskan dari penjara dan saya bertemu dengan seorang teman, yang saya jelaskan mengenai situasi saya dan kemudian mengenalkan saya ke perusahaan pinjaman yang ALEXANDER ROBERT LOAN FIRM dapat diandalkan.
Bagi orang-orang yang mencari pinjaman? Jadi Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman di internet penipuan di sini, tapi mereka masih sangat nyata di perusahaan pinjaman palsu.
Saya mendapat pinjaman dari ALEXANDER ROBERT LOAN FIRM sebesar Rp900.000.000 dengan sangat mudah dalam waktu 24 jam setelah saya melamar, jadi saya memutuskan untuk membagikan karya bagus ALLAH melalui ALEXANDER ROBERT LOAN FIRM dalam kehidupan keluarga saya. Saya saran jika anda membutuhkan pinjaman silahkan hubungi ALEXANDER ROBERT LOAN FIRM. hubungi mereka melalui email:. (alexanderrobertloan@gmail.com)
Anda juga bisa menghubungi saya melalui email saya di (achmadhalima@gmail.com) jika Anda merasa sulit atau menginginkan prosedur untuk mendapatkan pinjaman.
Saya tidak dapat cukup berterima kasih kepada Dr EKPEN TEMPLE kerana telah membantu saya mengembalikan kegembiraan dan ketenangan dalam perkahwinan saya setelah banyak masalah yang hampir menyebabkan perceraian, alhamdulillah saya bermaksud Dr EKPEN TEMPLE pada waktu yang tepat. Hari ini saya dapat mengatakan kepada anda bahawa Dr EKPEN TEMPLE adalah jalan keluar untuk masalah itu dalam perkahwinan dan hubungan anda. Hubungi dia di (ekpentemple@gmail.com)
Posting Komentar