Advokat dan sekaligus Koordinator Komisi II Badan
Perlindungan Konsumen (BPKN) David ML Tobing menilai, tak hanya konsumen yang
rugi karena klausula baku.
Menurutnya, pelaku usaha juga bisa dirugikan dalam perjanjian tersebut. Hal itu
dikarenakan tak semua konsumen memiliki itikad baik dalam suatu perjanjian.
“Tidak semua konsumen punya itikad baik dan bahkan ada yang jahat. Itu adalah dua hal yang berbeda,” katanya dalam sebuah seminar di Jakarta, Kamis (3/12).
Pada dasarnya, lanjut David, gugatan terhadap pencantuman klausula baku tidak bisa membatalkan perjanjian secara keseluruhan. Apalagi sampai menghapuskan segala kewajiban yang telah timbul sebelumnya hingga munculnya gugatan tersebut. Menurutnya, gugatan terhadap klausula baku paling-paling hanya bisa membatalkan tentang klausula yang dinilai merugikan salah satu pihak.
“Itu gugatan tanpa dasar kalau minta dihapus perjanjiannya. Kalau sampai hapus itu salah kaprah,” kata David.
Ia juga tak menampik kalau ada ‘oknum’ Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang mencoba ‘menunggangi’ konsumen yang merasa dirugikan dengan pencantuman klausula baku. Atas dasar itu, David berpesan sebaiknya pelaku usaha, khususnya di industri jasa keuangan tetap waspada terkait hal ini.
Jika di masa yang akan datang ada kondisi serupa, David mengusulkan agar pelaku usaha mengecek apakah LPKSM itu terdaftar di Kementerian Perdagangan atau tidak. Sebab, tidak bisa dipungkiri bahwa ada oknum yang mengaku-ngaku sebagai lembaga yang sah dan terdaftar di Kementerian Perdagangan.
Selain itu, langkah lain yang bisa ditempuh adalah dengan melaporkan kejadian itu ke lembaga-lembaga yang memang membawahi bidang itu. Seperti, Kementerian Perdagangan, Ombudsman, bupati, dan wali kota. “Kalau tidak terdaftar berarti tidak ada izinya. LPKSM yang galak itu harus disuarakan bersama-sama,” katanya.
Ia mengatakan, terdapat dua aturan yang spesifik melarang penggunaan klausula baku dalam sebuah perjanjian atau kontrak. Tapi faktanya, klausula baku dalam perjanjian masih sering ditemukan, bahkan menyentuh industri keuangan. Kedua aturan tersebut adalah UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan penjelasan Pasal 22 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.07/2013 Tahun 2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
“Itu adalah definisi yang sah tentang klausula baku dalam UU Perlindungan Konsumen dan perjanjian baku dalam POJK,” kata David.
Menurutnya, dua ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen dan Pasal 22 ayat (3) POJK Nomor 1/POJK.07/2013 sama-sama melarang pelaku usaha untuk mencantumkan klausula baku dalam perjanjian. Ia mengatakan, ketentuan dalam POJK itu hampir 90 persen mengadopsi ketentuan dalam UU Perlindungan Konsumen.
Di tempat yang sama, Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Kusumaningtuti S Soetiono, mengatakan, untuk mempertegas larangan penggunaan klausula baku OJK telah menerbitkan Surat Edaran OJK Nomor 13/SEOJK.07/2014 Tahun 2014 tentang Perjanjian Baku.
Kusumaningtuti juga mengatakan, OJK banyak menerima permintaan yang berkaitan dengan permintaan penjelasan mengenai SEOJK dan aduan tentang adanya pelanggaran tentang klausula baku tersebut. “OJK mencatat adanya 56 layanan yang berkaitan dengan permintaan penjelasan dan aduan pelanggaran atas pelaksanaan POJK dan SEOJK,” pungkasnya.
Posting Komentar