Teori tentang Perbuatan Melawan Hukum
“Setiap
perbuatan pidana selalu dirumuskan secara seksama dalam undang-undang, sehingga
sifatnya terbatas. Sebaliknya pada perbuatan melawan hukum adalah tidak
demikian. Undang-undang hanya menetukan satu pasal umum, yang memberikan
akibat-akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum.”[1]
Perbuatan melawan hukum dalam bahasa
Belanda disebut dengan onrechmatige daad dan dalam bahasa Inggeris
disebut tort. Kata tort itu sendiri sebenarnya hanya
berarti salah (wrong). Akan tetapi, khususnya dalam bidang hukum,
kata tort itu sendiri berkembang sedemikian rupa sehingga berarti
kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi dalam suatu perjanjian
kontrak. Jadi serupa dengan pengertian perbuatan melawan hukum disebut onrechmatige
daad dalam sistem hukum Belanda atau di negara-negara Eropa Kontinental
lainnya. Kata ” tort ” berasal dari kata latin ” torquere ”
atau ” tortus ” dalam bahasa Perancis, seperti kata ” wrong ”
berasal dari kata Perancis ” wrung ” yang berarti kesalahan atau
kerugian (injury). Sehingga pada prinsipnya, tujuan dibentuknya
suatu sistem hukum yang kemudian dikenal dengan perbuatan melawan hukum ini
adalah untuk dapat mencapai seperti apa yang dikatakan dalam pribahasa bahasa
Latin, yaitu juris praecepta sunt luxec, honestevivere, alterum non laedere,
suum cuique tribuere (semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak
merugikan orang lain, dan memberikan orang lain haknya).
Onrechtmatigedaad (perbuatan melawan hukum), pada Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata atau Pasal 1401 KUHPerdata, yang menetapkan:
“Elke
onrecthamatigedaad, waardoor aan een ander schade wordt toegebragt, stelt
dengene door wiens shuld die schade veroorzaakt is in de verpligting om dezelve
te vergoeden”.
Soebekti
dan Tjitrosudibio menterjemahkannya sebagai berikut:
“Tiap
perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut”.
Para pihak yang melakukan perbuatan hukum itu disebut sebagai subjek
hukum yaitu bias manusia sebagai subjek hukum dan juga badan hukum sebagai
subjek hukum.
Semula, banyak pihak meragukan, apakah perbuatan melawan hukum memang merupakan
suatu bidang hukum tersendiri atau hanya merupakan keranjang sampah, yakni
merupakan kumpulan pengertian-pengertian hukum yang berserak-serakan dan tidak
masuk ke salah satu bidang hukum yang sudah ada, yang berkenaan dengan
kesalahan dalam bidang hukum perdata. Baru pada pertengahan abad ke 19
perbuatan melawan hukum, mulai diperhitungkan sebagai suatu bidang hukum
tersendiri, baik di negara-negara Eropa Kontinental, misalnya di Belanda dengan
istilah Onrechmatige Daad, ataupun di negara-negara Anglo Saxon, yang
dikenal dengan istilah tort.[2]
Perbuatan Melawan Hukum diatur dalam Pasal 1365 s/d Pasal 1380 KUH
Perdata. Pasal 1365 menyatakan, bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum
yang membawa kerugian kepada orang lain menyebabkan orang karena salahnya
menerbitkan kerugian mengganti kerugian tersebut. Perbuatan melawan hukum dalam
KUH Perdata berasal dari Code Napoleon.
Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, maka yang
dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum
yang dilakukan oleh seseorang, yang karena kesalahannya itu telah menimbulkan
kerugian bagi orang lain.
Pasal 1365 KUHPerdata berbunyi:
“Tiap
perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.”[3]
Istilah “melanggar” menurut MA Moegni Djojodirdjo hanya mencerminkan sifat
aktifnya saja sedangkan sefiat pasifnya diabaikan. Pada istilah “melawan” itu
sudah termasuk pengertian perbuatan yang bersifat aktif maupun pasif.[4]
Seseorang dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang menimbulkan kerugian
pada orang lain, maka nampaklah dengan jelas sifat aktif dari istilah melawan
tersebut. Sebaliknya kalau seseorang dengan sengaja tidak melakukan sesuatu
atau diam saja padahal mengetahui bahwa sesungguhnya harus melakukan sesuatu
perbuatan untuk tidak merugikan orang lain atau dengan lain perkataan bersikap
pasif saja, bahkan enggan melakukan kerugian pada orang lain, maka telah
“melawan” tanpa harus menggerakkan badannya. Inilah sifat pasif daripada
istilah melawan.[5]
Ketentuan dalam Pasal 1365 BW kemudian dipertegas kembali dalam Pasal
1366 BW yaitu:
“Setiap
orang bertanggung jawab tidak hanya untuk kerugian yang ditimbulkan oleh
perbuatannya tetapi juga disebabkan oleh kelalaiannya.”[6]
Kedua pasal tersebut di atas menegaskan bahwa perbuatan melawan hukum tidak
saja mencakup suatu perbuatan, tetapi juga mencakup tidak berbuat. Pasal
1365 BW mengatur tentang “perbuatan” dan Pasal 1366 BW mengatur tentang “tidak
berbuat”.
Dilihat dari sejarahnya maka pandangan-pandangan mengenai perbuatan melawan
hukum selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Menurut Rachmat Setiawan
dalam bukunya “Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum”, perbuatan melawan
hukum dapat dibedakan menjadi 2 interpretasi, yaitu interpretasi sempit atau
lebih dikenal dengan ajaran legisme dan interpretasi luas.
Menurut ajaran Legisme (abad 19), suatu perbuatan melawan hukum diartikan
sebagai beruat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari
si pembuat atau melanggar hak orang lain. Sehingga menurut ajaran Legistis
suatu perbuatan melawan hukum harus memenuhi salah satu unsure yaitu: melanggar
hak orang lain bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat yang telah diatur
dalam undang-undang.
Ajaran Legistis lebih menitik beratkan bahwa tidak semua perbuatan yang
menimbulkan kerugian dapat dituntut ganti rugi melainkan hanya terhadap
perbuatan melawan hukum saja yang dapat memberikan dasar untuk menuntut
ganti rugi. Pandangan tersebut kemudian lebih dikenal sebagai pandangan sempit.
Ajaran Legistis tersebut mendapat tantangan dari beberapa sarjana diantarnya
adalah Molengraaf yang mana menurut pandangan beliau, yang dimaksud dengan
perbuatan melawan hukum tidak hanya terpaku pada melanggar undang-undang
semata, tetapi juga jika perbuatan tersebut melanggar kaedah-kaedah kesusilaan
dan kepatutan.
Pada tahun 1919, Hoge Raad merumuskan pandangan luas mengenai perbuatan melawan
hukum. Pada rumusannya, Hoge Raad mempergunakan rumusan yang terdapat dalam
rancangan Heemskerk yang mana yang dimaksud perbuatan melawan hukum tidak sama
dengan melawan undang-undang tetapi perbuatan melawan hukum harus diartikan
sebagai “berbuat” atau “tidak berbuat” yang memperkosa hak oranglain atau
bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat atau bertentangan dengan asas
kesusilaan dan kepatuhan dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang
lain.
Rumusan tersebut dituangkan dalam “Standart Arrest” 31 Januari 119 dalam
perkara Cohen dan Lindenbaum:
“….
Penafsiran tersebut tidak beralasan karena melawan hukum tidak sama dengan
melawan undang-undang. Menurut Hoge Raad perbuatan melawan hukum harus
diartikan sebagai “berbuat” atai “tidak berbuat” yang memperkosa hak orang lain
atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat atau kesusilaan atau
kepatuhan dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang lain.”[7]
Sejak tahun 1919, Hoge Raad mulai menafsirkan Perbuatan Melawan Hukum dalam
arti luas pada perkara Lindenbaum v. Cohen dengan mengatakan Perbuatan
Melawan Hukum harus diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang
bertentangan dengan[8] :
- Hak Subyektif orang lain.
- Kewajiban hukum pelaku.
- Kaedah kesusilaan.
- Kepatutan dalam masyarakat
Pertanggungjawaban yang harus dilakukan berdasarkan perbuatan melawan hukum ini
merupakan suatu perikatan yang disebabkan dari undang-undang yang mengaturnya
(perikatan yang timbul karena undang-undang).
Pada ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori perbuatan melawan hukum, yaitu
sebagai berikut:
- Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan
- Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian).
- Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
Bila dilihat dari model pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tentang perbuatan melawan hukum lainnya, dan seperti juga di negaranegara dalam
sistem hukum Eropa Kontinental, maka model tanggung jawab hukum di Indonesia
adalah sebagai berikut:
- Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), seperti terdapat dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
- Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian seperti terdapat dalam Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
- Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas seperti dalam Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
Beberapa definisi lain yang pernah diberikan terhadap perbuatan melawan hukum
adalah sebagai berikut:
- Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari kewajiban kontraktual atau kewajiban quasi contractual yang menerbitkan hak untuk meminta ganti rugi.
- Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum yang mana perbuatan atau tidak berbuat tersebut, baik merupakan suatu perbuatan biasa maupun bias juga merupakan suatu kecelakaan.
- Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum, kewajiban mana ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya, dan dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu ganti rugi.
- Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti kerugian dapat dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak atau wanprestasi terhadap kewajiban trust ataupun wanprestasi terhadap kewajiban equity lainnya.
- Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak atau lebih tepatnya, merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain yang diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan kontraktual
- Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan hukum melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum dan karenanya suatu ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan.
- Perbuatan melawan hukum bukan suatu kontrak seperti juga kimia buka suatu fisika atau matematika.[9]
Posting Komentar