Latest Post
23.36
Upaya Hukum yang Ditempuh Konsumen Atas Kerugian yang Diakibatkan dari Barang dan /atau Jasa yang Ditawarkan Pelaku Usaha Melalui Iklan.
Written By CELEBES on Selasa, 03 Januari 2017 | 23.36
LpksmCELEBES. Di dalam undang-undang perlindungan konsumen nomor 8 tahun 1999 memberikan dua macam ruang untuk menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan dan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Hal ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 45 ayat (1) dan 47 Undang-undang perlindungan konsumen.
Pasal 45 ayat (1) UUPK
”Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan". umum.”
Pasal 47 UUPK
”penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselengarakan untuk mencapai kesempakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu unutuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen .”
Berdasarkan rumusan Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 47 Undang-undang Perlindungan Konsumen di atas, penyelesaian konsumen di luar pengadilan dapat ditempuh dengan dua cara yaitu :
1. Penyelesaian tuntutan ganti kerugian seketika dan
2. Penyelesaian tuntutan ganti kerugian melalui Badan penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Dengan demikian, ada 3 cara dalam menyelesaikan kosumen, yaitu :
1. penyelesaian sengketa konsuen melalui pengadilan;
2. penyelesaian sengketa konsumen dengan tuntutan seketika; dan
3. penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu yang disingkat dengan BPSK.
Satu dari tiga cara tersebut di atas, dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan, dengan ketentuan bahwa penyelesaian sengketa melalui tuntutan seketika wajib ditempuh pertama kali untuk memperoleh kesepakatan para pihak. Sedangkan dua cara lainnya adalah pilihan yang ditempuh setelah penyelesaian dengan cara kesepakatan gagal. Dengan begitu, jika sudah menempuh cara melalui pengadilan tidak dapat lagi ditempuh penyelesaian melalui BPSK dan sebaliknya.
a. Melalui Jalur Pengadilan
Menurut Pasal 48 Undang-undang Nomor 1999 tentang perlindungan konsumen, penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum. Ini berarti hukum acara yang dipakai dalam tata cara persidangan dan pemeriksaan perkara adalah berdasarkanHerzine Inland Regeling (HIR) atau Rechtsreglemen Buitengewesten (RBg), yang mana keduanya pada dasar tidak mempunyai perbedaan yang mendasar (prinsipil).
a) Pengajuan Gugatan
Dalam hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, di kenal asas Hakim bersifat menunggu, pasif. Artinya bahwa inisiatif berperkara datang dari pihak-pihak yang berkepentingan. Di mana hal tersebut diatur dalam Pasal 1865 KUH Perdata, yaitu Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
Kemudian dapat di lihat bahwa dalam rumusan pasal 1865 KUH Perdata tersebut mengandung beberapa makna, yang mana makna tersebut terdiri dari :
1) Seseorang dapat mengajukan suatu peristiwa, dalam hal ini wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, untuk menunjukkan haknya.
2) Peristiwa yang diajukan itu harus dibuktikan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, bahwa di dalam persidangan perdata para pihak yang merasakan atau mendapatkan kerugian yang ditimbulkan dari akibat adanya hubungan hukum, berhak mengajukan penuntutan di depan persidangan dengan memberikan bukti-bukti yang berhubugan dengan persoalan yang terjadi.
Hal ini berbeda dengan ketentuan yang terdapat di dalam Udang perlindungan konsumen. Di mana tepatnya di dalam pasal 46 UUPK No 8 Tahun 1999, menyebutkan bahwa :
1. Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh :
a. Seseorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d. Pemerintah dan atau instansi terkait apabila barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
2. Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
3. ketentuan lebih lanjut menegenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan peraturan pemerintah.
Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan di atas, yang dapat mengajukan gugatan dalam ketentuan Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah :
1. Setiap Konsumen yang dirugikan, ahli warisnya, baik berupa perseorangan maupun kelompok.
2. Lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat.
3. Pemerintah.
b) Pemerikasaan dan Pembuktian
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.[1]
Dengan jalan pembuktian, menjadi jelas bagi hakim tentang hukumannya suatu perkara sehingga memudahkan hakim untuk mengonstatir peristiwa, mengualifikasi, dan kemudian mengontitusikannya.
Sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 1865 KUH Perdata, di mana peristiwa yang menjadi dasar hak tersebut mesti dibuktikan oleh penggugat. Artinya kalau gugatan atas ganti kerugian didasarkan pada peristiwa wanprestasi konsumen sebagai penggugat perlu membuktikan :
1. Adanya hubungan perikatan (kontrak, perjanjian);
2. Adanya bagian-bagian dari kerwajiban yang tidak dipenuhi oleh pelaku usaha; dan
3. Timbulnya kerugian bagi konsumen (penggugat).
Jika gugatan ganti kerugian didasarkan pada peristiwa perbuatan melawan hukum, haruslah dibuktikan :
1. Adanya perbuatan melawan hukum, baik berupa pelanggaran hak konsumen, pelanggaran terhadap kewajiban berhati-hati, pelanggaran norma kesusilaan, maupun pelanggaran norma kepatutan.
2. Adanya kesalahan kerugian yang diderita dari pelaku usaha, baik berupa kesengajaan maupun kelalaian.
3. Adanya sejumlah kerugian yang diderita konsumen penggugat.
4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum yang salah itu dan kerugian.
Pembuktian hal-hal tersebut di atas dilakukan menurut cara-cara yang diatur dalam undang-undang. Menurut pasal 284 RBG/164 HIR atau Pasal 1866 KUH Perdata, alat-alat bukti yang dapat diajukan adalah :
1. Surat;
2. saksi;
3. persangkaan;
4. pengakuan; dan
5. sumpah
b. Di luar Pengadilan
1. penyelesaian penggantian kerugian seketika (secara langsung) dengan jalan damai.
konsumen yang merasa dirugikan karena memakai atau mengkonsumsi produk yang cacat atau tidak sesuai dengan apa yang ditawarkan melalui iklan oleh pelaku usaha hanya akan mendapat penggantian kerugian apabila mengajukan permintaan atau tuntutan atas hal tersebut. Permintaan atau penuntutan penggantian kerugian ini mutlak dilakukan oleh orang atau konsumen yang merasa berhak untuk mendapatkan. Tidak akan ada penggantian kerugian selain karena dimohonkan terlebih dahulu ke pengadilan dengan syarat-syarat tertentu.
Sebagaimana pasal 19 ayat (1) dan ayat (3) undang-undang Perlindungan konsumen, di mana konsumen yang merasakan dirugikan dapat menuntut secara langsung penggantian kerugian kepada pelaku usaha, dan pelaku usaha harus memberi tanggapan dan/atau penyelesaian dalam jangka waktu tujuh hari setelah teransaksi berlangsung.
Pada penyelesaian ini, kerugian yang dapat dituntut sebagai mana yang dituang dalam pasal 19 ayat (1) terdiri dari kerugian karena kerusakan, pencemaran, dan kerugian lain akibat dari mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Bentuk kerugian dapat berupa :
1) Pengembalian uang seharga Pembelian barang dan/atau jasa;
2) Penggantian barang dan/atau jasa sejenis atau setara nelainya; atau
3) Perawatan kesehatan; atau
4) Pemberian santunan yang sesuai.
Pilihan bentuk penggantian kerugian bergantung pada kerugian yang sungguh-sungguh diderita oleh konsumen, dan sesuai dengan hubungan hukum yang ada di antara mereka.
2. Tuntutan pengantian kerugian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Tuntutan pengantiam kerugian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau sering di sebut dengan BPSK merupakan upaya hukum di luar pengadilan yang dapat ditempuh oleh konsumen yang merasa dirugikan oleh plaku usaha. Hal ini dapat di ketahui berdasarkan rumusan pasal 52 UUPK jo. SK. Memperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 menerangkan bahwa tugas dan wewenang BPSK yaitu
a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, mediasi dan arbitrase;
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen ;
c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. Melaporkan kepada penyidik umum jika terjadi pelanggaran Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK);
e. Menerima pengaduan tertulis maupun tidak dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
g. Memangil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
h. Memangil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang diduga mengetahui pelanggaran Undan-undang Perlindungan Konsumen (UUPK)
i. Meminta bantuan kepada penyidik untuk menghadirkan saksi, saksi ahli, atau setiap orang pada butir g dan butir h yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK);
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k. Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian di pihak konsumen;
l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan ketentuan Undang-udang Perlindungan Konsumen;
m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undan-undang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Berdasarkan point a yang dirumuskan di atas, maka penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK mengunakan 3 cara, yaitu
1. konsiliasi;
2. mediasi ;
3. arbitrase
Seperti halnya penyelesaian sengketa lainnya, di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) mempunyai ketentuan berproses dalam menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha. Adapun ketentuan Berproses di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) antara lain :
a. Permohonan Penyelesaian Sengketa konsumen (PSK)
Permohonan Penyelesaian konsumen (PSK) diatur dalam Pasal 15 sampai Pasal 17 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. yaitu di mana bentuk permohonan Penyelesaian Konsumen (PSK) diajukan secara lisan atau tertulis ke Badan Penyelesaian Konsumen (BPSK) melalui Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) setempat oleh Konsumen. Hal ini apabila konsumen :
1) Meningal dunia;
2) Sakit atau telah usia lanjut (manula);
3) Belum dewasa;
4) Orang asing (warga Negara Asing), maka permohonan diajukan ahli waris atau kuasanya.
Adapun menurut ketentuan pasal 16 dalam SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, menerangkan bahwa isi permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) memuat secara benar dan lengkap berdasarkan :
1) Identitas konsumen, ahli waris atau kuasanya disertai bukti diri;
2) Nama dan alamat pelaku usaha;
3) Barang atau jasa yang diadukan;
4) Bukti perolehan, keterangan tempat, waktu dan tanggal perolehan barang atau jasa yang diadukan;
5) Saksi-saksi yang mengetahui perolehan barang atau jasa, foto-foto barang atau kegiatan pelaksaan jasa, bila ada.
Kemudian Permohonan Penyelesaian Sengketa (PSK) dapat saja ditolak, hal ini dikaranakan :
1) Tidak memuat persyaratan-persyaratan isi permohonan penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) tersebut;
2) Permohonan gugatan bukan kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
b. Susunan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK dan kepaniteraan
Susunan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ganjil, minimal 3 Orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) undang-udang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang salah satu anggota wajib berpendidikan dan berpengetahuan dibidang hukum.
Setiap penyelesaian sengketa konsumen oleh badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) dilakukan oleh Majelis yang dibentuk berdasarkan Keputusan Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan dibantu oleh Panitera.
c. Tata cara persidangan
Pasal 26 ayat (1) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 menentukan bahwa pemanggilan pelaku usaha untuk hadir di persidangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK), dilakukan secara tertulis disetai dengan copy permohonan penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dalam waktu 3 hari kerja sejak permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) diterima secara lengkap dan benar telah memenuhi persyaratan Pasal 16 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001.
Berdasarkan rumusan Pasal 54 ayat (4) jo. Pasal 26 sampai Pasal 36 Surat Keputusan Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, yaitu dimana terdapat 3 (tiga) Tata Cara persidangan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), yaitu :
1. Persidangan dengan cara konsiliasi
Inisiatif salah satu pihak atau para pihak membawa sengketa konsumen ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), ditangani bersikap Pasif dalam persidangan dengan cara konsiliasi. Sebagai pemerantara antara pihak yang berseng keta, Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bertugas (Pasal 28 Surat Keputusan Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001), antra lain :
a) Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang besengketa;
b) Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;
c) Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
d) Menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan perundang-undagan di bidang perlindungan konsumen.
Kemudian di dalam pasal 29 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, merumuskan bahwa didalam Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan cara konsiliasi, mempunyai 2 prinsip, yaitu
1) Proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhmya kepada para pihak, sedangkan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bertindak pasif sebagai konsiliator.
2) Hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
2. Persidangan dengan cara mediasi
Cara mediasi ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, sama halnya dengan cara konsiliasi. Keaktifan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai pemerantara dan penasehat Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan cara Mediasi terlihat dari tugas Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Yaitu :
a) Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
b) Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;
c) Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
d) Secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
e) Secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.
Kemudian di dalam pasal 31 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, merumuskan bahwa di dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan cara mediasi, mempunyai 2 prinsip, yaitu :
1) Proses Penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bertindak aktif sebagai Mediator dengan memberikan nasehat, petunjuk, saran dan upaya upaya lain dalam penyelesaian sengketa.
2) Hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
3. Persidangan dengan cara arbitrase
Pada persidangan dengan cara Arbitrase, para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi. Proses pemilihan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dengan cara arbitrase ditempuh melalui 2 (dua) tahap yaitu [2]:
1) Para pihak memilih arbitor dari anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
2) Arbitor yang dipilih para pihak tersebut kemudian memilih arbitor ketiga dari anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dari unsur pemerintahan sebagai Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Prinsip tata cara Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan cara Arbitrase dilakukan dengan 2 (dua) persidangan yaitu persidangan pertama dan persidangan kedua.
Adapun prinsip tata cara penyelesaian Sengketa Konsumen pada persidangan pertama dalam penyelesaian secara Arbitrase yaitu :
1) Kewajiban Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) memberikan petunjuk tentang upaya hukum bagi kedua belah pihak (Pasal 33 ayat (1) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001);
2) Kewajiban Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk mendamaikan kedua belah pihak (Pasal 34 ayat (1) SK Menperindag Nomor 350/MPP/12/2001) dalam hal tercapai perdamaian, maka hasilnya wajib dibuatkan penetapan perdamaian oleh Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
3) Pencabutan gugatan konsumen dilakukan sebelum pelaku usaha memberikan jawaban yang dituangkan dalam surat pernyataan, disertai Kewajiban Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) mengumumkan pencabutan gugatan tersebut dalam persidangan. ( Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001)
4) Kewajiban Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk memberikan kesempatan yang sama bagi para pihak , yaitu berupa:
a) Kesempatan yang sama untuk memepelajari berkas yang berkaitan dengan persidangan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 33 ayat (2) SK Menperindag Nomor 350/MPP/12/2001)
b) Pembacaan isi gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku usaha, jika tidak tercapai perdamaian (pasal 34 ayat (1) SK Menperindag nomor 350/MPP/Kep/12/2001)
Sedangkan prinsip tata cara penyelesaian Sengketa Konsumen pada persidangan kedua dalam penyelesaian secara Arbitrase yaitu :
1) Kewajiban Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk memberikan kesempatan terakhir sampai persidangan kedua disertai kewajiban para pihak membawa alat bukti yang diperlukan, bila salah satu pihak tidak hadir pada persidangan pertama (pasal 36 ayat (2) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001);
2) Persidangan kedua dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja sejak hari persidangan pertama ;
3) Kewajiban Sekretaris Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk memberitahukan persidangan kedua dengan surat panggilan kepada para pihak;
4) Pengabulan gugatan kosumen, jika pelaku usaha tidak datang pada persidangan kedua(Verstek), sebaliknya gugatan digugurkan jika konsumen yang tidak datang.
d. Alat bukti dan Sistem Pembuktian
Pasal 21 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, alat-alat bukti yang digunakan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), yaitu :
1) Barang dan/atau jasa;
2) Keterangan para pihak;
3) Keterangan saksi dan/atau saksi ahli;
4) Bukti-bukti lain yang mendukung.
Sistem Pembuktian yang digunakan dalam gugatan ganti rugi sebagai mana yang dimaksud Pasal 19, Pasal 22 dan Pasal 23 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), yaitu dengan menggunakan sistem pembuktian terbalik.
Sistem pembuktian terbalik dalam sistem hukum di Indonesia tidaklah bisa dikatakan baru. Subekti mengemukakan bahwa persangkahan undang-undang[3] pada hakikatnya merupakan pembalikan beban pembalikan.
e. Putusan Badan Peyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana diatur dalam pasal 52 huruf I Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) jo. Pasal 3 huruf I SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, gugatan dijatuhkan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak gugatan diterima di Sekretaris Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), di mana hari kerja ini sudah termasuk 10 (sepuluh) hari kerja.
Isi putusan BPSK bersifat Final dan mengikat. Kata ”Final” di situ menurut Penjelasan Pasal 54 ayat (3) Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) bahwa tidak ada upaya hukum banding atau kasasi atas putusan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi atau mediasi dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku usaha, selanjutnya dikuatkan dengan putusan majelis yang ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis. Putusan majelis dalam konsiliasi dan mediasi tidak memuat sanksi administratif. Sedangkan hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase dibuat dengan putusan majelis yang ditandatangai oleh ketua dan anggota majelis. Putusan majelis dalam arbitrase dapat memuat sanksi administratif, putusan majelis disebut putusan BPSK[4].
Proses dikeluarkannya putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dilakukan dengan tahapan, yaitu :
1) Didasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat;
2) Maksimal jika hal itu telah diusahakan (dengan Sunguh-sunguh), ternyata tidak tercapai mufakat, maka putusan dilakukan dengan cara Voting/suara terbanyak.
Amar`putusan Badan Penyelesaian sengketa Konsumen (BPSK) terbatas pada 3 alternatif, yaitu :
1) Perdamaian;
2) Gugatan ditolak;
3) Gugatan dikabulkan.
Jika gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, dapat berupa sebagai berikut ;
1) Ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa. Hal ini dapat berupa :
a) Pengembalian uang;
b) Penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya; atau
c) Perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan
2) Sanksi administrasi berupa penetapan ganti rugi maksimal Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
f. Upaya hukum
Pada penjelasan pasal 54 ayat (3) undang-undang Perlindungan Konsumen bahwa menegaskan kata final itu berarti tidak ada upaya banding dan kasasi. Namun ternyata Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengenal Pengajuan Keberatan Kepada Pengadilan Negeri.
Menurut ketentuan pasal 56 ayat (2) UUPK, para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Hal ini karena di dalam pasal 41 ayat (2) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, menerangkan bahwa konsumen dan pelaku usaha yang bersengeketa wajib menyatakan menerima atau menolak Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Dengan demikian jika para pihak menolak hasil dari putusan, maka sengketa tersebut dapat dibawa ke Pengadilan Negeri.
Menurut peraturan MA no. 01 Tahun 2006 tentang tata cara pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK maka konsumen atau pelaku usaha yang menolak putusan BPSK dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan dengan cara :[5]
1. Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak pelaku usaha/konsumen menerima pemberitahuan putusan BPSK
2. keberatan diajukan melalui kepaniteraan pengadilan negeri sesuai dengan prosedur pendaftaran perkara.
3. keberatan yang dimaksud diajukan dalam 6 rangkap yang identik untuk dikirim oleh panitera kepada pihak yang berkepentingan termasuk BPSK.
Pengajuan keberatan yang diajukan oleh konsumen atau pelaku usaha, kemudian akan di keluarkannya putusan (vonis) oleh pengadilan Negeri dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak sejak diterimanya keberatan. Atas putusan Pengadilan Negeri tersebut, tentunya para pihak baik konsumen atau pelaku usaha yang nantinya keberatan atas putusan (Vonis) yang dikelaurkan oleh Pengadilan Negeri, maka para pihak dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari.
Mahkamah Agung Republik Indonesi wajib mengeluarkan Putusan (Vonis) dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan Kasasi.
g. Eksekusi Putusan
Dalam hal pelaku usaha menerima (menyetujui atau sependapat) diktum (amar, isi) putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), maka ia wajib melaksanakan putusan tersebut dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak menyatakan menerima putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Jika pelaku usaha tidak menggunakan upaya keberatan atau upaya hukum, maka putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) menjadi berkekuatan tetap. Dengan begitu, jika tidak dilaksanakannya putusan tersebut, apalagi setelah diajukan Fiat eksekusi berdasarkan Pasal 57 UUPK, maka tindakan tersebut merupakan tindak pidana di bidang Perlindungan Konsumen.
#besmart consumen
Label:
Hukum
17.33
PPAT Akan Diberi Izin Lakukan Pengukuran Bidang Tanah
Written By CELEBES on Selasa, 15 November 2016 | 17.33
Secara hukum, tak ada hambatan ketika PPAT diberi wewenang melakukan izin ukur. Saat ini, rencana implementasi izin ukur oleh PPAT tinggal tunggu keputusan Menteri ATR/Kepala BPN, Sofyan Djalil.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) berencana memberikan izin kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk melakukan pengukuran bidang tanah. Saat ini, implementasi pelaksanaan kewenangan mengukur oleh para PPAT tinggal menunggu ‘restu’ dari Menteri ATR/ Kepala BPN, Sofyan Djalil apakah nantinya sepakat dengan rencana pemberian sebagian kewenangan mengukur tanah kepada PPAT.
Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN, M Noor Marzuki mengatakan bahwa pihaknya sangat kekurangan petugas ukur. Saat ini, total petugas ukur yang dimiliki oleh BPN hanya terdapat sekitar 2.000 petugas di seluruh Indonesia. Jumlah itu tentu tidak sebanding dengan permohonan pengukuran bidang tanah oleh masyarakat yang diterima setiap hari oleh pihak BPN. Makanya, rencana agar PPAT juga diberi wewenang mengukur bidang tanah akan segera disampaikan kepada Menteri ATR/BPN.
“Ini akan segera diusulkan kepada menteri,” ujarnya saat memberikan sambutan dalam acara “Pendidikan dan Pelatihan dalam Rangka Mempersiapkan PPAT yang Berkualitas dan Berintegritas” yang digelar PP IPPAT di Puri Ratna, Sahid - Jakarta, Jumat (20/8).
Andaikata wacana itu ‘diamini’ oleh Menteri ATR/BPN, nantinya pihak BPN praktis hanya akan menjadi regulator sekaligus pengawas berkenaan dengan pengukuran tanah, meskipun tak sepenuhnya melepaskan sepenuhnya kewenangan mengukur kepada pihak lain. Rencananya, pihak BPN hanya akan melakukan semacam validasi atau verifikasi atas hasil pengukuran yang dilakukan oleh PPAT.
Lebih lanjut, ia berharap agar rencana pemberian wewenang kepada PPAT bisa segera diimplementasikan. Sebab, permohonan pengukuran tanah yang masuk ke BPN kian ‘membanjir’ dimana hal itu akan berdampak merugikan masyarakat apabila tidak segera ditindaklanjuti penyelesaiannya. Intinya, ia mendorong agar PPAT bisa segara melengkapi wewenangannya dibidang pertanahan berkenaan dengan pendaftaran tanah.
“Teknisnya tinggal berikan kaidah, pedoman atau guidance buat mereka akan menjadi juru ukur,” kata Noor. (Baca juga: Dilema Notaris Jalankan Mandat UU Pengampunan Pajak)
Di tempat yang sama, Direktur Pengaturan dan Pendaftaran Hak Tanah, Ruang, dan PPAT pada Direktorat Jenderal Hubungan Hukum Keagrariaan Kementerian ATR/BPN, Muhammad Hikmad sependapat dengan Noor berkaitan dengan pemberian wewenang kepada PPAT untuk mengukur bidang tanah. Pasalnya, memang tak bisa dipungkiri bahwa BPN kewalahan memenuhi permintaan dari masyarakat terkait permohonan pengukuran tanah.
“Ini tujuannya untuk memudahkan pelayanan. Bayangkan kalau satu kantor pertanahanan itu permohonan pengukuran mencapai 200-300 permohonan. Sementara tenaga yang ada dalam setiap kantor rata-rata hanya 10 orang. Jadi setiap hari kami harus menunggak sekitar 290-an permohonan,” ujar Hikmad.
Sebetulnya, kata Hikmad, secara hukum PPAT telah memiliki wewenang mengukur bidang tanah. Sebab, ruang lingkup pekerjaan PPAT berkaitan dengan pemeliharaan data dan pendaftaran tanah. Dan mesti dipahami, kegiatan Pendaftaran Tanah meliputi dua kegiatan utama, yakni pendaftaran tanah untuk pertama kali dan satu hal lagi adalah pemeliharaan data pendaftaran tanah. Artinya, lingkup pekerjaan notaris termasuk dalam kegiatan pendaftaran tanah secara umum.
Pasal 6 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan bahwa “Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”.
“Itu sudah meliputi pengukuran dan pemetaan, secara genaralis sudah terakomodir. Permasalahan yang ada adalah kekurangan tenaga ukur. Bisa saja nanti membantu kita untuk pengadaan tenaga ukur. Saat ini sudah terbuka peluang (bagi PPAT,- red), silahkan,” kata Hikmad.
Terlepas dari hal itu, ia berpendapat yang terpenting adalah mengenai tanggungjawab hukum apabila hasil ukur yang dilakukan oleh PPAT ternyata memunculkan potensi sengketa atau gugatan di bidang pertanahan. Menurutnya, penting juga dipikirkan mengenai pengawasan terhadap kendali mutu atas hasil ukur yang dilakukan. Baginya, BPN lah yang tetap berwenang memegang kendali mutu tersebut. patut dicatat, Penjelasan Umum PP Nomor 24 Tahun 1997 tegas menyatakan bahwa akta PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah.
“Ini harus segera diambil dan dicari jalan keluarnya. Harapan kami agar ini bisa berjalan tertib,” katanya. (Baca Juga: Sebuah Diskursus Wajib Lapor Profesi Penjaga Gawang)
Dimintai tanggapannya, Ketua Umum PP IPPAT, Syafran Sofyan sangat mengapresiasi rencana pemberian kewenangan kepada PPAT untuk mengukur bidang tanah. Ia meyakini belasan ribu anggota IPPAT akan menyambut baik rencana tersebut. sebagaimana disebutkan Hikmad, ruang lingkup kerja PPAT terkait pendaftaran tanah tercakup juga di dalamnya wewenang melakukan pengukuran tanah. Artinya secara hukum tak perlu ada perubahan atau revisi aturan.
“IPPAT sangat menyetujui jika diberi wewenang untuk jadi juru ukur,” kata Syafran.
Hanya saja, Syafran menilai akan lebih baik lagi bila dibentuk semacam aturan tambahan apakah itu berbentuk Peraturan Menteri atau hanya sebatas petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) mengenai teknis pekerjaan PPAT berkenaan pengukuran tanah. Tujuannya, agar PPAT memiliki pedoman teknis saat berpraktek di lapangan.
“Tapi kalau mau diimplementasikan lagi boleh saja dibentuk Permen,” ujarSyafran.
Kemungkinan Bentuk Firma PPAT
Dikatakan Noor, jika rencana pemberian kewenangan ini terealisasi, ia mendorong agar PPAT membentuk “firma PPAT” yang di dalamnya berisi orang-orang yang ahli di bidang pertanahan, termasuk ahli ukur bidang tanah. Salah satu tujuannya, agar tumpukan permohonan pengukuran tanah yang masuk ke BPN bisa terkikis akibat ‘dibantu’ oleh pihak yang memang ahli di bidang tanah.
“Wacana ini juga akan dikomunikasikan dengan ahli,” kata Noor. (Baca juga: Cerita Strategi ’Makelar Mobil’ Memergoki Hakim Nakal)
Mengenai rencana itu, Syafran berpendapat wacana tersebut mungkin bisa saja diimplementasikan. Hanya saja, mesti dikaji dahulu apakah secara aturan hal tersebut dimungkinkan dilakukan. Argumentasi Syafran, masuk pada larangan-larangan rangkap jabatan yang dilarang bagi PPAT. Apakah tindakan hukum membentuk firma dengan para ahli tanah termasuk bentuk larangan jabatan, mestinya dikaji terlebih dahulu.
“Itu harus kita liat lagi, kan ada larangan PPAT antara lain rangkap jabatan. Sepanjang itu tidak merangkap, saya kira tidak ada masalah,” kata Syafran.
Sebetulnya, secara teknis tentu akan memudahkan pekerjaan PPAT. Anggaplah PPAT yang menyusun akta sementara yang melakukan pengkuran adalah ahli ukur yang bekerja dalam firma yang sama. Namun, Syafran berharap lisensi pengukuran tetap berada pada PPAT. sedangkan, ahli ukur hanya sebatas mendapat kuasa mengukur tanah dari PPAT.
“Kami tetap ingin kuasanya melalui PPAT. Sama halnya dengan pendaftaran tanah di kantor pertanahan, kita (PPAT) kan memberi kuasa kepada karyawan. Pengukuran juga sama nanti,” ujarnya.
Sumber : Hukum Online
Label:
Hukum
04.14
HAK TANGGUNGAN
Written By CELEBES on Kamis, 13 Oktober 2016 | 04.14
HAK
TANGGUNGAN ATAS TANAH
Setelah menunggu
selama 34 tahun sejak UUPA no, 5 tahun 1960 tentang peraturan pokok
agraria menjanjikan adanya undang-undang tentang hak tanggungan ,
padatanggal 9 april 1996, lahirlah UU No 4 tahun 1996 tentng hak tanggungan
atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Kehadiran lembaga
hak tanggungan ini dimaksudkan sebagai pengganti dari hipotek sebagaiman yang
diatur dalam KUHPERDATA buku ke 3 sepanjang mengenai tanah dan credietverband
yang diatur dalam staasblad 1908-542 sebagaiman telh diubah dgn sttatsblad
1937-190 yang berasarkan pasal 51 UUPA no 5 tahun1960 masih diberalkuakn
sementara sampai dengan terbentuknya undang-undang hak tanggungan tsb.
Defini hak tanggungan
Dalam pasal 1 ayat 1
UUHT dinyatkan hak tanggungan adalah hak jaminan yang di di bebankan padaa hak
atas tanah sebagaiman dimaksud dlam UUPA , brikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunas
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor
tertentu terhadap kerditor-kreditor lain.
Unsur-unsur pokok dari
hak tanggungan, sebagai berikut :
1. Hak tanggungan adalah hak jaminan untuk
melunasi utang
2. Objek hak tangungan adalah hak atas tanah
sesuai UUPA
3. Hak tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya
saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah.
4. Utang yang dijaminkan adalah suatu utang
tertentu
5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepda
kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
ASAS-ASA HAK
TANGGUNGAN
Tujuan mempelajari
asas hak tanggungan adalah untuk membedakan nya dengan hak-hak
tanggungan yang telah ada sebelum terbitnya UU hak tanggungan yang baru inin,
termasuk hipotek yang ada sebelumnya. Untuk lebih jelanya, asas-asas tersebut
akan diuraiakn sebagai berikut.
1. Hak tanggungan memberi kedudukan hak yang
diutamakan
Mencermati hak
tanggungan yang terdapat padapasal 1 UU No 4 tahun 1996, dapat disimpulkan
bahwa hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakn kepda kreditor
tertentu terhadap kreitor-kreditor lain.
Menelaah dengan seksam
terhadap kalimat “ kedudukan yang diutamakn kepada kreditor tertentu sperti
kreditor lain” tidak dijumpai dalam ketntuan pasal 1 maupun
penjelasannya, namun kalimat kalimat tersebut dapat diketemuakn dalam penjelan
umum undng-undang hak tanggungan dinytakan bahwa” jika debitur cedera janji,
kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelngan umum tanah
yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undngan yang
bersangkutan dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lain. Kedudukan
diutamakn tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang
negara menurut ketentuan hukum yang berlaku.”
Selain dari penjelsan
umum UUHT ditemuakn pengertian mengenai kalimat kedudukan yang
diutamakn terhadap kreditor lain, juga dapa ditemukan dalam pasal 20 ayat 1
UUHT dasar hukumnya UU no 9 tahun 1994 tentang perubahn UU no 6 tahun1983
tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
2. Hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi
Hak tanggungan
memiliki sifat yang tidak dapat dibagi-bagi’ hal ini sesuai ketentuan pasal 2
UU No 4 tahun 1996, dinyatakn bahwa ;
“ hak tanggungan
mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalm akta
pemberian hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Apabila hak
tanggungan dibebankan pada beberapa hak ats tanah, dpat diperjanjikan dalam
akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang
dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai
masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek hak tanggungan,
yang akan dibebaskan dari hak tanggungan tersebut, sehingga kemudian hak
tanggungan itu hanya memberi sisa objek hak tanggungan untuk menjamin sisa
utang yang belum dilunasi.
3. Hak tanggungan hanya dibeban kan pada hak atas
tanah yang telah ada
Secara yuridis formal
asas yang menyatakan bahwa hak tanggungn hanya dibebankan pada hak atas tanah ,
ada diatur dalam pasal 8 ayat 2 dinyatakn bahwa kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan harus ada pada pemberi hak
tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan.
4. Hak tanggungan dapat dibebankan selain atas
tanahnya juga benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut
Dalam kenyataanya hak
tanggungan dapat dibebankan bukan saj pada tanahnya, tetapi juga segala benda
yang mempunyai keterkaitan dengan tanah tersebut. Hal ini sesuai
dengan ketentuan pasal 4 ayat 4 UUNo 4 tahun 1996
5. Hak tanggungan dapat dibebankan juga atas
benda benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada dikemudian hari
Ternyata dalam pasal 4
ayat 4 memungkinkan hak tanggungan dapat dibebankan pula atas benda-benda yang
berkaitan dengan tanah tersebut, sekalipun benda-benda tersebut
belum ada, tetapi baru akan ada dikemudian hari. Lebih jauh St. Remy sjahdeini
mengatakan bahwa dalam pengertian “ yang baru akan ada” ialah benda-benda yang
pada saat hak tanggungan dibebankan belum ada sebagai bagian dari tanah( hak
atas tanah) yang dibebani hak tanggungan tersebut. Misalnya karna
benda-benda tersebut baru ditanam atu baru dibangun kemudian setelah hak
tanggungan itu dibebankan atas tanah tersebut.
6. Perjanjian hak tanggungan adalah perjnjian
accessoir
Perjanjian hak
tanggungan bukanlah merupakan perjanjian yang berdiri sendiri tetpi mengikuti
perjanjian yang terjadi sebelumnya yang disebut perjanjain induk. Perjanjian
induk terdapat pada hak tanggungan adalah perjanjian utang-piutang yang
menimbulkan utang yang dijamin. Perjanjian yang mengikuti perjanjian induk ini
dalam terminilogi hukum belanda disebut perjanjian accessoir. Penjelasan
mengenai accessoir dijelaskan dalam poin 8 penjelsan UU
no 4 tahun 1996 dan pasal 10 ayat 1 UU no 4 taun 1996.
7. Hak tanggungan dapat dijadiakn jaminan untuk
utang yang akan ada
Salah satu
keistimewaan dari hak tanggungan adalah diperbolehkannya menjaminkan utang yang
akan ada. Hal ini sesuia dengan ketentuan pasal 3 ayat 1 UNDANG-UNDANG HAK
TANGGUNGAN.
8. Hak tanggungan dapat menjamin lebih dari satu
utang
Kelebihan dari hak
tanggungan adalah berlakunya asas bahwa hak tanggungan dapat menjamin lebih
dari satu utang. Hal ini sesuain dengan ketentuan dalam pasal 3 ayat 2,
dinyatakan bahwa;
“ hak tanggungan dapat
diberiakan untuk suatu utang yang berasal dari dari satu hubungan
hukum atau untuk satu utang atau lebih yang bersal dari bebrapa hubungan
hukum”.
9. Hak tanggungan mengikuti objeknya dalam tangan
siapa pun objek hak tanggungan itu berada
Asas hak tanggungan
memiliki berbagai kelebihan karena undng-undang memberiakn
perioritas terhadap pemegang hak tanggungan dibandingan dengan
pemegang hak-hak lainnya. Salah satu asas selain asas yang telah diuraikan di
atas adalah asas hak tanggungan mengikuti objek dimanapun objek itu berada. Hal
ini sesuai dengan ketentuan pasal 7 UU no 4 tahun 1996 dinyatakan bahwa hak tanggungan
tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada.
10. Di atas hak tanggungan tidak dapat
diletakkan sita oleh peradilan
Alasan kehadiran asas
hak tanggungan tidak dapat diletakkan sita oleh peradilan merupakan respons
terhadap seringnya peradilan meletakkan sita terhadap hak atas tanah yang
diatasnya diletakkan hipotek.
11. Hak tanggungan hanya dapat dibebankan atas
tanah tertentu
Asas yang berlaku
terhadap hak tanggungan yang hanya dapat dibebankan hanya untuk ata tanah tertentu,
diilhami oleh asa yang juga berlaku didalam hipotek yaitu pasal 1174
KUHPERDATA. Sementara itu asa ini diatur dalam pasal 8 dan 11 huruf c UU no 4
tahun 1996 dan penjelasannya dalam pasal 8 ayat 2.
12. Hak tanggungan waji didaftarkan
Dalam kaitannya dengan
asa hak tanggungan wajib didaftarkan , hal ini sesui dengan ketentuan pasal 13
UU No 4 tahun 1996
13. Hak tanggungan dapat diberikan dengan disertai
janji-janji tertentu
Asas hak tanggungan
ini diatur dalam pasal 11 ayat 2 UU No 4 tahun 1996, menurut St Remy Sjahdeini
janji-janji yang di sebutakn dalam pasal tersebut besifat fakulatif dan
limitatif , bersifat fakulatif karena janji-janji itu boleh dicantumkan atau
tidak dicantumakan, baik seluruhnya maupun sebagiannya. Besifat tidak liniatif
karen dapat diperjanjikan janji-jani lain, selin dari janji-jani yang telah
disebutkan dalam pasal 11 ayat 2.
14. Hak tanggungan tidak boleh diperjanjiakn untuk
dimiliki sendiri oleh pemegang hak tanggungan apabila cedera janji
Asas ini sebenarnya
beralasan dari asas yang tercantum dalam hipotek sesuai dengan pasal 1178 KUH
PERDATA, yang janji demikian tersebut disebut Vervalbeding. Asas ini juga
diatur dalam pasal 12 UU No 4 tahun1996 dinyatakan bahwa, janji yang memberikan
kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk memiliki objek hak tanggungan
apa bila debitur cedera janji, batal demi hukum.
15. Pelaksanaan eksekusi hak tanggungan mudah dan
pasti
Pencantuman asa hak
tanggungan ini berkaitan dengan mencegah terjadinya cedera janji yang dilakuakn
pemegang hak tanggungan. Oleh karena itu, apabila terjadi cedera janji ,
pemegang hak tanggungan pertama mendapatakn preoritas pertama menjual objek hak
tanggungan. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 6 UUHT, dengan mengacu pada
pasal tersebut apa bial debitur cedera janji maka dapat dimintakan pelaksaan
eksekusi.
Sertifikat hak
tanggungan yang merupakan tanda bukti adanya hak tanggungan yang diberikan oleh
kantor pertahanan dan yang memuat irah-irah dengan kata-kata” DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHAN YANG MHA ESA” , mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
SURAT KUASA
MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN
Penentu pembebenan hak
tanggungan harus dilakukan dengan perantara kuasa yang akta autentik,
sebagaiman penjabaran yang sebelumnya terdapat dalam pasal 1171 KUH Perdata
ayat 2 yang pada prinsipnya untuk memasang hipotek harus dibuat dengan akta
autentik. Yang dimaksud dengan akta autentik adalah akta yang dibuat oleh
notaris. Sementara itu, khusus surat kuasa pembebanan hak tanggugan
diatur dalam pasal 15 ayat 1 dinyatakn bahwa:
“surat kuasa
pembebanan hak tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris ata akta PPAT dan
memenuhi persyaratan sebgai berikut ;
a. Tideak memuat kuasa untuk melakuakn perbuatn
hukum lain daripada membebankan hak tanggungan
b. Tidak memuat hak subsitusi.
c. Mencantumkan secara jelas objek hak
tanggungan, jumlah utang dengan nama serta identitas kreditornya, nama dan
identitas debitor apa bila debitor bukan pemberi hak tanggungan.”
PERINGATAN HAK
TANGGUNGAN
Hak tanggungan
memeliki eringatan sesuai dengan waktu pendaftarannya. Hak tanggungan tersebut
didaftar di kantor pertanahan. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 5 UUHT no 4
tahun 1996 dinyatakan bahwa:
“ suatu objek
tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu hak tanggungan guna menjamin
pelunasan lebih dari satu utang. Apabila suatu objek hak tanggungan
dibebani dengn lebih dari satu hak tanggungan, peringatan
masing-masing hak tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftaranya pada
kantor pertahanan. Peringatan hak tanggungan yang didaftarkan pada tanggal yang
sama ditentukan menurut tanggal pembuatan akta pemberian hak tanggungan yang
bersangkutan ( pasal 1 2 dan 3 ).
BERAHLIHNYA HAK
TANGGUNGAN
Hal ini sesuai dengan
pasal 16 UUHT no 4 tahun 1996 dinyatakan sebagai berikut:
Ayat 1: jika piutang
yang dijamin dengan hak tanggungan beralih karena cessie ,subrogasi, pewarisan,
atau sebab-sebab lain, hak tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada
kreditor yang baru.
Ayat 2: berahlinya hak
tanggungan wajib didaftarkan oleh kreditor yang baru kepada kantor
pertanagihan.
Ayat 3: pendaftaran
berahlinya hak tanggungan dilakuakn oleh kantor pertanahan dengn mencatatnya
pada buku tanah hak tangggungan dan buku tanah atas tanah yang menjadi objek
hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak tanggungan
dan sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
Ayat 4: tanggal
pencatatn pada buku tanah adalh tanggal hari ke 7 setelh diterimanya secara
lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran beralihnya hak tanggungan
dan jika hari ketujuh itu jatuh tempo pada hari libur, catatan itu diberi
bertanggal hari kerja berikutnya.
Ayat 5: berahlihnya
hak tanggungan mulai berlaku bagi pihak ketiga pada hari tanggal pencatatan.
PEMBERIAN,
PENDAFTARAN, DAN PENCORETAN HAK TANGGUNGAN
1. Tata cara pemberian dan pendaftaran hak
tanggungan
Tata cara pemberian
dan pendaftaran hak tanggungan, diatur dalam pasal 17 UUHT no 4 tahun1996
dinyatakan bahwa:
“ bentuk dan isi akta
pemberian hak tanggungan, bentuk dan isi buku tanah hak yang berkaitan dengan
cara pemberian dan pendaftarn hak tanggungan ditetapkan dan diselenggarakan
berdasarkan peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 19
Undang-undang no 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pkok agraria”.
Tatacara ini diatur
dalam pasal 10 UUHT N0 4 tahun 1996 yakni
1. Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan
janji untukmemberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu,
yangdituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari
perjanjianutang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang
menimbulkan utangtersebut.
2. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan
pembuatan AktaPemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan
perundang-undanganyang berlaku.
3. Apabila obyek Hak Tanggungan berupa hak atas
tanah yangberasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkanakan
tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan
dilakukanbersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang
bersangkutan.
2. Tata cara pendaftaran hak tanggungan
Diatur dalam pasal 13
ayat 1 mengenai pemberian hak tanggungan yaitu wajib didaftarkan pada kantor
pertanahan.kemudian dipasal 11 dijelaskan bagaimana caranya pendaftaran hak
tanggungan itu dilakukan.
Menurut St Remy
Sjahdeini tata cara pelaksanaan adalah sebagai berikut.
a. Setelah penadatanganan akta pemberian hak
tanggungan yang dibuat oleh PPAT dilakukan oleh para pihak, PPAT mengirimkan
akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan
oleh kantor pertanahan. Pengiriman tersebut wajib dilakukan oleh PPAT yang bersangkutan
selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah penadatanganan akta pemberian hak
tanggungan.
b. Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh
kantor pertanahan dengan membuatkan buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya
dalam buku tanah hak ats tanah yang menjadi objek hak tanggungan serta menyalin
catatan tersebut pada serifikat hak ats tanah yang bersangkutan.
c. Tanggal buku tanah hak tanggungan adalh
tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang
diperlukan bagi pendaftaranya dan jika hari ketujuh jatuh pada hari libur, buku
tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya.
3. Tatacara pencoretan hak tanggungan
Suatu hak tanggungan
dapat dilakukan pencoretan pabila tanah yang dijadikan objek hak tanggungan
telah dihapus. Namun demikian, dalam kaitannya dengan pencoretan hak
tanggungan, hal ini sesuai dengn pasal 22 ayat 1 UUHT. Dan sebelum dilakukan
pencoretan harus didahului dengan mengajukan permohonan oleh para pihak kepada
kantor pertanahan, yang diatur dalam pasal 22 ayat 4 UUHT. Berkaitan dengan
ketentuan pasal 22 ayat 4 bagaimana kalau pihak yang berkepentingan tidak mau
melakuakan pencoretan terhadap hak tanggungan, permasalahan ini diatur dalam
pasal 22 ayat 5,6 dan 7 UUHT No 4 tahun 1996.
HAPUSNYA HAK
TANGGUNGAN
Hak tanggungan akan
mengalami suatu prose berakhir, yang sam dengan hak-hak atas tanah yang
lainnyan. Ketentuan hapusnya hak tanggungan diatur dalam pasal 18 UUHTNo 4
tahun 1996 yang dinyatakan bahwa:
1. “ hak tanggungan hapus karena hal-hal sebagai
berikut:
a. Hapusnya hutang yang dijamin dengan hak
tanggungan
b. Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak
tanggungan
c. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan
penetapan peringatan oleh ketua pengadilan negeri
d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak
tanggungan
2. Hapusnya hak tanggungan karena dilepaskan oleh
pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai
dilepaskannya hak tanggungan tersebut oleh pemegang hak tanggungan kepada
pemberi hak tanggungan.
3. Hapusnya hak tanggungan karena pembersihan hak
tanggungan berdasarkan penetapan peringat oleh ketua pengadilan negeri terjadi
karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebankan hak tanggungan
tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban hak
tanggungan.
4. Hapusnya hak tanggungan karena hapusnya hak
atas tanah yang dibebani hak tanggungan tidak menyebabkan hapusnya hutang yang
dijamin.
HARTA KEPAILITAN DAN
EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
Suatu masalah yang
sering kali timbul adalah posis pemegang hak tanggungan akibat pemberi hak
tanggungan mengalami pailit. Masalah ini telah diatur dalam pasal 21 UUHT yang
menyatakan bahwa apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, pemegang hak
tnggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperbolehkannya menurut
ketentuan undang-undang ini.
Daftar pustaka
Supriadi, S.H.,
M.Hum.(2010). Hukum Agraria. Jakarta : Sinar Grafika.
Label:
Hukum