- Dari segi Hukum Undang-undang Perlindungan Konsumen
- Dari segi hukum pidana
Menyimak pemberitaan beberapa Media Cetak maupun Elektronik yang penuh dengan headline tentang Irzen Okta, nasabah Citibank yang tewas saat ditagih
oleh penagih utang. Irzen Okta tewas di Menara Jamsostek, Jakarta Selatan,
pada Selasa (29/3/2011), karena bermaksud melunasi hutangnya atas penggunaan
kartu Kredit City Bank.
Jauh sebelum maksud kedatangannya ke Menara Jamsostek
konon menurut kabar Irzen Okta sering didatangi oleh Makhluk yang namanya Debt
Collector/Penagih hutang dirumahnya untuk menagih /melunasi hutang dari
penggunaan kartu kredit City Bank. Biasanya cara yang digunakan oleh Debt
Collector tersebut dengan menelepon,memaki-maki, bahkan mengancam mana kala
bertemu langsung dengan Konsumen/ Pengguna kartu kredit, bahkan yang lebih
ekstrim lagi datang dengan dua orang atau lebih Penagih Hutang
tersebut, kemudian nongkrong dirumah/teras atau tidak segan-segan menyampaikan
ancaman juga kepada para tetangga Konsumen..
Sungguh tindakan ini menandakan mereka tidak tahu hukum Positif di Indonesia, Negara dan kebebasan seseorang dalam hidup dialam kemerdekaan telah diacak-acak, oleh karena perbuatan tersebut tidak berdasar pada hukum namun berdasar pada Surat kuasa yang sesat dan bertentangan dengan hukum.
Untuk Mengkaji Tindakan Debt Collector dan Bank yang telah menggunakan jasa debt collector dalam penagihan dari segi hukumnya berikut kami uraikan secara singkat Hukumnya .
Sungguh tindakan ini menandakan mereka tidak tahu hukum Positif di Indonesia, Negara dan kebebasan seseorang dalam hidup dialam kemerdekaan telah diacak-acak, oleh karena perbuatan tersebut tidak berdasar pada hukum namun berdasar pada Surat kuasa yang sesat dan bertentangan dengan hukum.
Untuk Mengkaji Tindakan Debt Collector dan Bank yang telah menggunakan jasa debt collector dalam penagihan dari segi hukumnya berikut kami uraikan secara singkat Hukumnya .
Pada awal dimulainya
sistem perjanjian prinsip penting didalam perjanjian itu adalah "kebebasan
berkontrak diantara pihak yang berkedudukan seimbang dan tercapainya kesepakatan
pihak-pihak”.
Namun berhubung aspek-aspek perekonomian semakin berkembang para pihak mencari format, yang lebih praktis. Salah satu pihak menyiapkan syarat-syarat yang sudah distandarkan pada suatu format perjanjian yang tel;ah dicetak, berupa formulir untuk kemudian diberikan kepada pihak lainnya untuk disetujui (ditandatangani). Inilah yang dimaksudkan perjanjian standar / atau perjanjian baku.
Dengan cara yang praktis ini pihak-pihak pemberi formulir (Bank Penerbit kartu kredit / Issuer) seringkali menggunakan kesempatan untuk membuat rumusan kontrak yang dibakukan itu lebih menguntungkan pihaknya dan bahkan mengambil kesempatan dikala lawan perjanjiannya tidak berkesempatan membaca isinya secara detail atau tidak selalu memperhatikan isi perjanjian itu. Perjanjian baku ini diistilahkan secara beragam dalam bahasa inggris disebut dengan Standardized contract, atau standard contract atau contract of adhesion
Namun berhubung aspek-aspek perekonomian semakin berkembang para pihak mencari format, yang lebih praktis. Salah satu pihak menyiapkan syarat-syarat yang sudah distandarkan pada suatu format perjanjian yang tel;ah dicetak, berupa formulir untuk kemudian diberikan kepada pihak lainnya untuk disetujui (ditandatangani). Inilah yang dimaksudkan perjanjian standar / atau perjanjian baku.
Dengan cara yang praktis ini pihak-pihak pemberi formulir (Bank Penerbit kartu kredit / Issuer) seringkali menggunakan kesempatan untuk membuat rumusan kontrak yang dibakukan itu lebih menguntungkan pihaknya dan bahkan mengambil kesempatan dikala lawan perjanjiannya tidak berkesempatan membaca isinya secara detail atau tidak selalu memperhatikan isi perjanjian itu. Perjanjian baku ini diistilahkan secara beragam dalam bahasa inggris disebut dengan Standardized contract, atau standard contract atau contract of adhesion
Pengaturan mengenai klausul baku merupakan konsekuensi dari upaya kebijakan untuk memberdayakan konsumen supaya dalam kondisi yang seimbang, yakni terdapatnya suatu hubungan kontraktual antara produsen (pelaku usaha) dan konsumen dalam prinsip kebebasan berkontrak.
Kebebasan berkontrak adalah bila para pihak di kala melakukan perjanjian berada dalam situasi dan kondisi yang bebas menentukan kehendaknya dalam konsep atau rumusan perjanjian yang disepakati.
Bebas diartikan sebagai
tidak dalam keadaan dipaksa dan terpaksa bagi semua pihak -pihak dalam
melakukan perjanjian. Ini diartikan pula bahwa setiap pihak peserta perjanjian
menyadari sepenuhnya tentang isi dari perjanjian itu, dan demikian pula bahwa
setiap pihak tidak berada dalam kondisi atau keadaan sulit menentukan keinginan
dan pilihan dalam pelakukan perjanjian itu.
Seseorang yang dipaksa misalnya dilatarbelakangi ancaman,
sehingga melakukan perjanjian, konsekuensinya adalah batal (batal demi hukum,
void ab initio). Hal yang sama pula akibatnya jika seseorang karena terpaksa melakukan
perjanjian, misalnya karena ia dalam keadaan butuh sekali akan uang sehingga
menandatangani perjanjian hutang piutang dari rentenir dengan bunga tinggi.
Atau jika perjanjian yang
sudah dibuatkan konsepnya dan tinggal menanda tangani saja. Padahal isinya
sendiri tidak dimengerti secara jelas, namun disetujuinya karena ia berhadapan
dengan lawan perikatannya yang sangat memiliki posisi tinggi (Pengusaha besar,
pejabat tinggi,dan sebagainya).
Bila pembatasan klausul baku tidak diatur secara jalas maka dominasi pelaku usaha kepada konsumen akan sedemikian kentaranya, dan akibatnya konsumen akan sangat dirugikan. Produsen akan membuat rumusan ketentuan – ketentuan internal yang bersifat klausul baku sebagai bagian dari perikatan kontraktual yang sifatnya menguntungkan dirinya atau sebaliknya amat merugikan konsumen.
Bila pembatasan klausul baku tidak diatur secara jalas maka dominasi pelaku usaha kepada konsumen akan sedemikian kentaranya, dan akibatnya konsumen akan sangat dirugikan. Produsen akan membuat rumusan ketentuan – ketentuan internal yang bersifat klausul baku sebagai bagian dari perikatan kontraktual yang sifatnya menguntungkan dirinya atau sebaliknya amat merugikan konsumen.
Dalam kesempatan itu pula konsumen karena berbagai alasan dan kondisi tertentu akan menerima atau menandatangani begitu saja perikatan yang mengandung klausul baku itu. Posisi konsumen yang relatif dibawah posisi produsen akan bisa disalahgunakan dengan memanfaatkan keadaan (misbruik van omstandigheiden), Yakni penyalah gunaan keadaan, perbuatan ini dijadikan sebagai alasan keempat setelah unsur-unsur dwang (paksaan),dwaling (kesilapan),dan bedrog (penipuan).
Pasal 18 ayat 1 UUPK melarang tegas dan terperinci pencantuman klausul baku pada setiap dokumen atau perjanjian. Pasal ini melarang praktik demikian jika sudah menyangkut delapan hal yakni ;
a. Menyatakan
pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan
pelaku usaha berhak menolak pengembalian barang yang telah dibeli konsumen;
c. Menyatakan
pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang pembelian atas barang atau
jasa yang sudah dibeli;
d. Menyatakan
pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik langsung atau tidak
untuk melakukan suatu tindakan sepihak berkaitan dengan transaksi secara
angsuran;
e. Mengatur
tentang pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau jasa yang dibeli
konsuen;
f. Memberikan
hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau harta konsumen yang
menjadi obyek jual beli jasa;
g. Menyatakan
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berwujud sebagai aturan baru,
tambahan, lanjutan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usaha dalam tenggang waktu konsumen menggunakan jasa tersebut.;
h. Menyatakan
konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak
gadai atau hak jaminan baraang yang dibeli secara angsuran.
Pengalihan tanggung jawab misalnya sebagaimana dalam Pasal 18 ayat 1 huruf a UUPK atau angka satu diatas, sering dimanfaatkan oleh pelaku usaha. Dalam hal yang obyektif adalah merupakan tanggung jawab pelaku usaha , misalnya Pemilik kartu melakukan transaksi dan kemudian pihak Bank menolak untuk membayarnya dengan alasan Bank berhak menyetujui atau menolak transaksi sesuai dengan pertimbangan bank sendiri tanpa harus memberikan alasan apapun kepada pemegang kartu.
Terjadinya tindak kekerasan dalam penagihan kartu kredit yang dialami oleh pemilik kartu adalah karena pelaku usaha / Pihak bank penerbit kartu (Issuer) melakukan penyalah-gunaan bentuk klausula baku dalam perjanjiannya. Hal tersebut dilakukan oleh Bank karena untuk melindungi asset atau kekayaan yang dimilikinya sehingga bisa dipastikan perjanjian tersebut menguntungkan salah satu pihak.
Sebagai contoh, penulis mengambil salah satu klausul dalam perjanjian kartu kredit Bank Mega yang diberikan kepada pemilik kartu. “Dalam hal pemegang kartu tidak melakukan pembayaran tagihan sebagaimana diatur dalam ketentuan umum ini, maka Bank dapat menggunakan jasa pihak ketiga untuk , melakukan penagihan sampai dengan tagihan dan denda dibayar lunas”.
Pasal inilah yang membuat timbulnya suatu tindak kekerasan kepada pemilik kartu, hal tersebut karena jasa pihak ketiga yang digunakan bank untuk melakukan penagihan menggunakan berbagai cara asalkan Konsumen atau pemilik kartu mau membayar tagihan. Mulai dari cara yang halus, sampai dengan cara yang kasar diantaranya dengan Meneror melalui teleponatau mendatangi langsung ke Rumah kemudian mengancam atau bahkan sampai ada yang menyita harta benda pemilik kartu dengan dalih untuk menutupi hutangnya.
Dengan digunakannya jasa pihak ketiga oleh bank dalam hal ini memakai Debt Collector bisa dikatakan pihak bank tidak dapat lagi memberikan rasa aman kepada konsumen pemilik kartu atau bisa juga bisa ditafsirkan Pihak bank telah mengalihkan tanggung jawab kepada pihak lain. Padahal pengalihan tanggung jawab sebagaimana diuraikan diatas dalam pasal 18 Ayat 1 huruf a UUPK tidak diperbolehkan atau dilarang. Pasal 18
(1) Menawarkan
barang / jasa untuk diperdagangkan dengan membuat klausula baku pada dokumen
atau perjanjian yang;
- Menyatakan
pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
- Menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli;
- Menyatakan
pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha (secara langsung / tidak
langsung) untuk melakukan tindakan sepihak yang berkaitam dengan barang yang
dibeli secara angsuran;
- Menagatur
perihal pembuktian hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli
konsumen;
- Memberi
hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
- Menyatakan
tunduknya konsumen kepada aturan baru, tambahan, lanjutan dan atau pengubahan
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha;
- Menyatakan
bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan, terhadap barang yang dibeli secara
angsuran;
Dapat ditarik kesimpulan
Tindakan Bank yang telah menarik pihak ketiga untuk melakukan pekerjaan
penagihan dengan jasa Debt Collector adalah bentuk pelanggaran terhadap UU. No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,dan apabila hal ini tetap dilakukan
masyarakat dapat menggugat secara perdata kepada Bank atas Kerugian yang telah
diterbitkannya.
KUHP HANYA MENGAKUI MANUSIA SEBAGAI
SATU-SATUNYA SUBYEK TINDAK PIDANA
Kiranya tindak kekerasan
tersebut dalam penagihan perlu dirumuskan, apakah menyebabkan cideranya
konsumen secara fisik, atau perbuatan tersebut berwujud ucapan, makian sehingga
menimbulkan martabat konsumen direndahkan, ataukah perbuatan tersebut bersifat
melawan hukum. Moelyatno dan Roeslan Saleh berpendapat bahwa bersifat melawan
hukum harus diartikan dengan bertentangan dengan hukum”
Umumnya tindakan kekerasan tersebut berupa ucapan/ perkataan yang kotor, perampasan harta benda atau bahkan sampai ada yang dianiaya.
Umumnya tindakan kekerasan tersebut berupa ucapan/ perkataan yang kotor, perampasan harta benda atau bahkan sampai ada yang dianiaya.
Berdasarkan pasal 59 KUHP, korporasi sebagai subyek hukum pidana tidak dikenal. Apabila pengurus korporasi melakukan tindak pidana yang dilakukan dalam rangka mewakili atau dilakukan untuk dan atas nama korporasi, pertanggung jawaban pidana dibebankan kepada pengurus yang melakukan tindak pidana itu. Korporasi tidak dibebani pertanggung jawaban pidana, karena KUHP tidak mengenal korporasi sebagai Subyek tindak pidana. Bunyi lengkap pasal 59 KUHP adalah sebagai berikut;
“Dalam hal dimana pelanggaran ditentukan pidananya diancamkan kepada pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris, maka tidak dipidana pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tersebut”.
Semangat yang ditunjukkan oleh bunyi pasal 59 KUHP tersebut adalah bahwa tindak pidana tidak pernah dilakukan oleh korporasi tetapi dilakukan oleh pengurusnya. Sebagai konsekuensinya, maka pengurus itu pula yang dibebani pertanggung jawaban pidana sekalipun pengurus dalam melakukan perbuatan itu dilakukan untuk dan atas nama korporasi, atau untuk kepentingan korporasi, atau bertujuan untuk memberikan manfaat bagi bagi korporasi dan bukan bagi diri pengurus
Pendirian KUHP yang
berpendapat bahwa hanya manusia yang dapat dibebani pertanggung-jawaban adalah
berdasarkan Adagium “ Actus non facit reum, nisi mens sit rea.Atau
dalam bahasa Belanda “Geen straf zonder Sculd” atau lebih dikenal
dengan “ Nulla poena sine culpa”. ( Culpa, dalam hal ini pengertiannya
diperluas bukan hanya kealpaan saja tetapi juga kesengajaan).
Dalam bahasa Indonesia adagium tersebut diartikan sebagai “ Tiada pidana tanpa Kesalahan”.
Dalam bahasa Indonesia adagium tersebut diartikan sebagai “ Tiada pidana tanpa Kesalahan”.
Mengandung
arti bahwa seseorang tidak dapat dibebani pertanggung jawaban pidana (Criminal
Liability), dengan dijatuhi sanksi pidana karena telah melakukan suatu tindak
pidana apabila dalam melakukan perbuatan, yang menurut undang-undang pidana
merupakan tindak pidana, telah melakukan perbuatan tersebut dengan tidak
sengaja tidak berdasarkan Opset / dollus, atau bukan karena kelalainnya (
Culpa)
Kriminalisasi di bidang
konsumen sebelum lahirnya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
sudah diatur dalam KUHP. Hal itu bisa kita lihat dalam pasal-pasal KUHP;
1. Pasal
204 KUHP, Ayat 1;
“ Barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan, atau
membagi-bagikan barang dan diketahuinya membahayakan nyawa atau kesehatan
orang, padahal sifat bahaya itu tidak diberitahu, diancam dengan pidana penjara
paling lama 15 tahun “.
2. Pasal
205 KUHP mengatur tentang perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan
barang-barang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, dijual, diserahkan
atau dibagi-bagikan tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh pembeli atau yang
memperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan,atau denda
paling banyak tiga ratus rupiah. Jika mengakibatkan matinya orang, si bersalah
dikenakan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau
kurungan paling lama satu tahun dan barang-barang itu disita.
3. Pasal
359 KUHP ; “ Kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
4. Pasal
360 KUHP ; Kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka berat, diancam
pidana paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun ( Ayat 1).
5. Pasal
382 KUHP; Tentang tindakan menjual, menawarkan, atau menyerahkan makanan,
minuman, atau obat-obatan yang diketahui palsu diancam hukuman penjara paling
lama empat tahun.
6. Pasal
382 bis KUHP; Mengatur mengenai perbuatan mendapatkan, melangsungkan atau
memperluas debit perdagangan atau perusahaan sendiri atau orang lain, perbuatan
curang dengan menyesatkan khalayak umum atau orang tertentu, diancam jika
karena itu timbul kerugian-kerugian bagi konkuren-konkuren atau
konkuren-konkuren orang lain itu, karena persaingan curang, dengan pidana
paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak sembilan ratus
rupiah.
7. Pasal
383 bis KUHP; mengancam pidana paling lama satu tahun empat bulan, penjual yang
berlaku curang terhadap pembeli karena sengaja menyerahkan barang lain dari
yang ditunjuk untuk dibeli. Juga terhadap pembeli mengenai jenis keadaan atau
banyaknya barang yang diserahkan dengan menggunakan tipu muslihat.
Pasal 386
KUHP; yang mengatur mengenai makanan, minuman, atau obat-obatan yang di palsu,
dimana perbuatan pemalsuan dari pihak penjual, penawar yang menyerahkan
minuman, makanan dan obat-obatan itu tidak diberitahukan kepada pembeli.
Dari uraian tersebut diatas jelaslah bahwa Undang-undang
Perlindungan Konsumen adalah telah memuat sanksi pidana korporasi ( Corporat
Crime), diluar KUHP. Dengan adanya undang-undang perlindungan konsumen maka
segala tindakan yang berakibat menimbulkan kerugian bagi konsumen baik materiil
maupun Imateriil dari perbuatan Korporasi/ pelaku usaha mekanisme
sanksi pidana ataupun denda telah diatur di dalamnya.
Namun demikian terhadap
pelaku perbuatan tindak kekerasan secara perseorangan / person
kepada konsumen / pemilik kartu kredit dapat pula dijerat dengan
pasal-pasal yang ada dalam KUHP. Tentunya dengan melihat sejauh mana perbuatan
tersebut memenuhi unsur, dalam pasal-pasal KUHP. Unsur – unsur tersebut
ialah, Unsur Subyektif dan
Unsur Objektif.
Unsur Objektif.
Unsur Subyektif meliputi
;
1. Subyek
2. Kesalahan
Unsur obyektif meliputi ;
1. Bersifat
melawan hukum
2. Tindakan
terlarang serta diancam oleh undang-undang
3. Faktor
obyektif lainnya
Berbicara mengenai tindak pidana ( Kekerasan ), maka harus ada orang sebagai subyeknya dan orang itu melakukannya dengan kesalahan. Dengan kata lain apabila dikatakan telah terjadi tindak pidana berupa kekerasan, atau perbuatan yang tidak menyenangkan dalam penagihan kartu kredit yang dilakukan oleh bank atau Debt Collector maka harus ada subyeknya berupa orang / person, dan orang itu telah melakukan kesalahan. Namun sebaliknya bila orang itu telah melakukan tindakan sebagaimana terdapat dalam unsur Obyektif tanpa kesalahan dapat dikatakan tidak terjadi tindak pidana.
Pada dasarnya seseorang bisa dikatakan telah melakukan tindak pidana berupa kekerasan maupun Perbuatan tidak menyenagkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 335 KUHP apabila orang itu telah memenuhi Kedua unsur tersebut diatas yakni unsur Subyektif dan Unsur obyektif.
Sebagai contoh bila
perbuatan itu menyebabkan ketidak senangan terhadap pemilik kartu kredit maka
menurut hemat penulis dapatlah dijerat dengan pasal 335 KUHP, dan bila person
yang mewakili pihak Bank dalam melakukan penagihan kemudian melakukan
penganiayaan maka bisa dijerat dengan pasal 351 KUHP.
Pasal 335
(1) Dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun atau denda sebanyak-banyaknya
empat ribu lima ratus rupiah ;
Ke-1. “ Barang siapa dengan melawan hukum memaksa orang lain
untuk membuat , tiada membuat atau membiarkan barang sesuatu dengan kekerasan ,
dengan perbuatan lain, atau dengan perbuatan yang tak menyenagkan atau dengan
ancaman kekerasan , ancaman perbuatan lain atau ancaman perbuatan yang tak
menyenangkan ,baik terhadap orang itu ,maupun terhadap orang lain.
Pasal 351 KUHP
(1) Penganiayaan
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau
denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus
rupiah.
(2) Jika
perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dipidana dengan penjara
selama-lamanya lima tahun.
(3) Jika
perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya tujuh tahun
(4) Dengan
penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.
(5) Percobaan
melakukan kejahatan itu tidak dapat dipidana
Pemerasan dan Pengancaman
Pasal 368
(1) Barang
siapa dengan maksud untuk menguntungkan dirinya atau orang lain dengan melawan
hukum, memaksa orang dengan kekerasan atau dengan
ancaman kekerasansupaya orang itu memberikan suatu barang yang sama
sekali atau kepunyaan orang lain, atau supaya orang itu membuat utang atau menghapus
piutang, dipidana karena pemerasan dengan pidana penjara selama-lamanya
sembilan tahun.
(2) Ketentuan
pada pasal 365, ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi
kejahatan itu.
Pasal 365
(2) Pidana
selama-lamanya dua belas tahun dijatuhkan ;
Ke-1. Jika perbuatan itu dilakukan pada waktu malam
di dalam sebuah rumah atau di pekarangan tertutup yang ada rumahnya, atau
dijalan umum, atau di dalam kereta api, atau tram yang sedang berjalan.
Ke-2. Jika perbuatan itu dilakukan bersama-sama
oleh dua orang atau lebih.
Ke-3. Jika yang bersalah masuk ke tempat
melakukan kejahatan itu dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu, atau
pakaian jabatan palsu.
Ke-4. Jika perbuatan itu berakibat ada orang
luka berat.
(3) Dijatuhkan
pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun jika perbuatan itu berakibat ada
orang mati.
(4) Pidana
mati atau penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun
dijatuhkan, jika perbuatan itu berakibat ada orang luka berat atau mati dan
perbuatan itu dilakukan bersama-sama oleh dua orang atau lebih dan lagi pula
disertai salah satu hal yang diterangkan dalam no.1 dan no.2.
Alternatif
mekanisme penyelesaian dari tindak kekerasan dalam penagihan kartu kredit,
menurut pendapat penulis selain dapat dilakukan melalui Undang-undang
Perlindungan Konsumen dapat juga diselesaikan melalui upaya pemidanaan dengan
KUHP. Penyelesaian melalui KUHP dirasa lebih menggigit sanksinya dari pada
melalui Undang-undang Perlindungan Konsumen. Alasannya adalah karena Perangkat
/ aturan yang disiapkan dalam Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen masih lemah dan ada hal-hal yang belum diatur sehingga
diperlukan Peraturan Mahkamah Agung / PERMA.
Posting Komentar