ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
DALAM STANDARD KONTRAK (PERJANJIAN BAKU)
DALAM STANDARD KONTRAK (PERJANJIAN BAKU)
DALAM BIDANG BISNIS
DAN
PERDAGANGAN
PERDAGANGAN
PERJANJIAN adalah suatu persetujuan yang terjadi antara
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih (Pasal
1313 KUHPerdata). Perjanjian yang dimaksud diatas adalah pengertian perjanjian
yang masih dalam arti yang masih sangat luas, karena pengertian tersebut hanya
mengenai perjanjian sepihak dan tidak menyangkut mengikatnya kedua belah pihak.
Perjanjian hendaknya menyebutkan bahwa kedua belah pihak harus
saling mengikat, sehingga timbul suatu hubungan hukum diantara para pihak. Perjanjian
yang di buat oleh para pihak berlaku sebagi Undang-Undang bila terjadi
pelanggaran isi perjanjian. Pada hal perjanjian, KUHPdt hanya bersifat sebagai
pelengkap dan bukan sebagai hukum yang utama.
KONTRAK adalah bagian dari bentuk suatu perjanjian. Sebagaimana
yang telah disebutkan diatas bahwa pengertian perjanjian yang termuat dalam
Pasal 1313 KHUPdt adalah sangat luas, maka kontrak dapat menjadi bagian dari
suatu perjanjian. Akan tetapi yang membedakan kontrak dengan perjanjian adalah
sifatnya dan bentuknya. Kontrak lebih besifat untuk bisnis dan bentuknya
perjanjian tertulis.
Kontrak memiliki suatu hubungan hukum oleh para pihak yang
saling mengikat, maksudnya adalah antara pihak yang satu dan dengan yang
lainnya saling mengikatkan dirinya dalam kontrak tersebut, pihak yang satu
dapat menuntut sesuatu kepada pihak yang lain, dan pihak yang dituntut
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi
syarat-syarat sah yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPdt yaitu:
a. Kesepakatan atau persetujuan Para Pihak ;
Sepakat yang dimaksudkan bahwa subyek yang mengadakan perjanjian
harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjia yang
diadakan. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak
yang lain, jadi mereka menghendaki sesuatu secara timbal balik.
b. Kecakapan Para Pihak dalam membuat suatu Perjanjian ;
Orang yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada
asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikiranya adalah cakap menurut
hukum. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata yang dimaksudkan cakap menurut hukum
adalah mereka yang telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun tetapi
telah kawin atau pernah menikah.
c. Suatu hal tertentu ;
Suatu hal tertentu maksudnya adalah sudah ditentukan macam atau
jenis benda atau barang dalam perjanjian itu. Mengenai barang itu sudah ada
atau sudah berada ditangan pihak yang berkepentingan pada waktu perjanjian
dibuat tidak diharuskan oleh undang-undang dan juga mengenai jumlah tidak
perlu untuk disebutkan.
d. Suatu causa atau sebab
yang halal ;
Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah isi dari perjanjian
itu sendiri. Sebab yang tidak halal adalah berlawanan dengan Undang-undang,
kesusilaan ketertiban umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1337 KUH
Perdata.
Syarat-syarat dalam suatu
perjanjian dibagi dalam dua (2) kelompok, yaitu :
1. Syarat subyektif ;
Syarat subyektif adalah syarat yang menyangkut pada subyek-subyek perjanjian itu, atau dengan perkataan lain syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian, yang meliputi :
a) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya,
b) Kecakapan pihak yang membuat perjanjian.
2. Syarat obyektif ;
Syarat obyektif adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian itu sendiri, yang meliputi :
a) Suatu hal tertentu,
b) Suatu causa atau sebab yang halal.
Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi maka salah satu pihak
mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat
meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap. Jadi perjanjian yang telah
dibuat akan tetap mengikat para pihak selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas
permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi.
Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum atau batal dengan sendirinya, artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian.
Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum atau batal dengan sendirinya, artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian.
Dengan demikian apabila dalam pembuatan perjanjian, salah satu
syarat sahnya perjanjian tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut belum bisa
dikatakan sah, syarat-syarat tersebut pun berlaku dalam pembuatan suatu
kontrak. Dalam pembuatan suatu perjanjian atau kontrak dikenal salah satu asas,
yaitu asas kebebasan berkontrak.
Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang memberikan
suatu pemahaman bahwa setiap orang dapat melakukan suatu kontrak dengan siapa
pun dan untuk hal apapun. Pasal 1338 ayat 1 memberikan dasar bagi para pihak
akan adanya asas kebebasan berkontrak.
Asas kebebasan berkontrak bukan berarti menghalalkan bagi para
pihak untuk mengingkari kontrak yang telah terlebih dahulu terjadi, maksudnya
adalah para pihak dapat bebas mengadakan kontrak berdasarkan yang diperlukan.
Dalam hal ini penulis mencoba untuk membahas tentang hal-hal
yang menyangkut tentang asas kebebasan berkontrak dalam kontrak standart.
1.
Hukum Perjanjian pada umumnya
Perjanjian berdasarkan definisi yang diberikan dalam Pasal 1313
KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. R. Subekti menyatakan
bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada
orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu dari peristiwa ini timbul hubungan perikatan.
Menurut pendapat Abdul Kadir Mohammad bahwa Perjanjian adalah
suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri
untuk melakukan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan[2]
Menurut Sudikno Mertokusumo “Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau
lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum”, dengan
demikian kedua belah pihak sepakat untuk menentukan peraturan atau kaedah, atau
hak dan kewajiban yang mengikat mereka untuk ditaati dan di jalankan.
Kesepakatan itu adalah untuk menimbulkan akibat hukum, menimbulkan hak dan kewajiban dan apabila kesepakatan itu di langgar maka akan ada akibat hukum, si pelanggar dapat dikenakan akibat hukum atau sanksi.
Kesepakatan itu adalah untuk menimbulkan akibat hukum, menimbulkan hak dan kewajiban dan apabila kesepakatan itu di langgar maka akan ada akibat hukum, si pelanggar dapat dikenakan akibat hukum atau sanksi.
Berdasarkan rumusan pengertian perjanjian yang telah dikemukakan
diatas dapat disimpulkan maka perjanjian itu terdiri dari :
a. Ada pihak-pihak ;
Sedikitnya dua orang atau lebih, pihak ini disebut subyek
perjanjian, dapat manusia atau badan hukum dan mempunyai wewenang untuk
melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan oleh Undang-undang.
b. Ada persetujuan antara
pihak-pihak ;
Persetujuan antara pihak-pihak tersebut sifatnya tetap
bukanmerupakan suatu perundingan. Dalam perundingan umumnya dibicarakan
mengenai syarat-syarat dan obyek perjanjian maka timbulah persetujuan.
c. Ada prestasi yang akan
di laksanakan ;
Prestasi merupakan kewajiban yang harus di penuhi oleh pihak
sesuai dengan syarat – syarat perjanjian, misalnya pembeli berkewajiban untuk
membayar harga barang dan penjual berkewajiban untuk menyerahkan barang.
d. Ada bentuk tertentu
lisan atau tulisan ;
Perlunya bentuk tertentu karena ada ketentuan dalam
Undang-undang yang menyebutkan bahwa dengan bentuk tertentu suatu perjanjian
mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat.
e. Ada syarat-syarat
tertentu sebagai isi perjanjian ;
Dari syarat-syarat tertentu dapat diketahui hak dan kewajiban
para pihak. Syarat-syarat ini terdiri dari syarat pokok yang menimbulkan hak
dan kewajiban pokok.
f. Ada tujuan yang hendak
dicapai ;
Tujuan yang hendak di capai dalam perjanjian adalah isi dari
perjanjian itu sendiri dalam menentukan isi perjanjian meskipun didasarkan atas
kebebasan berkontrak akan tetapi tidak boleh bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan dan tidak di larang oleh Undang-undang.
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Yang dimaksud dengan kebebasan berkontrak adalah adanya
kebebasan seluas-luasnya yang oleh Undangundang di berikan kepada masyarakat
untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum. (Pasal 1338 Jo
1337 KUH Perdata).
Kebebasan berkontrak adalah asas yang esensial, baik bagi
individu dalam mengembangkan diri baik di dalam kehidupan pribadi maupun
kehidupan social kemasyarakatan, sehingga beberapa pakar menegaskan kebebasan
berkontrak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus di hormati.
Negara-negara yang mempunyai sistem hukum Common
Law mengenal kebebasan berkontrak dengan istilah Freedom of
Contract atau laisseiz faire. Yang dirumuskan oleh Jessel
M.R. dalam kasus “Printing and Numerical Registering Co. Vs. Samson”; “…… men of full age understanding shall have the
utmost liberty of contracting, and that contracts which are
freely and voluntarily entered into shall be held and onforce by the courts……
you are not lightly to interfere with this freedom of contract”.
1. Perjanjian standart / baku
Didalam kepustakaan hukum Inggris untuk istilah perjanjian baku
digunakan istilahstandarized agreement atau standarized
contract. Sedangkan kepustakaan Belanda menggunakan istilah standaarized
voorwaarden, standard contract. Mariam Badrulzaman menggunakan
istilah perjanjian baku, baku berarti ukuran, acuan. Jika bahasa hukum di
bakukan berarti bahasa hukum itu ditentukan ukuranya, standarnya, sehingga
memiliki arti tetap, yang dapat menjadi pegangan
umum.
Sutan Remy Sjahdeni merumuskan perjanjian baku adalah perjanjian
yang hampir seluruh klausula – klausulanya sudah di bakukan oleh pemakainya dan
pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau
meminta perubahan.
Menurut Hondius Dalam Purwahid Patrik menyatakan bahwa syarat-syarat baku dalam perjanjian adalah syarat-syarat konsep tertulis yang di muat dalam beberapa perjanjian yang masih akan di buat, yang jumlahnya tidak tertentu tanpa merundingkan terlebih dahulu isinya.
Menurut Hondius Dalam Purwahid Patrik menyatakan bahwa syarat-syarat baku dalam perjanjian adalah syarat-syarat konsep tertulis yang di muat dalam beberapa perjanjian yang masih akan di buat, yang jumlahnya tidak tertentu tanpa merundingkan terlebih dahulu isinya.
Syarat baku yang disebutkan umumnya juga dinyatakan sebagai
perjanjian baku. Jadi pada asasnya isi perjanjian yang di bakukan adalah tetap
dan tidak dapat diadakan perundingan lagi.
Yang mendasari berlakunya Perjanjian baku adalah asas –
asas hukum perjanjian yang di atur dalam Pasal 1338 KUH Perdata ada tiga (3)
yaitu ;
a. Asas Konsensualisme;
Bahwa, perjanjian yang di buat umumnya bekan secara formal
tetapi konsensual, artinya perjanjian itu selesai karena persetujuan kehendak
atau konsensus semata-mata.
b. Asas Kekuatan
Mengikatnya Perjanjian;
Bahwa, pihak-pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan,
sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata, bahwa perjanjian berlaku sebagai
Undang-undang bagi para pihak.
c. Asas Kebebasan
Berkontrak;
Bahwa orang bebas, membuat atau tidak membuat perjanjian , bebas
menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian, dengan bentuk tertentu
atau tidak dan bebas memilih undang-undang mana yang akan di pakai untuk
perjanjian itu.
Dari ketiga asas tersebut di atas yang paling penting adalah
asas kebebasan berkontrak, yang dalam bahasa asing disebut dengan contract
vrijheid, contracteer vrijheid atau partij autonomie, freedom
of contract. Sesuai dengan pernyataan Asser-Rutten : “Asas kebebasan
berkontrak tidak ditulis dengan kata-kata yang banyak di dalam Undang-undang tetapi
seluruh hukum perdata
kita didasarkan padanya.
1. Bentuk dan isi Perjanjian
Pada umumnya suatu perjanjian tidak terikat kepada bentukbentuk
tertentu. Para pihak dapat dengan bebas menentukan bentuk perjanjian yang
diinginkan sesuai dengan asas kebebasan berkontrak. Bentuk yang dapat dipilih
oleh para pihak adalah :
a. Perjanjian dalam bentuk lisan ;
b. Perjanjian dalam bentuk tertulis ;
Perjanjian dalam bentuk tertulis lebih sering dipilih sebab
memiliki kekuatan pembuktian yang lebih kuat dari pada bentuk lisan apabila
terjadi perselisihan. Untuk perjanjian jenis tertentu, Undang-undang
mengharuskan bentuk-bentuk tertentu yang apabila tidak dipenuhi maka akan
mengakibatkan batalnya perjanjian tersebut.
Dalam hal ini, bentuk tertulis tidak hanya berfungsi sebagai
alat pembuktian saja, namun juga merupakan syarat untuk danya (bestaanwaarde) perjanjian
itu.
Misalnya dalam Pasal 38 KUHD ditentukan bahwa perjanjian untuk
mendirikan Perseroan Terbatas harus dengan Akta Notaris.
Isi perjanjian merupakan ketentuan-ketentuan dan syaratsyarat
yang telah diperjanjikan oleh para pihak. Ketentuanketentuan dan syarat-syarat
tersebut berisi hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak, dan
dalam pembuatanya tercermin asas kebebasan berkontrak. Secara garis besar,
syarat-syarat dalam perjanjian dapat dikelompokan sebagai berikut :
1. Syarat yang tegas,
Syarat yang tegas adalah syarat-syarat yang secara khusus
disebutkan dan disetujui oleh para pihak pada waktu membuat suatu perjanjian
baik secara tertulis maupun secara lisan. Syarat perjanjian yang disepakati itu
biasanya digolongkan menjadi dua macam :
a. Syarat pokok ;
Yaitu syarat penting yang fundamental bagi setiap perjanjian
sehingga tidak dipenuhinya syarat ini akan mempengaruhi tujuan utama dari perjanjian
tersebut. Pelanggaran atas syarat ini memberikan hak kepada pihak yang
dirugikan untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian, atau melanjutkanya
dengan memperoleh ganti rugi.
b. Syarat pelengkap ;
Yaitu syarat yang kurang penting, yang apabila tidak dipenuhi
hanya akan menimbulkan kerugian tetapi tidak mempengaruhi tujuan utama dari
suatu perjanjian tersebut. Pelanggaran atas syarat ini memberikan hak kepada
pihak yang dirugikan untukn menuntut ganti rugi.
2. Syarat yang diam-diam
(implied terms),
Syarat yang diam-diam adalah syarat yang tidak ditentukan secara
tegas mengenai suatu hal dalam perjanjian, tetapi pada dasarnya diakui oleh
para pihak karena memberikan akibat komersial terhadap maksud para pihak.
Syarat ini berlak apabila tidak terdapat ketentuan syarat yang tegas mengena
persoalan yang sama.
3. Klausula eksonerasi
Klausula eksonerasi adalah klausula atau syarat
yang berisi ketentuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab seseorang
dalam melaksanakan perjanjian. Oleh karena itu, untuk membatasi dan mengurangi
seandainya ada kerugian pada pihak yang lemah, perlu dilakukan langkah-langkah
sebagai berikut :
a) Dengan memperhatikan ketentuan
undang-undang yang bersifat mengatur hak dan kewajiban berdasarkan itikad baik,
b) Penulisan klausula eksenorasi ini
dibuat secara jelas dan mudah dibaca oleh setiap orang yang mengadakan
perjanjian dengan pihak itu,
c) Klausula eksenorasi tidak
boleh mengenai syarat pokok,
d) Klausula eksenorasi memuat
kewajiban menanggung bersama akibat yang timbul dari perjanjian itu.
Penerapan Kontrak Standar dalam Dunia
Bisnis dan Perdagangan.
Kontrak standar merupakan perjanjian yang ditetapkan secara
sepihak, yakni oleh produsen/penyalur produk (penjual) dan mengandung ketentuan
yang berlaku umum (massal), sehingga pihak lain (konsumen) hanya memiliki 2
pilihan yakni menyetujui atau menolaknya.
Definisi dari kontrak standar itu sendiri adalah kontrak
tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dan didalam kontrak tersebut
sudah tercetak dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak,
yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak
hanya mengisikan data-data informative tersebut saja dengan sedikit atau tanpa
perubahan pada klausula-klausulanya, dimana pihak lain dalam kontrak tersebut
tidak mempunyai kesempatan atau hanya memiliki sedikit kesempatan guna
menegosiasi maupun mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu
pihak tersebut.
Sehingga sangat berat sebelah. Pihak yang disodorkan kontrak
baku tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya
pada posisi “take it or leave it”.
1.
Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi
(ekonominya) kuat.
2.
Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama
menentukan isi perjanjian
3.
Terdororng oleh kebutuhannya debitur terpakasa menerima
perjanjian itu
4.
Bentuk tertentu (tertulis)
5.
Dipersiapkan secara missal dan kolektif.
Implementasi kontrak standar biasa digunakan dimana banyak
diterapkan dalam dunia bisnis dan perdagangan dimaksudkan untuk mempermudah
operasi bisnis dan mengurangi ongkos-ongkos bisnis.
Adapun yang merupakan contoh-contoh dari kontrak baku yang
sering dilakukan dalam praktek adalah sebagai berikut :
a. Kontrak (polis) asuransi
b. Kontrak di bidang perbankan
c. Kontrak sewa guna usaha
d. Kontrak jual beli rumah atau apartemen dari perusahaan Real
Estate
e. Kontrak sewa-menyewa gedung perkantoran
f. Kontrak pembuatan credit card
g. Kontrak pengiriman barang (darat, laut dan udara)
Praktek kontrak standar tersebut menimbulkan kontroversi.
Mengenai ada tidaknya Azas Kebebasan Berkontrak dalam kontrak standar itu
sendiri. Sementara ada pihak yang mengatakan kontrak standar tidaklah melanggar
Azas Kebebasan Berkontrak seperti yang terdapat pada Pasal 1320 Juncto1338 KUHPerdata.
Artinya konsumen masih diberikan hak untuk menyetujui/ take it atau
menolak perjanjian yang diajukan kepadanya/ leave it.
Disini yang menjadi kekhawatiran dengan kehadiran kontrak
standar adalah karena dicantumkannya klusula eksonerasi yakni klausula yang
mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab
yang semestinya dibebankan pada pihak penyedia.
Terdapat beberapa pendapat mengenai implementasi kebebasan
berkontrak pada kontrak satndar dalam dunia perdagangan. Memang, di dalam
penerapan kontrak standar banyak terjadi terutama dalam perdagangan. Dan
praktek tersebut didominasi oleh pihak pelaku usaha. Kedudukan pelaku usaha dan
konsumen tidak seimbang. Pelaku usaha hanya mengatur hak-haknya dan
kewajibannya saja.
Namun kenyataanya kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dan
heterogen berjalan dalam arah yang berlawanan dengan hukum.
Perjanjian-perjanjian tersebut tumbuh melalui kebiasaan dan permintaan
masyarakat sendiri dan kontrak standar merupakan suatu kebiasaan sehari-hari
dalam lalu lintas perdagangan dan sudah menjadi suatu kebiasaan serta kebutuhan
masyrakat.
Banyak hal tentang dan sekitar kontrak tidak diatur baik dalam
Undang-undang maupun dalam Yurisprudensi.
Walaupun diatur tidak selamanya bersifat hukum memaksa.
Dalam arti para pihak dapat mengenyampingkan dengan aturan yang dibuatnya
sendiri. Pengaturannya sendiri oleh para pihak ini dituangkan dalam kontrak
tersebut berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Dan pengaturannya sendiri
dalam kontrak tersebut sama kekuatannya dengan ketentuan dari Undang-undang.
Para pihak dapat mengatur apapun dalam kontrak tersebut (catch
all) sebatas yang tidak dilarang oleh undang-undang, Yurisprudensi
atau kepatutan. Jadi yang dimaksud asas kebebasan berkontrak ialah suatu asas
dimana para pihak bebas membuat kontrak dan mengatur isi kontrak tersebut
sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Memenuhi syarat sebagai kontrak
Agar suatu kontrak oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat
kedua belah pihak maka kontrak tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat
tertentu, yakni :
a. Syarat sah umum terdiri dari:
§ · Syarat sah umum
berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata;
§ · Syarat sah umum diluar
Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata
b. Syarat sah yang khusus terdiri dari :
§ · Syarat tertulis untuk
kontrak-kontrak tertentu;
§ · Syarat akta notaris
untuk kontrak-kontrak tertentu;
§ · Syarat akte pejabat
tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu
§ Syarat izin dari yang
berwenang.
2. Tidak dilarang oleh Undang-undang
Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan
yang berlaku
3. Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku
Pasal 1339 KUHPerdata menentukan pula bahwa suatu kontrak tidak
hanya mengikat terhadap isi dari kontrak tersebut, melainkan
mengikat
dengan hal-hal yang merupakan kebiasaan
4. Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad
baik.
Menurut Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata suatu kontrak haruslah
dilaksanakan dengan itikad baik.
Rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) tersebut mengindikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Unsur itikad baik hanya disyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada pembuatan suatu kontrak.
Rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) tersebut mengindikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Unsur itikad baik hanya disyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada pembuatan suatu kontrak.
Sebab unsur “ itikad baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak
sudah dapat dicakup oleh unsur “ klausa yang legal “dari pasal 1320 tersebut.
Dengan demikian dapat saja suatu kontrak dibuat secara sah. Dalam arti memenuhi
semua syarat sahnya kontrak (antara lain sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata).
Dan karenanya kontrak tersebut. dibuat dengan itikad baik, tetapi justru dalam
pelaksanaannya misalnya dibelokkan ke arah yang merugikan pihak ketiga.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kontrak tersebut telah
dilaksanakan secara bertentangan dengan itikad baik.
Asas kebebasan berkontrak ini merupakan refleksi dari sistem
terbuka (open system) dari hukum kontrak tersebut.Dasar hukum dari asas ini
adalah Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
II. Implementasi Asas Kebebasan Berkontrak dalam Kontrak
Standar.
Kontrak baku adalah suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya
oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, sehingga biasanya kontrak bak
sangat berat sebelah. Untuk dapat membatalkannya perlu menonjolkan apakah
dengan kontrak tersebut telah terjadi penggerogotan terhadap posisi
tawar-menawar, sehingga eksistensi unsur “kata sepakat” di antara para pihak
sebenarnya tidak terpenuhi.
Namun begitu, walupun banyak kelemahannya eksistensi dari
kontrak baku itu sendiri sangat diperlukan terutama dalam bisnis yang
melibatkan kontrak dalam jumlah banyak. Adapun kekurangan dari kontrak baku
tersebut adalah kurangnya kesempatan bagi pihak lawan untuk menegosiasi atau
mengubah klausula-klausula dalam kontrak.
Sehingga kontrak tersebut sangat berpotensi untuk terjadinya
klausula yang berat sebelah. Sementara itu, kontrak bakupun masih mempunyai
kelebihan yakni kontrak tersebut lebih efisien, dapat membuat praktek bisnis
menjadi lebih simpel, serta dapat ditandatangani seketika oleh para pihak.
Sebenarnya kontrak baku itu sendiri tidak begitu menjadi
persoalan secara hukum, mengingat kontrak baku sudah menjadi kebutuhan dalam
praktek dan menjadi kebiasaan sehari-hari. Yang menjadi persoalan adalah ketika
kontrak baku tersebut mengandung unsur yang tidak adil bagi salah satu pihak,
sehingga apabila hal yang demikian dibenarkan oleh hukum sangat menyentuh rasa
keadilan dalam masyarakat.
Pada penerapannya sehari-hari dalam pembuatan kontrak baku
sangat minim menerapkan asaa kebebasan berkontrak. Padahal asas kebebasan
berkontrak mengandung makna bahwa masyarakat mempunyai kebebasan untuk membuat
perjanjian sesuai dengan kepentingan masing-masing. Kebebasan tersebut
meliputi:
1.
kebebasan para pihak untuk memutuskan apakah akan membuat
perjanjian atau tidak
2.
kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuatsuatu
perjanjian
3.
kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian
4.
kebebasan untuk menentukan isi perjanjian
1.
kebebasan untuk menentukan cara pembuatan perjanjian.
Pada dasarnya asas kebebasan berkontrak mengutamakan kebebasan
dan kesederajatan tiap manusia. Munculnya revolusi industri telah melahirkan
perusahaan-perusahaan raksasa yang memegang monopolidalam segala bidang. Dalam
melakukan kegiatannya mereka menggunakan kontrak baku yang tidak menjadi
kebebasan dan kesederajatan individu. Akibatnya asas kebebasan berkontrak yang
menjadi cermin dari kebebasan dan kesedarajatan individu kurang atau bahkan
tidak digunakan lagi dalam hukum perjanjian.
Namun seiring dengan berkembangnya paham Welfare
State menyebabkan semakin besarnya keikutsertaan negara dalam mengatur
dan mengelola berbagai lapangan kehidupan masyarakat. Muncullah
berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh negara, misalnya tentang
perlindungan terhadap buruh yang wajib dimasukkan dalam perjanjian.
Gejala ini justru juga mengakibatkan asas kebebasan berkontrak
kurang atau bahkan tidak dapat diwujudkan walapun perjanjian tersebut terjadi
antar individu.
Adanya klausul eksenorasi dalam kontrak baku semakin menunjukan
ketidakbebasan dan ketidak sederajatan para pihak dalam menentukan pemikul
resiko,karena klausul eksenorasi disadari atau tidak wajib ditaati oleh
debitur.
Jadi pada intinya makna dari asas kebebasan berkontrak harus
dihindarkan dari makna bebasnya para pihak untuk membentuk hukumnya sendiri.
Para pihak sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk membuat Undang-undang
bagi mereka. Mereka hanya diberi kebebasan untuk memilih hukumnya, hukum mana
yang hendak digunakan sebagai dasar dari kontrak yang dibuat.
Penggunaan kontrak baku menyebabkan asas kebebasan berkontrak
kurang atau bahkan tidak diwujudkan, misalnya:
1.
kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian, karena
perjanjian selalu berbentuk tertulis
2.
kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian, karena
dalam perjanjian standart sepihak, timbal balik, maupun berpola, isi perjanjian
sudah ditetapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak, organisasi ataupun ahli
3.
kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian, karena
cara pembuatannya sudah ditetapkan oleh pihak, organisasi atau para ahli.
Sementara itu kebebasan-kebebasan yang masih dapat diwujudkan
dalam implementasi Asas Kebebasan
Berkontrak ini adalah:
Berkontrak ini adalah:
1.
kebebasan untuk memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian
atau tidak
2.
kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuat suatu
perjanjian
Kesimpulan
1.
Penerapan kontrak standar banyak terjadi dalam dunia bisnis dan
perdagangan. Dan praktek tersebut didominasi oleh pihak pelaku usaha. Kedudukan
pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang. Pelaku usaha hanya mengatur
hak-haknya dan kewajibannya saja. Namun kenyataanya kebutuhan masyarakat yang
semakin kompleks dan heterogen berjalan dalam arah yang berlawanan dengan
hukum.
Perjanjian-perjanjian
tersebut tumbuh melalui kebiasaan dan permintaan masyarakat sendiri dan kontrak
standar merupakan suatu kebiasaan sehari-hari dalam lalu lintas perdagangan dan
sudah menjadi suatu kebiasaan serta kebutuhan masyarakat.
2.
Pada dasarnya asas kebebasan berkontrak mengutamakan kebebasan
dan kesederajatan tiap manusia. Akan tetapi, pada penerapannya sehari-hari
dalam pembuatan kontrak baku sangat minim menerapkan asas kebebasan berkontrak.
Padahal asas kebebasan berkontrak mengandung makna bahwa masyarakat mempunyai
kebebasan untuk membuat perjanjian sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Kebebasan tersebut meliputi:
Kebebasan tersebut meliputi:
§ kebebasan para pihak
untuk memutuskan apakah akan membuat perjanjian atau tidak
§ kebebasan untuk memilih
dengan siapa akan membuatsuatu perjanjian
§ kebebasan untuk
menentukan bentuk perjanjian
§ kebebasan untuk
menentukan isi perjanjian
§ kebebasan untuk
menentukan cara pembuatan perjanjian
Sementara itu kebebasan-kebebasan yang masih dapat diwujudkan
dalam implementasi Asas Kebebasan Berkontrak ini adalah:
§ kebebasan untuk
memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian atau tidak
§ kebebasan untuk memilih
dengan siapa akan membuat suatu perjanjian
Saran
1.
Penerapan kontrak standar dalam dunia perdagangan sebaiknya
tidak secara mutlak pelaku usaha mendominasi dalam klausul-klausulnya, namun
juga harus memperhatikan hak-hak bagi pihak konsumen sehingga masing-masing
pihak merasa nyaman.
2.
Asas kebebasan berkontrak harus tetap ada sekalipun dalam suatu
kontrak standar dan konsumen sebaiknya benar-benar mencermati manakah suatu
kontrak yang masih terdapat asas kebebasan berkontrak di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, 1990 “Hukum Perikatan”, PT. Citra
Aditya bhakti, Bandung 1990
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1980.
Kartini Mulyadi, Gunawan Widjja, Perikatan yang Lahir
dari Perjanjian, Raja Grafindo, Jakarta, 2003.
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum
Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen
Indonesia, Gramedi Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2004.
Suharnoko, Hukum Perjanjian. Prenada Media,
Jakarta, 2004.
Soedjono Dirdjosisworo, Misteri Dibalik Kontrak Bermasalah,
Mandar Maju, Bandung, 2002
Subekti, “Hukum Perjanjian”, Intermasa, Jakarta,
1987.
Sudikno Mertokoesumo, “Mengenal Hukum”, Liberty,
Yogyakarta, 1999
[1] R. Subekti, “Hukum Perjanjian”, Intermasa,
Jakarta, 1987, Hal-1.
[2] Abdul Kadir Mohammad, “Hukum Perikatan”, Citra
Aditya Bhakti, Bandung, 1992, Hal-
78.
[3] Sudikno Mertokoesumo, “Mengenal Hukum”,
Liberty, Yogyakarta, 1999.
[4] Ibid, Hal-82
[5] Jessel dalam Haridjan Rusli, “Hukum Perjanjian
Indonesia dan Common Law”,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, Hal-39
[6] H. Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata,
Raja Grafindo Persada, 2004, hal 22
[7] Munir Fuady, Hukum Kontrak (Buku Kedua) Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2007, hal. 77
[8] Ibid, hal. 33-34
Posting Komentar