photo BANNERLPKSM_zps120bacdb.jpg
Home » » Upaya Hukum yang Ditempuh Konsumen Atas Kerugian yang Diakibatkan dari Barang dan /atau Jasa yang Ditawarkan Pelaku Usaha Melalui Iklan.

Upaya Hukum yang Ditempuh Konsumen Atas Kerugian yang Diakibatkan dari Barang dan /atau Jasa yang Ditawarkan Pelaku Usaha Melalui Iklan.

Written By CELEBES on Selasa, 03 Januari 2017 | 23.36

LpksmCELEBES. Di dalam undang-undang perlindungan konsumen nomor 8 tahun 1999 memberikan dua macam ruang untuk menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan dan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Hal ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 45 ayat (1) dan 47 Undang-undang perlindungan konsumen.

Pasal 45 ayat (1) UUPK
”Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan". umum.”

Pasal 47 UUPK
”penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselengarakan untuk mencapai kesempakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu unutuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen .”

Berdasarkan rumusan Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 47 Undang-undang Perlindungan Konsumen di atas, penyelesaian konsumen di luar pengadilan dapat ditempuh dengan dua cara yaitu :
1.      Penyelesaian tuntutan ganti kerugian seketika dan
2.      Penyelesaian tuntutan ganti kerugian melalui Badan penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Dengan demikian, ada 3 cara dalam menyelesaikan kosumen, yaitu :
1.      penyelesaian sengketa konsuen melalui pengadilan;
2.      penyelesaian sengketa konsumen dengan tuntutan seketika; dan
3.      penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu yang disingkat dengan BPSK.

Satu dari tiga cara tersebut di atas, dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan, dengan ketentuan bahwa penyelesaian sengketa melalui tuntutan seketika wajib ditempuh pertama kali untuk memperoleh kesepakatan para pihak. Sedangkan dua cara lainnya adalah pilihan yang ditempuh setelah penyelesaian dengan cara kesepakatan gagal. Dengan begitu, jika sudah menempuh cara melalui pengadilan tidak dapat lagi ditempuh penyelesaian melalui BPSK dan sebaliknya.

a.      Melalui Jalur Pengadilan
            Menurut Pasal 48 Undang-undang Nomor 1999 tentang perlindungan konsumen, penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum. Ini berarti hukum acara yang dipakai dalam tata cara persidangan dan pemeriksaan perkara adalah berdasarkanHerzine Inland Regeling (HIR) atau Rechtsreglemen Buitengewesten (RBg), yang mana keduanya pada dasar tidak mempunyai perbedaan yang mendasar (prinsipil).

a)      Pengajuan Gugatan
      Dalam hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, di kenal asas Hakim bersifat menunggu, pasif. Artinya bahwa inisiatif berperkara datang dari pihak-pihak yang berkepentingan. Di mana  hal tersebut diatur dalam Pasal 1865 KUH Perdata, yaitu Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
      Kemudian dapat di lihat bahwa dalam rumusan pasal 1865 KUH Perdata tersebut mengandung beberapa makna, yang mana makna tersebut terdiri dari :
1)      Seseorang dapat mengajukan suatu peristiwa, dalam hal ini wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, untuk menunjukkan haknya.
2)      Peristiwa yang diajukan itu harus dibuktikan.
      Berdasarkan hal tersebut di atas, bahwa di dalam persidangan perdata para pihak yang merasakan atau mendapatkan kerugian yang ditimbulkan dari akibat adanya hubungan hukum, berhak mengajukan penuntutan di depan persidangan dengan memberikan bukti-bukti yang berhubugan dengan persoalan yang terjadi.

      Hal ini berbeda dengan ketentuan yang terdapat di dalam Udang perlindungan konsumen. Di mana tepatnya di dalam pasal 46 UUPK No 8 Tahun 1999, menyebutkan bahwa :
1.      Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh :
a.       Seseorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b.      Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c.       Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d.      Pemerintah dan atau instansi terkait apabila barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

2.      Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.

3.      ketentuan lebih lanjut menegenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan peraturan pemerintah. 
      
Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan di atas, yang dapat mengajukan gugatan dalam ketentuan Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah :
1.      Setiap Konsumen yang dirugikan, ahli warisnya, baik berupa perseorangan maupun kelompok.
2.      Lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat.
3.      Pemerintah.


b)      Pemerikasaan dan Pembuktian
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.[1]

Dengan jalan pembuktian, menjadi jelas bagi hakim tentang hukumannya suatu perkara sehingga memudahkan hakim untuk mengonstatir peristiwa, mengualifikasi, dan kemudian mengontitusikannya.

Sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 1865 KUH Perdata, di mana peristiwa yang menjadi dasar hak tersebut mesti dibuktikan oleh penggugat. Artinya kalau gugatan atas ganti kerugian didasarkan pada peristiwa wanprestasi konsumen sebagai penggugat perlu membuktikan :
1.      Adanya hubungan perikatan (kontrak, perjanjian);
2.      Adanya bagian-bagian dari kerwajiban yang tidak dipenuhi oleh pelaku usaha; dan
3.      Timbulnya kerugian bagi konsumen (penggugat).

Jika gugatan ganti kerugian didasarkan pada peristiwa perbuatan melawan hukum, haruslah dibuktikan :

1.      Adanya perbuatan melawan hukum, baik berupa pelanggaran hak konsumen, pelanggaran terhadap kewajiban berhati-hati, pelanggaran norma kesusilaan, maupun pelanggaran norma kepatutan.
2.      Adanya kesalahan kerugian yang diderita dari pelaku usaha, baik berupa kesengajaan maupun kelalaian.
3.      Adanya sejumlah kerugian yang diderita konsumen penggugat.
4.      Adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum yang salah itu dan kerugian.

Pembuktian hal-hal tersebut di atas dilakukan menurut cara-cara yang diatur dalam undang-undang. Menurut pasal 284 RBG/164 HIR atau Pasal 1866 KUH Perdata, alat-alat bukti yang dapat diajukan adalah :
1.      Surat;
2.      saksi;
3.      persangkaan;
4.      pengakuan; dan
5.      sumpah

b.      Di luar Pengadilan
1.      penyelesaian penggantian kerugian seketika (secara langsung) dengan jalan damai.
konsumen yang merasa dirugikan karena memakai atau mengkonsumsi produk yang cacat atau tidak sesuai dengan apa yang ditawarkan melalui iklan oleh pelaku usaha hanya akan mendapat penggantian kerugian apabila mengajukan permintaan atau tuntutan atas hal tersebut. Permintaan atau penuntutan penggantian kerugian ini mutlak dilakukan oleh orang atau konsumen yang merasa berhak untuk mendapatkan. Tidak akan ada penggantian kerugian selain karena dimohonkan terlebih dahulu ke pengadilan dengan syarat-syarat tertentu.

Sebagaimana pasal 19 ayat (1) dan ayat (3) undang-undang Perlindungan konsumen, di mana konsumen yang merasakan dirugikan dapat menuntut secara langsung penggantian kerugian kepada pelaku usaha, dan pelaku usaha harus memberi tanggapan dan/atau penyelesaian dalam jangka waktu tujuh hari setelah teransaksi berlangsung.

Pada penyelesaian ini, kerugian yang dapat dituntut sebagai mana yang dituang dalam pasal 19 ayat (1) terdiri dari kerugian karena kerusakan, pencemaran, dan kerugian lain akibat dari mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Bentuk kerugian dapat berupa :
1)      Pengembalian uang seharga Pembelian barang dan/atau jasa;
2)      Penggantian barang dan/atau jasa sejenis atau setara nelainya; atau
3)      Perawatan kesehatan; atau
4)      Pemberian santunan yang sesuai.
Pilihan bentuk penggantian kerugian bergantung pada kerugian yang sungguh-sungguh diderita oleh konsumen, dan sesuai dengan hubungan hukum yang ada di antara mereka.
2.      Tuntutan pengantian kerugian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Tuntutan pengantiam kerugian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau sering di sebut dengan BPSK merupakan upaya hukum di luar pengadilan yang dapat ditempuh oleh konsumen yang merasa dirugikan oleh plaku usaha. Hal ini dapat di ketahui berdasarkan rumusan pasal 52 UUPK jo. SK. Memperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 menerangkan bahwa tugas dan wewenang BPSK yaitu
a.       Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, mediasi dan arbitrase;
b.      Memberikan konsultasi perlindungan konsumen ;
c.       Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d.      Melaporkan kepada penyidik umum jika terjadi pelanggaran Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK);
e.       Menerima pengaduan tertulis maupun tidak dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f.       Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
g.      Memangil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
h.      Memangil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang diduga mengetahui pelanggaran Undan-undang Perlindungan Konsumen (UUPK)
i.        Meminta bantuan kepada penyidik untuk menghadirkan saksi, saksi ahli, atau setiap orang pada butir g dan butir h yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK);
j.        Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k.      Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian di pihak konsumen;
l.        Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan ketentuan Undang-udang Perlindungan Konsumen;
m.    Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undan-undang Perlindungan Konsumen (UUPK).

Berdasarkan point a yang dirumuskan di atas, maka penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK mengunakan 3 cara, yaitu
1.      konsiliasi;
2.      mediasi ;
3.      arbitrase

Seperti halnya penyelesaian sengketa lainnya, di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) mempunyai ketentuan berproses dalam menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha. Adapun ketentuan Berproses di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) antara lain :

a.      Permohonan Penyelesaian Sengketa konsumen (PSK)
Permohonan Penyelesaian konsumen (PSK) diatur dalam Pasal 15 sampai Pasal 17 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. yaitu di mana bentuk permohonan Penyelesaian Konsumen (PSK) diajukan secara lisan atau tertulis ke Badan Penyelesaian Konsumen (BPSK) melalui Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) setempat oleh Konsumen. Hal ini apabila konsumen :
1)      Meningal dunia;
2)      Sakit atau telah usia lanjut (manula);
3)      Belum dewasa;
4)      Orang asing (warga Negara Asing), maka permohonan diajukan ahli waris atau kuasanya.

Adapun menurut ketentuan pasal 16 dalam SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, menerangkan bahwa isi permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) memuat secara benar dan lengkap berdasarkan :
1)      Identitas konsumen, ahli waris atau kuasanya disertai bukti diri;
2)      Nama dan alamat pelaku usaha;
3)      Barang atau jasa yang diadukan;
4)      Bukti perolehan, keterangan tempat, waktu dan tanggal perolehan barang atau jasa yang diadukan;
5)      Saksi-saksi yang mengetahui perolehan barang atau jasa, foto-foto barang atau kegiatan pelaksaan jasa, bila ada.

Kemudian Permohonan Penyelesaian Sengketa (PSK) dapat saja ditolak, hal ini dikaranakan :
1)      Tidak memuat persyaratan-persyaratan isi permohonan penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) tersebut;
2)      Permohonan gugatan bukan kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

b.      Susunan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK dan kepaniteraan
Susunan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ganjil, minimal 3 Orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) undang-udang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang salah satu anggota wajib berpendidikan dan berpengetahuan dibidang hukum.

Setiap penyelesaian sengketa konsumen oleh badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) dilakukan oleh Majelis yang dibentuk berdasarkan Keputusan Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan dibantu oleh Panitera.
c.       Tata cara persidangan
Pasal 26 ayat (1)  SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 menentukan bahwa pemanggilan pelaku usaha untuk hadir di persidangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK), dilakukan secara tertulis disetai dengan copy permohonan penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dalam waktu 3 hari kerja sejak permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) diterima secara lengkap dan benar telah memenuhi persyaratan Pasal 16 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001.
Berdasarkan rumusan Pasal 54 ayat (4) jo. Pasal 26 sampai Pasal 36 Surat Keputusan Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, yaitu dimana terdapat 3 (tiga) Tata Cara persidangan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), yaitu :

1.      Persidangan dengan cara konsiliasi
Inisiatif salah satu pihak atau para pihak membawa sengketa konsumen ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), ditangani bersikap Pasif dalam persidangan dengan cara konsiliasi. Sebagai pemerantara antara pihak yang berseng  keta, Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bertugas (Pasal 28 Surat Keputusan Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001), antra lain :
a)      Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang besengketa;
b)      Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;
c)      Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
d)     Menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan perundang-undagan di bidang perlindungan konsumen.

Kemudian di dalam pasal 29 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, merumuskan bahwa didalam Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan cara konsiliasi, mempunyai 2 prinsip, yaitu 
1)      Proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhmya kepada para pihak, sedangkan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bertindak pasif sebagai konsiliator.
2)      Hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

2.      Persidangan dengan cara mediasi
Cara mediasi ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, sama halnya dengan cara konsiliasi. Keaktifan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai pemerantara dan penasehat Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan cara Mediasi terlihat dari tugas Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Yaitu :
a)      Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
b)      Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;
c)      Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
d)     Secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
e)      Secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.

Kemudian di dalam pasal 31 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, merumuskan bahwa di dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan cara mediasi, mempunyai 2 prinsip, yaitu :
1)      Proses Penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bertindak aktif sebagai Mediator dengan memberikan nasehat, petunjuk, saran dan upaya upaya lain dalam penyelesaian sengketa.
2)      Hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
3.      Persidangan dengan cara arbitrase

Pada persidangan dengan cara Arbitrase, para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi. Proses pemilihan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dengan cara arbitrase ditempuh melalui 2 (dua) tahap yaitu [2]:
1)      Para pihak memilih arbitor dari anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
2)      Arbitor yang dipilih para pihak tersebut kemudian memilih arbitor ketiga dari anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dari unsur pemerintahan sebagai Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Prinsip tata cara Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan cara Arbitrase dilakukan dengan 2 (dua) persidangan yaitu persidangan pertama dan persidangan kedua.

Adapun prinsip tata cara penyelesaian Sengketa Konsumen pada persidangan pertama dalam penyelesaian secara Arbitrase yaitu :
1)      Kewajiban Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) memberikan petunjuk tentang upaya hukum bagi kedua belah pihak (Pasal 33 ayat (1) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001);
2)      Kewajiban Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk mendamaikan kedua belah pihak (Pasal 34 ayat (1) SK Menperindag Nomor 350/MPP/12/2001) dalam hal tercapai perdamaian, maka hasilnya wajib dibuatkan penetapan perdamaian oleh Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
3)      Pencabutan gugatan konsumen dilakukan sebelum pelaku usaha memberikan jawaban yang dituangkan dalam surat pernyataan, disertai Kewajiban Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) mengumumkan pencabutan gugatan tersebut dalam persidangan. ( Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001)
4)      Kewajiban Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk memberikan kesempatan yang sama bagi para pihak , yaitu berupa:

a)      Kesempatan yang sama untuk memepelajari berkas yang berkaitan dengan persidangan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 33 ayat (2) SK Menperindag Nomor 350/MPP/12/2001)
b)      Pembacaan isi gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku usaha, jika tidak tercapai perdamaian (pasal 34 ayat (1) SK Menperindag nomor 350/MPP/Kep/12/2001)
Sedangkan  prinsip tata cara penyelesaian Sengketa Konsumen pada persidangan kedua dalam penyelesaian secara Arbitrase yaitu :
1)      Kewajiban Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk memberikan kesempatan terakhir sampai persidangan kedua disertai kewajiban para pihak membawa alat bukti yang diperlukan, bila salah satu pihak tidak hadir pada persidangan pertama (pasal 36 ayat (2) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001);
2)      Persidangan kedua dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja sejak hari persidangan pertama ;
3)      Kewajiban Sekretaris Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk memberitahukan persidangan kedua dengan surat panggilan kepada para pihak;
4)      Pengabulan gugatan kosumen, jika pelaku usaha tidak datang pada persidangan kedua(Verstek), sebaliknya gugatan digugurkan jika konsumen yang tidak datang.

d.      Alat bukti dan Sistem Pembuktian
Pasal 21 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, alat-alat bukti yang digunakan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), yaitu :
1)      Barang dan/atau jasa;
2)      Keterangan para pihak;
3)      Keterangan saksi dan/atau saksi ahli;
4)      Bukti-bukti lain yang mendukung.

Sistem Pembuktian yang digunakan dalam gugatan ganti rugi sebagai mana yang dimaksud Pasal 19, Pasal 22 dan Pasal 23 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), yaitu dengan menggunakan sistem pembuktian terbalik.
Sistem pembuktian terbalik dalam sistem hukum di Indonesia tidaklah bisa dikatakan baru. Subekti mengemukakan bahwa persangkahan undang-undang[3] pada hakikatnya merupakan pembalikan beban pembalikan.

e.       Putusan Badan Peyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana diatur dalam pasal 52 huruf I Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) jo. Pasal 3 huruf I SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, gugatan dijatuhkan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak gugatan diterima di Sekretaris Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), di mana hari kerja ini sudah termasuk 10 (sepuluh) hari kerja.

Isi putusan BPSK bersifat Final dan mengikat. Kata ”Final” di situ menurut Penjelasan Pasal 54 ayat (3) Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) bahwa tidak ada upaya hukum banding atau kasasi atas putusan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi atau mediasi dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku usaha, selanjutnya dikuatkan dengan putusan majelis yang ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis. Putusan majelis dalam konsiliasi dan mediasi tidak memuat sanksi administratif. Sedangkan hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase dibuat dengan putusan majelis yang ditandatangai oleh ketua dan anggota majelis. Putusan majelis dalam arbitrase dapat memuat sanksi administratif, putusan majelis disebut putusan BPSK[4].

Proses dikeluarkannya putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dilakukan dengan tahapan, yaitu :
1)      Didasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat;
2)      Maksimal jika hal itu telah diusahakan (dengan Sunguh-sunguh), ternyata tidak tercapai mufakat, maka putusan dilakukan dengan cara Voting/suara terbanyak.

Amar`putusan Badan Penyelesaian sengketa Konsumen (BPSK) terbatas pada 3 alternatif, yaitu :
1)      Perdamaian;
2)      Gugatan ditolak;
3)      Gugatan dikabulkan.
Jika gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, dapat berupa sebagai berikut ;
1)      Ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa. Hal ini dapat berupa :
a)      Pengembalian uang;
b)      Penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya; atau
c)      Perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan
2)      Sanksi administrasi berupa penetapan ganti rugi maksimal Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

f.       Upaya hukum
Pada penjelasan pasal 54 ayat (3) undang-undang Perlindungan Konsumen bahwa menegaskan kata final itu berarti tidak ada upaya banding dan kasasi. Namun ternyata Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengenal Pengajuan Keberatan Kepada Pengadilan Negeri.

Menurut ketentuan pasal 56 ayat (2) UUPK, para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Hal ini karena di dalam pasal 41 ayat (2) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, menerangkan bahwa konsumen dan pelaku usaha yang bersengeketa wajib menyatakan menerima atau menolak Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Dengan demikian jika para pihak menolak hasil dari putusan, maka sengketa tersebut dapat dibawa ke Pengadilan Negeri.

Menurut peraturan MA no. 01 Tahun 2006 tentang tata cara pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK maka konsumen atau pelaku usaha yang menolak putusan BPSK dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan dengan cara  :[5]
1.      Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak pelaku usaha/konsumen menerima pemberitahuan putusan BPSK
2.      keberatan diajukan melalui kepaniteraan pengadilan negeri sesuai dengan prosedur pendaftaran perkara.
3.      keberatan yang dimaksud diajukan dalam 6 rangkap yang identik untuk dikirim oleh panitera kepada pihak yang berkepentingan termasuk BPSK.
Pengajuan keberatan yang diajukan oleh konsumen atau pelaku usaha, kemudian akan di keluarkannya putusan (vonis) oleh pengadilan Negeri dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak sejak diterimanya keberatan. Atas putusan Pengadilan Negeri tersebut, tentunya para pihak baik konsumen atau pelaku usaha yang nantinya keberatan atas putusan (Vonis) yang dikelaurkan oleh Pengadilan Negeri, maka para pihak dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari.

Mahkamah Agung Republik Indonesi wajib mengeluarkan Putusan (Vonis) dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan Kasasi.

g.      Eksekusi Putusan
Dalam hal pelaku usaha menerima (menyetujui atau sependapat) diktum (amar, isi) putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), maka ia wajib melaksanakan putusan tersebut dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak menyatakan menerima putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Jika pelaku usaha tidak menggunakan upaya keberatan atau upaya hukum, maka putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) menjadi berkekuatan tetap. Dengan  begitu, jika tidak dilaksanakannya putusan tersebut, apalagi setelah diajukan Fiat eksekusi berdasarkan Pasal 57 UUPK, maka tindakan tersebut merupakan tindak pidana di bidang Perlindungan Konsumen.

#besmart consumen
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Lembaga Perlindungan Konsumen CELEBES - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger