photo BANNERLPKSM_zps120bacdb.jpg
Home » » Subsidi BBM berbasis NPWP

Subsidi BBM berbasis NPWP

Written By CELEBES on Minggu, 07 April 2013 | 17.09

Subsidi BBM yang ahir-ahir ini ramai dibicarakan selama model yang digunakan adalah subsidi barang hampir pasti kedepannya tetap akan bermasalah baik dalam pengalokasian anggaran untuk subsidi maupun pembatasannya. 

Pernyataan Bank Dunia beberapa waktu lalu bahwa Indonesia adalah Negara yang menjadi korban kemajuan ekonominya sendiri, hal ini dapat diartikan dengan pertumbuhan ekonomi terbaik kedua tertinggi di Asia setelah China, kita ternyata kedodoran dalam menghadapi konsumsi domestik yang semakin meningkat. 

Kondisi ini tercermin pada meningkatnya import beberapa produk pangan (gula, tepung gandum, kedele, daging sapi, bahkan garam) dan produk energi (minyak bumi). Dilihat dari perspektif ekonomi import ini dilakukan karena kurangnya pasokan dari dalam negeri.

Keterbatasan pasokan minyak bumi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) kendaraan dimungkinkan salah satunya semakin menipisnya cadangan minyak dari sumur-sumur dalam negeri (indikasinya dari lifting minyak yang tidak sampai 1 juta barrel). Berkurangnya cadangan minyak ini kedepannya memungkinkan kita akan menjadi Negara importir BBM. 

Dari sisi Anggaran, dengan sistim subsidi BBM tentunya akan terus menaikan porsi anggaran seiring naiknya pemakai kendaraan. Dari beberapa data yang kami dapatkan saat ini terdapat lebih dari 50 juta kendaraan yang ada di Indonesia dan 13 juta diantaranya terdapat di DKI. Dari data makro ini terlihat bahwa 26% kendaraan terkonsentrasi di DKI, data ini kemungkinan besar sama dengan prosentase konsumsi BBM di DKI atau kemungkinan lebih besar karena macet dan lainnya. 

Dengan kondisi ini suka tidak suka menurut kami harus sesegera mungkin dilakukan pengendalian subsidi BBM.

Pengendalian subsidi BBM harus dilihat juga dengan kondisi infrastruktur juga. Seperti saya yang tinggal di Magelang dengan infrastruktur transportasi yang belum bagus menjadi tidak efisien ketika memakai kendaraan umum (saya masih pakai motor.red). 

Kalau saya pribadi berpendapat lebih baik harga dinaikkan dari pada dikendalikan tetapi gak jelas juga batasannya apa. Konsep pembatasan yang menurut kami tidak berhasil:

1. pembatasan BBM bersubsidi dengan stiker (buat plat merah dan kendaraan pemerintah dan BUMN lainnya) ternyata tidak efektif, bisa dikatakan seperti ini karena efisiensi hanya terjadi pada tahun 2012 saja karena pembatasan dilaksanakan setelah APBD dan APBN di “ketok“. 

Jadi yang dulu anggarannya pake bensin mau tidak mau harus dibelanjakan pertamax dengan rupiah yang sama. Tapi tahun 2013 ini kemungkinan belanja BBM untuk mobil dinas telah disesuaikan dengan rupiah BBM Non Subsidi. Efisien menekan pemakaian BBM non subsidi tetapi boros anggaran juga, karena yang digaungkan dimedia adalah efisiensi Anggaran (BETUL TIDAK?)

2. Pembatasan BBM untuk Solar yang diterapkan mulai 1 April 2013 ini. Pembatasan yang dilakukan terkesan “gebyah uyah” tanpa melihat kondisi wilayah dan infrastrukturnya. Yang kami lihat disepanjang jalan Magelang s.d Semarang POM bensin menjadi pangkalan Truk dan Bus karena antri membeli BBM. 

Kondisi ini akan mendorong naiknya biaya overhead yang dipikul oleh penyedia jasa transportasi khususnya angkutan logistik. Dengan bahan bakar yang terbatas (dibeberapa POM, pembelian dibatasi Rp. 100.000) maka akan timbul biaya tambahan karena jika bahan bakar menipis akan antre lagi. Belum lagi banyaknya infrastruktur yang lama rusak akan mendorong lambanya transpotasi yang berujung pada konsumsi BBM pula.

Untuk angkutan penumpang (Bus), dampak lanjutan dari antri BBM ini akan mendorong masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadinya yang kebanyakan menggunakan BBM jenis bensin karena lamanya waktu tempuh. Pembatasan Solar ini memungkinkan terjadinya konflik karena menghadapkan pelaku dengan banyak permasalahan (pungli, kerusakan infrastruktur) dengan kondisi yang membatasi.

Dari 2 (dua) contoh kegagalan pembatasan BBM bersubsidi ini sebaiknya kita membuat konsep penyaluran bersubsidi yang lebih cerdas dan tidak “gebyah uyah”. Tidak bijaksana menyalahkan orang kaya (saya bukan termasuk karena PNS.red) karena mereka juga warga negara yang membayar pajak. Penyaluran subsidi yang tepat menurut kami adalah pada orang bukan pada barang. 

Dengan subsidi orang, pengendalian akan lebih mudah dilakukan tetapi harus menghadirkan teknologi untuk melaksanakannya, karena jika hanya mengendalikan stiker (pengalaman diatas) masih melibatkan kebijakan.
Teringat Gagasan Dahlan Iskan yang menurut saya berfikir out of the box (karena dia tahu kotaknya dimana), Subsidi BBM kalau mau tertib harus melibatkan teknologi. Entah karena saya pernah memikirkan hal yang sama atau karena saya juga salah satu pengagum beliau, secara ide konsep ini harus diapresiasi dan dalam jangka panjang harus dilakukan. 

Hanya saya ingin menambahkan variabel data NPWP sebagai alat ukur dari besarnya subsidi BBM. NPWP sebagai salah satu instrumen pelaporan pajak yang dikenakan oleh negara terhadap warga negara atau badan usaha tertentu (sepengetahuan saya, tapi kurang lebih begitu kali). Menurut pengalaman saya selaku PNS di Kabupaten Magelang dan tiap tahun melaporkan potongan pajak pada Dirjen Pajak selaku pengelola pajak, pajak yang di pungut adalah dari penghasilan setelah di kurangi PTKP (penghasilan Tidak Kena Pajak). 

Berarti dapat disimpulkan bahwa besar kecilnya pajak adalah berimbang dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh. Berarti pula semakin besar Pajak terpotong semakin besar juga penghasilannya.

Prasyarat Konsepnya adalah:
  1. Semua kendaraan harus teregistrasi dalam suatu data base Nasional. Hal ini menurut saya mudah dilakukan mengingat tiap-tiap Dinas Pendapatan Provinsi juga telah mempunyai data base, jadi untuk langkah awal perlu ada aturan pembebasan bea balik nama, agar masyarakat sesegera mungkin balik nama (terutama pembeli kendaraan bekas);

  2. Kendaraan bermotor harus atas nama pemilik kendaraan bermotor dan dalam STNK dan bukti setoran pajak tahunan ada kewajiban mencantumkan NPWP dan Nomor KTP Nasional (E KTP);
  3. Pemerintah membentuk Lembaga Penyalur Subsidi seperti konsep ASKES tapi untuk BBM;

  4. Penebusan Subsidi Kit dilaksanakan pada saat pemilik kendaraan bermotor membayar pajak tahunan;

  5. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) harus terkoneksi kepada Data Base di Pusat (seperti koneksi toko ritel yang ada di kota-kota kita), dan menyediakan reader Subsidi Kit;
Konsep penyaluran subsidi BBM:
  1. Penentuan besarnya subsidi BBM dilakukan dengan perhitungan penghasilan total selama setahun dengan perhitungan terbalik dari besarnya pajak penghasilan setahun (contoh jika PPh tersetor selama setahun Rp. 1.000.000 dengan asumsi Wajib Pajak adalah PNS Gol III dengan potongan PPh 5 %, maka penghasilan setahunnya +/- Rp. 20.000.000,-) setelah diketahui penghasilan setahun maka tinggal penentuan kelas atau klasifikasi subsidi, misalkan penghasilan Rp. 12.000.000 s/d 24.000.000 jika memiliki sepeda motor disubsidi 450 liter tiap tahun atau jika mempunyai mobil 300 liter;

  2. Penerbitan subsidi kit oleh lembaga subsidi dilakukan pada saat pembayaran pajak tahunan atau saat balik nama kendaraan. Dengan mereplikasi konsep Askes, setelah membayar pajak para pemilik kendaraan diwajibkan mengurus subsidi kit;

  3. SPBU menjual BBM dengan harga pasar atau harga yang disepakati dan wajib menyediakan alat reader subsidi kit serta jaringan akses ke data base subsidi. Petugas pompa bensin melayani seperti biasanya dan pemilik kendaraan bermotor dapat memanfaatkan subsidi kit untuk mendapatkan potongan harga;

  4. SPBU mengurus klaim tagihan subsidi pada lembaga subsidi;
Manfaat :
  1. Menjamin pemerataan subsidi, beberapa ahli memaparkan bahwa pengkansumsi BBM tertinggi adalah wilayah DKI. Meski tidak dapat menyalahkan satu dan lain pihak tetapi dengan kondisi konsentrasi ekonomi juga terpusat di DKI tentunya dapat di simpulkan sebagian besar warga masyarakat adalah orang mampu. Dengan basis NPWP tentunya masyarakat mampu tidak akan memperoleh subsidi, dan dapat disalurkan pada wilayah lain.

  2. Menjaring lebih banyak wajib pajak, dengan kewajiban NPWP pada tiap pemilik kendaraan bermotor maka akan lebih banyak menjaring wajib pajak dan dapat memetakan potensi wajib pajak;

  3. Subsidi BBM lebih mudah diperkirakan karena dapat dihitung dari jumlah kendaraan dikalikan hasil perhitungan subsidi berdasar Klasifikasi;

  4. Mengendalikan jumlah kendaraan, dengan pembatasan pada orang maka akan berfikir ulang untuk memiliki kendaraan lebih dari 1 (satu);

  5. Mengurangi penyelundupan, dengan harga pada SPBU adalah harga pasar dan sifat subsidinya adalah subsidi orang maka penimbunan akan menjadi hal yang sulit;

  6. Lebih tepat sasaran karena dengan konsep ini hanya kendaraan yang taat pajak saja yang akan mendapatkan subsidi BBM;

  7. Dengan Penambahan Fitur ,Subsidi Kit juga dapat digunakan sebagai alat pelacak kendaraan;
Ya memang infrastruktur yang harus di sediakan memang agak mahal dan saya pun gak tahu brapa harganya. Tetapi bukan hal yang tidak mungkin dilakukan juga. Teknologi sudah ada dan sebenarnya tinggal mengintegrasikan saja, bayangkan toko retail yang ada di kota-kota kita saja transaksinya telah terintegrasi pada induknya (IM, AM dll) dan jumlahnya pasti lebih banyak dari pada SPBUnya di tiap kota. 

Askes dengan mudahnya dapat melayani dari sabang sampai merauke, ATM juga like that. Trus apalagi sih yang gak ada? beaya emang mahal tetapi faedahnya kan bagus juga. Sebenarnya tinggal bagaimana kita berani tidak seperti itu….

Negara yang sedemikian besar dan kaya harus di kelola dengan smart pula, jangan hanya kemasannya aja yang ganti isinya tetap jadul…..

Mungkin ini sumbang saran aja ya, daripada hanya berdebat tanpa solusi….

Sumber ;
ADANG ATFAN L, ST.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Lembaga Perlindungan Konsumen CELEBES - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger