Tingginya tingkat suku bunga bank
menjadi indikasi kartel.
Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menduga ada praktik persaingan tidak sehat
yang terjadi di sektor perbankan Indonesia. Sebelum menyampaikan sinyalemen ini
ke publik, KPPU telah mengawasi sektor perbankan sejak 2008 silam. Hasil
pengawasan Komisi selama lima tahun terakhir menunjukkan ada indikasi kartel di
sektor perbankan.
Indikasi
pertama yang menguatkan dugaan kartel adalah tingginya tingkat suku bunga
di Indonesia yang masih berada di angka 5,75%. Suku bunga tinggi ini memberikan
dampak yang kurang baik bagi perekonomian Indonesia, khususnya saat menghadapi
pasar tunggal ASEAN 2015. Konsumen perbankan juga bisa dirugikan akibat
kartel.
Parapengusaha
yang mendapatkan dana pembiayaan dari perbankan harus menutupi modal dengan
menaikkan harga jual produk-produkmereka. Alhasil, produk pengusaha Indonesia
akan kalah bersaing dengan produk luar yang lebih murah.“Indonesia hanya akan
menjadi penonton saja,” sebut Ketua KPPU Nawir Messi dalam rapat dengar
pendapat dengan DPR, Rabu (13/3).
Sinyalemen
lain yang menunjukkan indikasi kartel adalah stuktur market share yang
berlaku diperbankan. Dari struktur market share ini, KPPU melihat ada
beberapa bank besar yang menguasai pasar dan membentuk praktik oligopoli.
Sayang, Messi tidak menyebutkan siapa saja bank besar itu.
Indikasi
lain yang menunjukkan adanya kartel adalah perilaku perbankan. Sekilas praktek
perbankan Indonesia memang menunjukkan ada market leader. Market leader
inilah yang menentukan tingkatan suku bunga. Ketikamarket leader
menaikkan suku bunga, bank-bank lain juga ikut naik. Hampir mustahil suku bunga
mengalami penurunan. Hal ini terlihat ketika BI menurunkan BI rate, suku bunga
di perbankan nasional tidak ikut turun.
Senada,
pengamat ekonomi Universitas Indonesia, Ninasapti Triaswati,juga merasa heran dengan
tingginya tingkat suku bunga bank. Suku bunga bank Indonesia sangat tinggi
dibandingkan negara-negara lain. Padahal, penduduk Indonesia adalah mayoritas
Muslim di mana Muslim berpikiran bunga adalah haram. Sebaliknya, Jepang yang
penduduknya tidak muslim berhasil menetapkan suku bunga banknya ke angka
mendekati 0,00. “Ini PR besar bagi bank-bank Indonesia. Jepang yang nonmuslim
saja suku bunganya hampir 0,00 sekian,” jelas Nina.
Nina
sepakat dengan KPPU tentang penyebab tingkat suku bunga bankdi Indonesia masih
tinggi. Menurutnya memang ada permainan market leader bank dan praktik
oligopoli. Market leader ini-lah yang menentukan tinggi rendahnya
tingkat bunga bank.
Presiden
Direktur PT Bank Centra Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja membantah sinyalemen
kartel perbankan akibat tingginya tingkat suku bunga. Menurutnya, faktor
penyebab tingginya tingkat suku bunga justru bersumber pada tingkat
inflasi.“Tingkat inflasi ini akar masalahnya,” ucap Jahja kepada wartawan, Rabu
(13/3).
Dijelaskan
Jahja, jika tingkat inflasi Indonesia berada di angka 2, tentu bank dapat
menetapkan suku bunganya berada di angka 2,5-3%. Jika tingkat inflasi di
Indonesia berada di kisaran 5, bank-bank tidak akan bisa menetapkan suku
bunganya berada di bawah 5% karena masyarakat tidak akan mau menabung di bank.
Lebih baik menyimpan uang di rumah daripada tidak mendapatkan keuntungan.
Ketika
ditanya mengapa bank-bank tidak mau menurunkan suku bunganya ketika BI rate turun,
Jahja menjawab karena faktor struktur dana. Menurutnya, struktur dana perbankan
adalah oligopsoni, terutama bank-bank BUMN. Ada nasabah-nasabah besar yang
“mengancam” bank BUMN tersebut kalau tidak dituruti akan memindahkan uangnya ke
bank lain.
“Di
bank BUMN itu kan mungkin ada perusahaan BUMN yang meminta diberikan bunga yang
tinggi. Kalau tidak, akan ditarik. Jadi, mereka dipaksa untuk memberikan bunga
tinggi,” pungkasnya lagi.
Sumber : Hukum Online
Posting Komentar