photo BANNERLPKSM_zps120bacdb.jpg
Home » » ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM STANDARD KONTRAK

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM STANDARD KONTRAK

Written By CELEBES on Senin, 18 Maret 2013 | 07.29


ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK 
DALAM STANDARD KONTRAK (PERJANJIAN BAKU) 
DALAM BIDANG BISNIS DAN 
PERDAGANGAN


PERJANJIAN adalah suatu persetujuan yang terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUHPerdata). Perjanjian yang dimaksud diatas adalah pengertian perjanjian yang masih dalam arti yang masih sangat luas, karena pengertian tersebut hanya mengenai perjanjian sepihak dan tidak menyangkut mengikatnya kedua belah pihak.
Perjanjian hendaknya menyebutkan bahwa kedua belah pihak harus saling mengikat, sehingga timbul suatu hubungan hukum diantara para pihak. Perjanjian yang di buat oleh para pihak berlaku sebagi Undang-Undang bila terjadi pelanggaran isi perjanjian. Pada hal perjanjian, KUHPdt hanya bersifat sebagai pelengkap dan bukan sebagai hukum yang utama.
KONTRAK adalah bagian dari bentuk suatu perjanjian. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa pengertian perjanjian yang termuat dalam Pasal 1313 KHUPdt adalah sangat luas, maka kontrak dapat menjadi bagian dari suatu perjanjian. Akan tetapi yang membedakan kontrak dengan perjanjian adalah sifatnya dan bentuknya. Kontrak lebih besifat untuk bisnis dan bentuknya perjanjian tertulis. 
Kontrak memiliki suatu hubungan hukum oleh para pihak yang saling mengikat, maksudnya adalah antara pihak yang satu dan dengan yang lainnya saling mengikatkan dirinya dalam kontrak tersebut, pihak yang satu dapat menuntut sesuatu kepada pihak yang lain, dan pihak yang dituntut berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat-syarat sah yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPdt yaitu:

a. Kesepakatan atau persetujuan Para Pihak ;
Sepakat yang dimaksudkan bahwa subyek yang mengadakan perjanjian harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjia yang diadakan. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain, jadi mereka menghendaki sesuatu secara timbal balik.

b. Kecakapan Para Pihak dalam membuat suatu Perjanjian ;
Orang yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikiranya adalah cakap menurut hukum. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata yang dimaksudkan cakap menurut hukum adalah mereka yang telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun tetapi telah kawin atau pernah menikah.

c. Suatu hal tertentu ;
Suatu hal tertentu maksudnya adalah sudah ditentukan macam atau jenis benda atau barang dalam perjanjian itu. Mengenai barang itu sudah ada atau sudah berada ditangan pihak yang berkepentingan pada waktu perjanjian dibuat tidak diharuskan oleh undang-undang dan juga mengenai jumlah tidak perlu untuk disebutkan.

d. Suatu causa atau sebab yang halal ;
Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Sebab yang tidak halal adalah berlawanan dengan Undang-undang, kesusilaan ketertiban umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata.

Syarat-syarat dalam suatu perjanjian dibagi dalam dua (2) kelompok, yaitu :

1. Syarat subyektif ;

Syarat subyektif adalah syarat yang menyangkut pada subyek-subyek perjanjian itu, atau dengan perkataan lain syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian, yang meliputi :

a) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya,
b) Kecakapan pihak yang membuat perjanjian.

2. Syarat obyektif ;

Syarat obyektif adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian itu sendiri, yang meliputi :
a) Suatu hal tertentu,
b) Suatu causa atau sebab yang halal.

Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap. Jadi perjanjian yang telah dibuat akan tetap mengikat para pihak selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. 

Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum atau batal dengan sendirinya, artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian.

Dengan demikian apabila dalam pembuatan perjanjian, salah satu syarat sahnya perjanjian tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut belum bisa dikatakan sah, syarat-syarat tersebut pun berlaku dalam pembuatan suatu kontrak. Dalam pembuatan suatu perjanjian atau kontrak dikenal salah satu asas, yaitu asas kebebasan berkontrak.

Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang memberikan suatu pemahaman bahwa setiap orang dapat melakukan suatu kontrak dengan siapa pun dan untuk hal apapun. Pasal 1338 ayat 1 memberikan dasar bagi para pihak akan adanya asas kebebasan berkontrak.

Asas kebebasan berkontrak bukan berarti menghalalkan bagi para pihak untuk mengingkari kontrak yang telah terlebih dahulu terjadi, maksudnya adalah para pihak dapat bebas mengadakan kontrak berdasarkan yang diperlukan.
Dalam hal ini penulis mencoba untuk membahas tentang hal-hal yang menyangkut tentang asas kebebasan berkontrak dalam kontrak standart.

1.       Hukum Perjanjian pada umumnya
Perjanjian berdasarkan definisi yang diberikan dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. R. Subekti menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu dari peristiwa ini timbul hubungan perikatan.
Menurut pendapat Abdul Kadir Mohammad bahwa Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melakukan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan[2]

Menurut Sudikno Mertokusumo “Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum”, dengan demikian kedua belah pihak sepakat untuk menentukan peraturan atau kaedah, atau hak dan kewajiban yang mengikat mereka untuk ditaati dan di jalankan. 

Kesepakatan itu adalah untuk menimbulkan akibat hukum, menimbulkan hak dan kewajiban dan apabila kesepakatan itu di langgar maka akan ada akibat hukum, si pelanggar dapat dikenakan akibat hukum atau sanksi.

Berdasarkan rumusan pengertian perjanjian yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan maka perjanjian itu terdiri dari :

a. Ada pihak-pihak ;
Sedikitnya dua orang atau lebih, pihak ini disebut subyek perjanjian, dapat manusia atau badan hukum dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan oleh Undang-undang.

b. Ada persetujuan antara pihak-pihak ;
Persetujuan antara pihak-pihak tersebut sifatnya tetap bukanmerupakan suatu perundingan. Dalam perundingan umumnya dibicarakan mengenai syarat-syarat dan obyek perjanjian maka timbulah persetujuan.

c. Ada prestasi yang akan di laksanakan ;
Prestasi merupakan kewajiban yang harus di penuhi oleh pihak sesuai dengan syarat – syarat perjanjian, misalnya pembeli berkewajiban untuk membayar harga barang dan penjual berkewajiban untuk menyerahkan barang.

d. Ada bentuk tertentu lisan atau tulisan ;
Perlunya bentuk tertentu karena ada ketentuan dalam Undang-undang yang menyebutkan bahwa dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat.
e. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian ;
Dari syarat-syarat tertentu dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak. Syarat-syarat ini terdiri dari syarat pokok yang menimbulkan hak dan kewajiban pokok.

f. Ada tujuan yang hendak dicapai ;
Tujuan yang hendak di capai dalam perjanjian adalah isi dari perjanjian itu sendiri dalam menentukan isi perjanjian meskipun didasarkan atas kebebasan berkontrak akan tetapi tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak di larang oleh Undang-undang.

1.      Asas Kebebasan Berkontrak
Yang dimaksud dengan kebebasan berkontrak adalah adanya kebebasan seluas-luasnya yang oleh Undangundang di berikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum. (Pasal 1338 Jo 1337 KUH Perdata).

Kebebasan berkontrak adalah asas yang esensial, baik bagi individu dalam mengembangkan diri baik di dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan social kemasyarakatan, sehingga beberapa pakar menegaskan kebebasan berkontrak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus di hormati.

Negara-negara yang mempunyai sistem hukum Common Law mengenal kebebasan berkontrak dengan istilah Freedom of Contract atau laisseiz faire. Yang dirumuskan oleh Jessel M.R. dalam kasus “Printing and Numerical Registering Co. Vs. Samson”; “…… men of full age understanding shall have the utmost  liberty of contracting, and that contracts which are freely and voluntarily entered into shall be held and onforce by the courts…… you are not lightly to interfere with this freedom of contract”.
  
1.      Perjanjian standart / baku
Didalam kepustakaan hukum Inggris untuk istilah perjanjian baku digunakan istilahstandarized agreement atau standarized contract. Sedangkan kepustakaan Belanda menggunakan istilah standaarized voorwaarden, standard contract. Mariam Badrulzaman menggunakan istilah perjanjian baku, baku berarti ukuran, acuan. Jika bahasa hukum di bakukan berarti bahasa hukum itu ditentukan ukuranya, standarnya, sehingga memiliki arti tetap, yang dapat menjadi pegangan
umum.

Sutan Remy Sjahdeni merumuskan perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausula – klausulanya sudah di bakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. 

Menurut Hondius Dalam Purwahid Patrik menyatakan bahwa syarat-syarat baku dalam perjanjian adalah syarat-syarat konsep tertulis yang di muat dalam beberapa perjanjian yang masih akan di buat, yang jumlahnya tidak tertentu tanpa merundingkan terlebih dahulu isinya.

Syarat baku yang disebutkan umumnya juga dinyatakan sebagai perjanjian baku. Jadi pada asasnya isi perjanjian yang di bakukan adalah tetap dan tidak dapat diadakan perundingan lagi.
Yang mendasari berlakunya Perjanjian baku adalah  asas – asas hukum perjanjian yang di atur dalam Pasal 1338 KUH Perdata ada tiga (3) yaitu ;

a. Asas Konsensualisme;
Bahwa, perjanjian yang di buat umumnya bekan secara formal tetapi konsensual, artinya perjanjian itu selesai karena persetujuan kehendak atau konsensus semata-mata.

b. Asas Kekuatan Mengikatnya Perjanjian;
Bahwa, pihak-pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan, sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata, bahwa perjanjian berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak.

c. Asas Kebebasan Berkontrak;
Bahwa orang bebas, membuat atau tidak membuat perjanjian , bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas  memilih undang-undang mana yang akan di pakai untuk perjanjian itu.

Dari ketiga asas tersebut di atas yang paling penting adalah asas kebebasan berkontrak, yang dalam bahasa asing disebut dengan contract vrijheid, contracteer vrijheid atau partij autonomie, freedom of contract. Sesuai dengan pernyataan Asser-Rutten : “Asas kebebasan berkontrak tidak ditulis dengan kata-kata yang banyak di dalam Undang-undang tetapi seluruh hukum perdata
kita didasarkan padanya.

1.      Bentuk dan isi Perjanjian
Pada umumnya suatu perjanjian tidak terikat kepada bentukbentuk tertentu. Para pihak dapat dengan bebas menentukan bentuk perjanjian yang diinginkan sesuai dengan asas kebebasan berkontrak. Bentuk yang dapat dipilih oleh para pihak adalah :
a. Perjanjian dalam bentuk lisan ;
b. Perjanjian dalam bentuk tertulis ;

Perjanjian dalam bentuk tertulis lebih sering dipilih sebab memiliki kekuatan pembuktian yang lebih kuat dari pada bentuk lisan apabila terjadi perselisihan. Untuk perjanjian jenis tertentu, Undang-undang mengharuskan bentuk-bentuk tertentu yang apabila tidak dipenuhi maka akan mengakibatkan batalnya perjanjian tersebut.

Dalam hal ini, bentuk tertulis tidak hanya berfungsi sebagai alat pembuktian saja, namun juga merupakan syarat untuk danya (bestaanwaarde) perjanjian itu.
Misalnya dalam Pasal 38 KUHD ditentukan bahwa perjanjian untuk mendirikan Perseroan Terbatas harus dengan Akta Notaris.

Isi perjanjian merupakan ketentuan-ketentuan dan syaratsyarat yang telah diperjanjikan oleh para pihak. Ketentuanketentuan dan syarat-syarat tersebut berisi hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak, dan dalam pembuatanya tercermin asas kebebasan berkontrak. Secara garis besar, syarat-syarat dalam perjanjian dapat dikelompokan sebagai berikut :

1. Syarat yang tegas,
Syarat yang tegas adalah syarat-syarat yang secara khusus disebutkan dan disetujui oleh para pihak pada waktu membuat suatu perjanjian baik secara tertulis maupun secara lisan. Syarat perjanjian yang disepakati itu biasanya digolongkan menjadi dua macam :

a. Syarat pokok ;
Yaitu syarat penting yang fundamental bagi setiap perjanjian sehingga tidak dipenuhinya syarat ini akan mempengaruhi tujuan utama dari perjanjian tersebut. Pelanggaran atas syarat ini memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian, atau melanjutkanya dengan memperoleh ganti rugi.

b. Syarat pelengkap ;
Yaitu syarat yang kurang penting, yang apabila tidak dipenuhi hanya akan menimbulkan kerugian tetapi tidak mempengaruhi tujuan utama dari suatu perjanjian tersebut. Pelanggaran atas syarat ini memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untukn menuntut ganti rugi.

2. Syarat yang diam-diam (implied terms),
Syarat yang diam-diam adalah syarat yang tidak ditentukan secara tegas mengenai suatu hal dalam perjanjian, tetapi pada dasarnya diakui oleh para pihak karena memberikan akibat komersial terhadap maksud para pihak. Syarat ini berlak apabila tidak terdapat ketentuan syarat yang tegas mengena persoalan yang sama.

3. Klausula eksonerasi
Klausula eksonerasi adalah klausula atau syarat yang berisi ketentuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab seseorang dalam melaksanakan perjanjian. Oleh karena itu, untuk membatasi dan mengurangi seandainya ada kerugian pada pihak yang lemah, perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

a)  Dengan memperhatikan ketentuan undang-undang yang bersifat mengatur hak dan kewajiban berdasarkan itikad baik,
b)  Penulisan klausula eksenorasi ini dibuat secara jelas dan mudah dibaca oleh setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan pihak itu,
c)  Klausula eksenorasi tidak boleh mengenai syarat pokok,
d)  Klausula eksenorasi memuat kewajiban menanggung bersama akibat yang timbul dari perjanjian itu.


Penerapan Kontrak Standar dalam Dunia Bisnis dan Perdagangan.

Kontrak standar merupakan perjanjian yang ditetapkan secara sepihak, yakni oleh produsen/penyalur produk (penjual) dan mengandung ketentuan yang berlaku umum (massal), sehingga pihak lain (konsumen) hanya memiliki 2 pilihan yakni menyetujui atau menolaknya.

Definisi dari kontrak standar itu sendiri adalah kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dan didalam kontrak tersebut sudah tercetak dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informative tersebut saja dengan sedikit atau tanpa perubahan pada klausula-klausulanya, dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya memiliki sedikit kesempatan guna menegosiasi maupun mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut.

Sehingga sangat berat sebelah. Pihak yang disodorkan kontrak baku tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya pada posisi “take it or leave it”.

Ciri perjanjian baku menurut Mariam Darus Badrulzaman ialah :
1.       Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat.
2.       Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian
3.       Terdororng oleh kebutuhannya debitur terpakasa menerima perjanjian itu
4.       Bentuk tertentu (tertulis)
5.       Dipersiapkan secara missal dan kolektif.
Implementasi kontrak standar biasa digunakan dimana banyak diterapkan dalam dunia bisnis dan perdagangan dimaksudkan untuk mempermudah operasi bisnis dan mengurangi ongkos-ongkos bisnis.

Adapun yang merupakan contoh-contoh dari kontrak baku yang sering dilakukan dalam praktek adalah sebagai berikut :
a. Kontrak (polis) asuransi
b. Kontrak di bidang perbankan
c. Kontrak sewa guna usaha
d. Kontrak jual beli rumah atau apartemen dari perusahaan Real Estate
e. Kontrak sewa-menyewa gedung perkantoran
f. Kontrak pembuatan credit card
g. Kontrak pengiriman barang (darat, laut dan udara)

Praktek kontrak standar tersebut menimbulkan kontroversi. Mengenai ada tidaknya Azas Kebebasan Berkontrak dalam kontrak standar itu sendiri. Sementara ada pihak yang mengatakan kontrak standar tidaklah melanggar Azas Kebebasan Berkontrak seperti yang terdapat pada Pasal 1320 Juncto1338 KUHPerdata. Artinya konsumen masih diberikan hak untuk menyetujui/ take it atau menolak perjanjian yang diajukan kepadanya/ leave it.

Disini yang menjadi kekhawatiran dengan kehadiran kontrak standar adalah karena dicantumkannya klusula eksonerasi yakni klausula yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan pada pihak penyedia.

Terdapat beberapa pendapat mengenai implementasi kebebasan berkontrak pada kontrak satndar dalam dunia perdagangan. Memang, di dalam penerapan kontrak standar banyak terjadi terutama dalam perdagangan. Dan praktek tersebut didominasi oleh pihak pelaku usaha. Kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang. Pelaku usaha hanya mengatur hak-haknya dan kewajibannya saja.

Namun kenyataanya kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dan heterogen berjalan dalam arah yang berlawanan dengan hukum. Perjanjian-perjanjian tersebut tumbuh melalui kebiasaan dan permintaan masyarakat sendiri dan kontrak standar merupakan suatu kebiasaan sehari-hari dalam lalu lintas perdagangan dan sudah menjadi suatu kebiasaan serta kebutuhan masyrakat.
Banyak hal tentang dan sekitar kontrak tidak diatur baik dalam Undang-undang maupun dalam Yurisprudensi.

Walaupun diatur tidak  selamanya bersifat hukum memaksa. Dalam arti para pihak dapat mengenyampingkan dengan aturan yang dibuatnya sendiri. Pengaturannya sendiri oleh para pihak ini dituangkan dalam kontrak tersebut berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Dan pengaturannya sendiri dalam kontrak tersebut sama kekuatannya dengan ketentuan dari Undang-undang.

Para pihak dapat mengatur apapun dalam kontrak tersebut (catch all) sebatas yang tidak dilarang oleh undang-undang, Yurisprudensi atau kepatutan. Jadi yang dimaksud asas kebebasan berkontrak ialah suatu asas dimana para pihak bebas membuat kontrak dan mengatur isi kontrak tersebut sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut:

1.  Memenuhi syarat sebagai kontrak
Agar suatu kontrak oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak maka kontrak tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu, yakni :
a.  Syarat sah umum terdiri dari:
§  · Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata;
§  · Syarat sah umum diluar Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata

b. Syarat sah yang khusus terdiri dari :
§  · Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu;
§  · Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu;
§  · Syarat akte pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu
§  Syarat izin dari yang berwenang.

2.  Tidak dilarang oleh Undang-undang
Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan yang berlaku

3.  Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku
Pasal 1339 KUHPerdata menentukan pula bahwa suatu kontrak tidak
hanya mengikat terhadap isi dari kontrak tersebut, melainkan mengikat
dengan hal-hal yang merupakan kebiasaan

4.  Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.
Menurut Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata suatu kontrak haruslah dilaksanakan dengan itikad baik. 

Rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) tersebut mengindikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Unsur itikad baik hanya disyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada pembuatan suatu kontrak.

Sebab unsur “ itikad baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsur “ klausa yang legal “dari pasal 1320 tersebut. Dengan demikian dapat saja suatu kontrak dibuat secara sah. Dalam arti memenuhi semua syarat sahnya kontrak (antara lain sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata). Dan karenanya kontrak tersebut. dibuat dengan itikad baik, tetapi justru dalam pelaksanaannya misalnya dibelokkan ke arah yang merugikan pihak ketiga.

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kontrak tersebut telah dilaksanakan secara bertentangan dengan itikad baik.
Asas kebebasan berkontrak ini merupakan refleksi dari sistem terbuka (open system) dari hukum kontrak tersebut.Dasar hukum dari asas ini adalah Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. 
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

II. Implementasi Asas Kebebasan Berkontrak dalam Kontrak Standar.

Kontrak baku adalah suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, sehingga biasanya kontrak bak sangat berat sebelah. Untuk dapat membatalkannya perlu menonjolkan apakah dengan kontrak tersebut telah terjadi penggerogotan terhadap posisi tawar-menawar, sehingga eksistensi unsur “kata sepakat” di antara para pihak sebenarnya tidak terpenuhi.
Namun begitu, walupun banyak kelemahannya eksistensi dari kontrak baku itu sendiri sangat diperlukan terutama dalam bisnis yang melibatkan kontrak dalam jumlah banyak. Adapun kekurangan dari kontrak baku tersebut adalah kurangnya kesempatan bagi pihak lawan untuk menegosiasi atau mengubah klausula-klausula dalam kontrak.

Sehingga kontrak tersebut sangat berpotensi untuk terjadinya klausula yang berat sebelah. Sementara itu, kontrak bakupun masih mempunyai kelebihan yakni kontrak tersebut lebih efisien, dapat membuat praktek bisnis menjadi lebih simpel, serta dapat ditandatangani seketika oleh para pihak.

Sebenarnya kontrak baku itu sendiri tidak begitu menjadi persoalan secara hukum, mengingat kontrak baku sudah menjadi kebutuhan dalam praktek dan menjadi kebiasaan sehari-hari. Yang menjadi persoalan adalah ketika kontrak baku tersebut mengandung unsur yang tidak adil bagi salah satu pihak, sehingga apabila hal yang demikian dibenarkan oleh hukum sangat menyentuh rasa keadilan dalam masyarakat.

Pada penerapannya sehari-hari dalam pembuatan kontrak baku sangat minim menerapkan asaa kebebasan berkontrak. Padahal asas kebebasan berkontrak mengandung makna bahwa masyarakat mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian sesuai dengan kepentingan masing-masing. Kebebasan tersebut meliputi:
1.       kebebasan para pihak untuk memutuskan apakah akan membuat perjanjian atau tidak
2.       kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuatsuatu perjanjian
3.       kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian
4.       kebebasan untuk menentukan isi perjanjian
1.       kebebasan untuk menentukan cara pembuatan perjanjian.

Pada dasarnya asas kebebasan berkontrak mengutamakan kebebasan dan kesederajatan tiap manusia. Munculnya revolusi industri telah melahirkan perusahaan-perusahaan raksasa yang memegang monopolidalam segala bidang. Dalam melakukan kegiatannya mereka menggunakan kontrak baku yang tidak menjadi kebebasan dan kesederajatan individu. Akibatnya asas kebebasan berkontrak yang menjadi cermin dari kebebasan dan kesedarajatan individu kurang atau bahkan tidak digunakan lagi dalam hukum perjanjian.
Namun seiring dengan berkembangnya paham Welfare State menyebabkan semakin besarnya keikutsertaan negara dalam mengatur dan mengelola berbagai lapangan kehidupan masyarakat. Muncullah berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh negara, misalnya tentang perlindungan terhadap buruh yang wajib dimasukkan dalam perjanjian. Gejala ini justru juga mengakibatkan asas kebebasan berkontrak kurang atau bahkan tidak dapat diwujudkan walapun perjanjian tersebut terjadi antar individu.

Adanya klausul eksenorasi dalam kontrak baku semakin menunjukan ketidakbebasan dan ketidak sederajatan para pihak dalam menentukan pemikul resiko,karena klausul eksenorasi disadari atau tidak wajib ditaati oleh debitur.

Jadi pada intinya makna dari asas kebebasan berkontrak harus dihindarkan dari makna bebasnya para pihak untuk membentuk hukumnya sendiri. Para pihak sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk membuat Undang-undang bagi mereka. Mereka hanya diberi kebebasan untuk memilih hukumnya, hukum mana yang hendak digunakan sebagai dasar dari kontrak yang dibuat.

Penggunaan kontrak baku menyebabkan asas kebebasan berkontrak kurang atau bahkan tidak diwujudkan, misalnya:
1.       kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian, karena perjanjian selalu berbentuk tertulis
2.       kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian, karena dalam perjanjian standart sepihak, timbal balik, maupun berpola, isi perjanjian sudah ditetapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak, organisasi ataupun ahli
3.       kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian, karena cara pembuatannya sudah ditetapkan oleh pihak, organisasi atau para ahli.
Sementara itu kebebasan-kebebasan yang masih dapat diwujudkan dalam implementasi Asas Kebebasan 

Berkontrak ini adalah:
1.       kebebasan untuk memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian atau tidak
2.       kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuat suatu perjanjian


Kesimpulan

1.       Penerapan kontrak standar banyak terjadi dalam dunia bisnis dan perdagangan. Dan praktek tersebut didominasi oleh pihak pelaku usaha. Kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang. Pelaku usaha hanya mengatur hak-haknya dan kewajibannya saja. Namun kenyataanya kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dan heterogen berjalan dalam arah yang berlawanan dengan hukum.

Perjanjian-perjanjian tersebut tumbuh melalui kebiasaan dan permintaan masyarakat sendiri dan kontrak standar merupakan suatu kebiasaan sehari-hari dalam lalu lintas perdagangan dan sudah menjadi suatu kebiasaan serta kebutuhan masyarakat.

2.       Pada dasarnya asas kebebasan berkontrak mengutamakan kebebasan dan kesederajatan tiap manusia. Akan tetapi, pada penerapannya sehari-hari dalam pembuatan kontrak baku sangat minim menerapkan asas kebebasan berkontrak. Padahal asas kebebasan berkontrak mengandung makna bahwa masyarakat mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian sesuai dengan kepentingan masing-masing. 

Kebebasan tersebut meliputi:
§  kebebasan para pihak untuk memutuskan apakah akan membuat perjanjian atau tidak
§  kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuatsuatu perjanjian
§  kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian
§  kebebasan untuk menentukan isi perjanjian
§  kebebasan untuk menentukan cara pembuatan perjanjian

Sementara itu kebebasan-kebebasan yang masih dapat diwujudkan dalam implementasi Asas Kebebasan Berkontrak ini adalah:
§  kebebasan untuk memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian atau tidak
§  kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuat suatu perjanjian

Saran
1.       Penerapan kontrak standar dalam dunia perdagangan sebaiknya tidak secara mutlak pelaku usaha mendominasi dalam klausul-klausulnya, namun juga harus memperhatikan hak-hak bagi pihak konsumen sehingga masing-masing pihak merasa nyaman.
2.       Asas kebebasan berkontrak harus tetap ada sekalipun dalam suatu kontrak standar dan konsumen sebaiknya benar-benar mencermati manakah suatu kontrak yang masih terdapat asas kebebasan berkontrak di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

 Abdulkadir Muhammad, 1990 “Hukum Perikatan”, PT. Citra Aditya bhakti, Bandung 1990

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1980.

Kartini Mulyadi, Gunawan Widjja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo, Jakarta, 2003.

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedi Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2004.

Suharnoko, Hukum Perjanjian. Prenada Media, Jakarta, 2004.

Soedjono Dirdjosisworo, Misteri Dibalik Kontrak Bermasalah, Mandar Maju, Bandung, 2002
Subekti, “Hukum Perjanjian”, Intermasa, Jakarta, 1987.

Sudikno Mertokoesumo, “Mengenal Hukum”, Liberty, Yogyakarta, 1999



[1] R. Subekti, “Hukum Perjanjian”, Intermasa, Jakarta, 1987, Hal-1.
[2] Abdul Kadir Mohammad, “Hukum Perikatan”, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1992, Hal-
78.
[3] Sudikno Mertokoesumo, “Mengenal Hukum”, Liberty, Yogyakarta, 1999.
[4] Ibid, Hal-82
[5] Jessel dalam Haridjan Rusli, “Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law”,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, Hal-39

[6] H. Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, Raja Grafindo Persada, 2004, hal  22
[7] Munir Fuady, Hukum Kontrak (Buku Kedua) Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 77
[8] Ibid, hal. 33-34




Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Lembaga Perlindungan Konsumen CELEBES - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger